Sastra Bukan Sekedar Cerita: Mengapa Literasi Sastra Penting di Era Digital

Literasi Digital
Ilustrasi Literasi Digital (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Di tengah dunia yang bergerak cepat dan serba digital, kita disuguhi aliran informasi yang tiada henti. Notifikasi berdatangan setiap detik, konten visual menguasai layar, dan tren berganti lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan untuk mencerna satu paragraf tulisan.

Dalam pusaran ini, banyak hal yang mulai kehilangan tempatnya termasuk sastra. Bagi sebagian orang, sastra dianggap sebagai peninggalan lama yang tak lagi relevan di era digital yang penuh kecepatan. Padahal, justru dalam kondisi inilah literasi sastra menjadi lebih penting dari sebelumnya.

Sastra bukan hanya tentang cerita rekaan, romantisme, atau tokoh-tokoh dalam dunia fiksi. Ia adalah cermin kehidupan, ruang kontemplasi, dan bentuk komunikasi yang mendalam. Literasi sastra adalah kemampuan untuk membaca, memahami, dan merenungi teks sastra dengan kesadaran penuh terhadap nilai-nilai yang dikandungnya baik nilai estetika, moral, maupun sosial.

Di balik narasi dan metafora, sastra mengajak pembacanya untuk memahami emosi, merasakan penderitaan orang lain, serta menyelami kompleksitas kehidupan manusia yang sering luput dalam kehidupan digital yang serba instan.

Bacaan Lainnya

Menurut laporan UNESCO tahun 2023, minat baca generasi muda secara global mengalami penurunan drastis, terutama dalam hal bacaan yang bersifat reflektif seperti karya sastra. Sebaliknya, konsumsi konten pendek seperti video singkat dan meme justru meningkat pesat. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat kini lebih menyukai konsumsi cepat daripada pemahaman mendalam.

Literasi sastra menjadi semacam “perlawanan halus” terhadap dangkalnya pemahaman dan empati yang ditumbuhkan oleh budaya digital. Karya sastra mengajarkan kita untuk berhenti sejenak, merenung, dan memaknai.

Misalnya, melalui novel “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata, pembaca tidak hanya disuguhi kisah perjuangan anak-anak Belitung, tetapi juga diajak menyelami semangat pendidikan, ketimpangan sosial, dan pentingnya mimpi.

Atau melalui puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, pembaca dilatih untuk meresapi keindahan bahasa dan perasaan manusia yang paling subtil. Ini bukan sekadar hiburan, melainkan pelatihan empati dan pemahaman manusiawi yang dalam.

Era digital memang menghadirkan kemudahan luar biasa, tetapi juga membawa tantangan besar bagi kedalaman berpikir. Kita hidup di zaman di mana pendapat sering kali lebih dipercaya daripada fakta, dan emosi lebih cepat menyebar daripada argumentasi logis.

Di sinilah literasi sastra hadir sebagai penyeimbang. Ia memperkenalkan keragaman sudut pandang, membiasakan kita membaca dengan perlahan, dan mengajarkan untuk tidak tergesa-gesa dalam menghakimi. Kemampuan ini sangat penting untuk membentuk masyarakat yang tidak hanya cerdas secara informasi, tetapi juga bijak secara emosional.

Baca juga: Kesadaran Literasi Digital di Era Post Truth

Dalam konteks pendidikan, penguatan literasi sastra juga menjadi kunci penting. Kurikulum Merdeka yang saat ini diterapkan di Indonesia, sebenarnya memberi ruang bagi pendekatan humanistik dalam pembelajaran. Namun, implementasinya masih kerap terjebak pada sekadar memenuhi indikator kognitif semata.

Literasi sastra seharusnya tidak diajarkan sebatas hafalan unsur intrinsik dan ekstrinsik cerita, melainkan sebagai media pengembangan karakter dan nalar kritis siswa. Ketika siswa mampu memahami tokoh yang kompleks, konflik batin, dan latar sosial dalam cerita, mereka belajar tentang kehidupan itu sendiri—dengan segala nuansa dan ambiguitasnya.

Tak hanya di ruang kelas, literasi sastra juga relevan untuk masyarakat luas. Di media sosial, narasi kerap dibentuk secara hitam-putih, tanpa ruang untuk ambiguitas atau refleksi. Padahal kehidupan nyata tak sesederhana itu.

Kemampuan membaca realitas sosial dengan lebih empatik, memahami bahwa orang lain mungkin punya perspektif berbeda, adalah kemampuan yang ditumbuhkan oleh sastra. Dalam dunia yang penuh kebisingan dan polarisasi, sastra menjadi ruang sunyi yang menyembuhkan dan menjernihkan.

Literasi sastra bukan sekadar tentang kemampuan membaca karya sastra, melainkan keterampilan untuk memahami dan menghayati kehidupan manusia secara utuh. Ini adalah cara halus untuk melawan banalitas dan kekeringan emosi yang sering kali ditumbuhkan oleh budaya digital. Ini adalah bentuk ketahanan budaya yang memperkaya jiwa dan memperdalam empati.

Akhirnya, pertanyaan penting yang perlu kita ajukan bukan lagi “Masih relevankah sastra di era digital?”, tetapi “Mampukah kita bertahan tanpa sastra?”. Karena dalam dunia yang semakin cepat, dangkal, dan terfragmentasi, sastra mengajak kita untuk memperlambat, menyelami, dan menyatu dengan kemanusiaan kita sendiri.

 

Penulis: Qorina Habibah Nurfauziah 

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses