Politik uang adalah praktik yang merusak integritas demokrasi. Ketika kandidat atau partai politik itu menggunakan uang untuk membeli suara, ini tentunya dapat menciptakan ketidakadilan dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemilu.
Pemilih yang menerima uang mungkin merasa terpaksa memilih kandidat yang memberikan uang, meskipun kandidat tersebut tidak memiliki kualitas atau kapabilitas yang baik. Ini bisa menghasilkan pemimpin yang korup dan tidak kompeten, yang pada gilirannya akan merugikan masyarakat luas.
Edward Aspinall dan Mada Sukmajati di dalam jurnalnya yang berjudul “Journal Of Islamic and Law Studies” mendefinisikan politik uang sebagai pembelian suara (vote buying). Menurut keduanya pembelian suara dimaknai sebagai distribusi pembayaran uang tunai/barang dari kandidat kepada pemilih secara sistematis beberapa hari menjelang pemilu yang disertai dengan harapan yang implisit bahwa para penerima akan membalasnya dengan memberikan suaranya bagi si pemberi.
Politik uang masih marak terjadi saat mendekati pemilu, apalagi cuan seperti ini masih dianggap sebagai jalan pintas menuju kemenangan. Yang bahkan hal ini dapat merusak kualitas demokrasi di indonesia karena dapat menodai kemurnian suara masyarakat dalam menentukan pilihannya.
Singkatnya politik uang/money politic adalah penyebaran uang suap yang diberikan oleh pemilih untuk mencoblos kandidat tertentu. Dalam konteks pemilu politik uang bisa diartikan sebagai tindakan membeli suara atau vote buying dengan kata lain tindakan ini masuk dalam praktik menyuap masyarakat untung kepentingan kemenangan pihak tertentu.
Baca Juga: Politik Uang di NTB: Tantangan dan Harapan Menuju Demokrasi Bersih
Praktik politik uang dapat terjadi di beberapa tahapan pemilu, bisa pada saat kampanye, lalu pada masa terlarang kampanye yakni masa tenang pemilu dan pada hari pemungutan suara. Tentu saja politik uang merupakan pelanggaran undang-undang pemilu.
Suburnya praktik politik uang perlu dimaknai sebagai musuh kita bersama selain menjadi pekerjaan besar bagi penyelenggara pemilu seperti KPU dan BAWASLU kita sebagai masyarakat juga berperan besar dalam mengawasi dan mencegah terjadinya berbagai kecurangan di pemilu.
Salah satu bentuk praktik uang seperti pada Pemilu 2024, misalnya, ditemukan kasus di mana seorang kandidat legislatif di sebuah daerah memberikan uang transport kepada peserta kampanye dengan dalih “bantuan perjalanan.”
Meski terkesan membantu, praktik semacam ini adalah bentuk politik uang yang dapat mempengaruhi keputusan pemilih. Beberapa laporan lainnya mengindikasikan pembagian uang secara masif di pedesaan, di mana tingkat pendidikan politik masyarakat masih rendah.
Tentunya praktik politik uang ini sangat berbahaya bagi demokrasi indonesia, karena merupakan sebuah ancaman bagi masyarakat. Seperti menghapus keadilan dalam pemilu, politik uang itu mengutamakan kandidat yang memiliki modal besar, bukan mereka yang memiliki integritas dan kompetensi.
Akibatnya, kandidat berkualitas yang tidak memiliki akses dana besar sering kali kalah dalam persaingan. Demokrasi pun bergeser dari kompetisi ide menjadi kompetisi uang.
Kemudian dengan adanya praktik uang ini dapat menciptakan pemimpin yang tidak akuntabel, Kandidat yang “membeli suara” cenderung memprioritaskan kepentingan pribadi atau kelompok pendukung finansialnya setelah terpilih.
Baca Juga: Politik Uang atau “Serangan Fajar” dalam Pemilu dan Pilkada 2024
Hal ini meningkatkan risiko korupsi, seperti penggelembungan anggaran proyek atau penyalahgunaan kekuasaan untuk mengembalikan modal kampanye dan melemahkan kesadaran politik masyarakat, politik uang menciptakan mentalitas pragmatis di kalangan pemilih, yang lebih fokus pada keuntungan sesaat daripada memilih pemimpin berdasarkan visi dan program kerja.
Demokrasi yang sehat membutuhkan rakyat yang sadar akan pentingnya kualitas pemimpin, bukan hanya transaksi ekonomi.
Kasus politik uang di Pemilu 2024 menunjukkan betapa seriusnya ancaman ini terhadap demokrasi Indonesia. Jika tidak segera diatasi, politik uang akan terus melanggengkan kepemimpinan yang tidak bertanggung jawab dan melemahkan institusi negara.
Oleh karena itu seluruh masyarakat harus dilibatkan dalam pendidikan politik yang lebih baik, setra badan pengawas pemilu harus memperketat pengawasan dan memberi sanksi tegas kepada pelaku politik uang.
Penulis: Najwa Aprilia Putri
Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Mataram
Editor: I. Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News