Potret Wanita dalam Naskah Drama Awal dan Mira karya Utuy Tatang Sontani

Drama Awal dan Mira

Pada hakikatnya, sastra merupakan suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. (Wellek & Warren, 2016:3) Karya sastra merupakan hasil seni kreativitas yang ditulis oleh para pengarang dengan mengimajinasikan kehidupan manusia sebagai sumber inspirasi. Karya sastra kerap menampilkan segala sesuatu yang ada di dalam sebuah kehidupan masyarakat. Pembahasan mengenai teks sastra tentu dapat dikaji secara komprehensif, baik mengenai unsur di luar teks itu sendiri maupun unsur yang ada di teks sastra tersebut. Termasuk salah satunya adalah mengenai sebuah penokohan di dalam teks sastra.

Berbicara mengenai wanita di dalam teks sastra berarti pula mempertanyakan bagaimana citra wanita yang digambarkan di dalam teks tersebut. Meskipun saat ini banyak pengarang yang sudah lebih sadar terkait kesetaraan terhadap wanita, namun mengenai citra seorang wanita masih menjadi topik yang relevan untuk dikaji.

Baca Juga: Start-Up: Drama Korea yang Menginspirasi Generasi Milenial

Bacaan Lainnya
DONASI

Awal dan Mira merupakan salah satu karya sastra berupa naskah drama yang dibuat oleh Utuy Tatang Sontani. Naskah drama ini dimuat pertama kali pada tahun 1951 yang kemudian diterbitkan kembali oleh Balai Pustaka pada tahun 1957. Naskah drama Awal dan Mira menceritakan tentang tokoh bernama Mira dan Awal. Awal yang memiliki perasaan cinta kepada Mira secara tulus di awal cerita, namun harus dihadapkan kenyataan pahit mengenai Mira.

Dalam naskah drama ini banyak menggambarkan bagaimana tokoh Mira dengan segala kepribadian yang dimilikinya. Mira sebagai tokoh utama yang akan menjadi pembahasan sekaligus memperlihatkan bagaimana potret wanita yang tergambarkan melalui tokoh Mira.

Mira yang Berparas Cantik

Di dalam naskah drama Awal dan Mira secara penggambaran fisik dan penampilan, Mira digambarkan sebagai gadis yang memiliki paras yang cantik. Akibat kecantikannya itu, Mira yang bekerja sebagai penjual kopi banyak sekali mendapati pelanggan yang  bukan hanya ingin membeli kopi namun juga menikmati paras cantiknya.

“Ah,” kata si Baju Putih, 
“Kalau tidak ada Mira, kurang senang kita minum di sini.” (Sontani, 2011: 9)

Kutipan tersebut memperlihatkan bagaimana paras cantik seorang Mira dapat membuat para pelanggannya menjadi tergila-gila.

Baca Juga: Menyoal Kembali Kepunahan Bahasa Daerah

Mira sebagai Wanita Pandai

Mira bukan hanya seorang pedagang kopi yang memiliki paras yang cantik, ia juga pandai sebagai seorang wanita. Meskipun Mira sebagai pedagang kopi banyak yang memperlakukan ia layaknya seorang wanita yang murahan namun ia tidak mudah dimanfaatkan. Seperti kejadian saat Mira meminta bayaran untuk hasil potret dirinya yang akan dijadikan sebuah majalah oleh seorang Juru Potret.

            “Tuan pasti tidak akan sanggup membayar.”
            “Mengapa? Berapa nona minta?”
            “Apa tuan sanggup membayar seribu rupiah?” (Sontani, 2011: 43)

Dari kutipan naskah drama tersebut dapat memperlihatkan bagaimana Mira sebagai seorang yang pandai. Ia tidak mau sembarang dijadikan sebagai objek untuk kepentingan komersial yang hanya menguntungkan Juru Potret tersebut.

Mira sebagai Wanita Tangguh

Meskipun Mira hanya sebagai pedagang kopi namun ia begitu tangguh terhadap kehidupan yang dialaminya. Kondisi perekonomian yang dialaminya memaksa ia untuk terus hidup dengan membuka kedai di halaman rumahnya. Selain itu, kondisi yang dialami oleh Mira akibat peperangan membuat Mira kehilangan kedua kakinya yang kemudian menjadi alasannya selama ini tidak pernah mendatangi Awal.

Mira bangkit berdiri, terus berjalan keluar kedai, mendapatkan Awal. Berjalan dengan menggunakan kruk pada kedua ketiaknya (Sontani, 2011: 54).

Kutipan naskah drama tersebut memperlihatkan bagaimana Mira dengan kondisi yang sebenarnya. Mira tidak memiliki kaki akibat peperangan yang terjadi, namun selama ini ia tetap tangguh dan berjualan kopi untuk menghidupi kehidupannya.

Baca Juga: Masyarakat Indonesia, Homophobic atau Perbedaan Budaya?

Mira sebagai Wanita Rendah Diri

Meski Mira digambarkan sebagai tokoh yang berparas cantik, pandai, dan tangguh, namun di sisi lain ia digambarkan sebagai wanita yang rendah diri. Dalam naskah drama tersebut digambarkan bagaimana seorang Mira, wanita yang dicintai oleh Awal merasa tidak pantas untuk menerima cinta Awal sebab keadaannya yang cacat. Mira yang terus acuh kepada sikap dan perkataan Awal hanya sekadar ingin menutupi bahwa ia merasa tak pantas untuk mencintai Awal.

            “Mira, kau tahu bahwa selain dari kau, orang banyak itu bagiku tidak ada
artinya.”
            “Saya tukang kopi, Mas.” (Sontani, 2011: 39)

Kutipan tersebut memperlihatkan bagaimana Mira yang menganggap dirinya hanya sebagai tukang kopi yang sebenarnya hanya ingin menutupi kecacatannya tersebut agar Awal tak mengejarnya lagi.

Referensi

Sontani, Utuy Tatang. 2011. Awal dan Mira. Jakarta: PT Balai Pustaka (Persero).
Wellek, Rene dan Austin Warren. 2016. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Siti A’thisya Putri
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor: Diana Pratiwi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI