Pada hari itu, cuaca terlihat mendung tanpa adanya cahaya matahari pertanda akan turun hujan. Saiful Bahri, pemilik Klinik Pijat Tunanetra Karomah, mulai menyiapkan barang yang diperlukannya untuk memijat. Tak jauh dari mushola, di deretan bangunan kontrakan tua berwarna biru muda dengan pintu kayu bernomor 3 adalah tempatnya memulai usaha kecilnya.
Klinik pijatnya berupa ruangan yang dibagi menjadi dua bagian; tempat pijatnya terlihat rapi dan bersih, memberikan efek hangat seperti kesan pulang ke rumah. Kemudian, ada dua tempat tidur kayu yang terlihat nyaman dibaluti sprei bercorak untuk pijat yang diseka oleh tirai berwarna cokelat dijadikan sebagai tanda pembatas.
Di sudut ruangan, tepatnya di samping tempat tidur, terdapat lemari kecil untuk menaruh air minum dan barang-barang pengunjung. Untuk melihat cahaya, ada sebuah jendela kecil di sisi pintu, tertutup tirai hijau yang lembut.
Seorang pemuda mengetuk pintu kontrakan itu, memanggil semangat untuk memijat milik Saiful. Pintu dibuka, betapa terkejutnya Saiful saat diberitahu oleh istrinya bahwa ada seorang pelanggan yang menghampiri klinik pijat miliknya di tengah derasnya hujan.
Sang istri dengan cepat langsung mempersilahkan sang pemuda untuk masuk dan menawarkannya minuman hangat dengan senyuman ramah selayaknya seorang ibu. Karena merasa segan, pemuda itu menolak dengan sopan.
Saiful bertanya mengapa sang pemuda datang ke sini disaat hujan deras seperti ini. Si pemuda menjawab bahwa badannya sudah terasa pegal dan sakit sejak lama. Melihat penilaian dari para pengunjung sebelumnya di klinik ini, membuat si pemuda merasa penasaran sehingga mencoba untuk datang ke sini. Walaupun dirinya sempat tersesat sedikit di tengah hujan.
Tanpa basa basi lagi, Saiful menyuruh pemuda itu untuk membuka baju bagian atasnya karena keluhannya berada di punggung, leher, dan juga lengan. Biasanya akan dinyalakan ac bagi pelanggan yang mau di pijat.
Namun, karena hari ini langit menangis dengan deras, akhirnya hanya pintu yang dibuka sedikit sebagai tempat keluar-masuknya angin. Sang pemuda melihat ke sekitar ruangan pijat, tidak banyak dekorasi terpajang di sana. Dilihatnya di dinding hanya ada tempelan foto pernikahan dan juga sertifikat keahlian milik Saiful.
Saiful menaruh handuk kecil berwarna merah muda yang diberikan sang istri ke lehernya, kemudian mulai menuangkan minyak untuk memijat ke kedua tangannya. Sang pemuda merasa terkejut, betapa tepatnya Saiful memijat titik pegal dan sakitnya.
Tak bisa dibohongi, awalnya dirinya memang agak meragukan tempat ini karena ini pengalaman baru baginya. Apalagi, begitu sampai dirinya melihat sosok Saiful yang berperawakan kecil dan cukup kurus. Namun, memang kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja.
Berawal dari memijat punggung, Saiful menyuruh pemuda itu untuk duduk dan memijat bagian leher sampai kepala. Walaupun menggunakan teknik pijat biasa, namun titik yang di pijat oleh Saiful terasa tepat. Dengan cekatan, Saiful memijat setiap bagian pelanggannya.
Selesai dengan sisi kanan, Saiful berjalan dari sisi ujung ke ujung lainnya dengan meraba bagian pinggir tempat tidur. Sang pemuda merasa begitu nyaman dan hampir terlelap jika bukan karena mendengar percakapan tiba-tiba antara Saiful dan juga sang istri.
Sambil memijat, Saiful bertanya pada sang istri, ”Jam berapa sekarang, Bu?”
Sang istri melihat ke arah jam, “Jam 8, Pak,” Jawabnya.
Saat mendengar angka 8, perasaan Saiful selalu terasa berat. Rangkaian memori berjalan di dalam pikirannya, mengingatkannya akan kejadian selama 8 tahun terakhir di mana penyakitnya bertambah parah. Sudah 16 tahun, dirinya menjadi bagian dari tunanetra. Benar, Saiful tidak terlahir menjadi seorang tunanetra.
Dulunya, dia juga sama seperti kita semua. Namun, karena penyakit Glaukoma yang dideritanya, Saiful harus merelakan pengelihatannya. Dirinya sempat merasa putus asa selama 8 tahun tanpa menginjakkan kaki sedikitpun ke dunia luar. Hingga akhirnya, Saiful berpikir bahwa tidak mungkin hidupnya bisa terus seperti ini dan harus mengubah hidupnya.
Dari motivasi tersebut, Saiful meminta tolong kepada adiknya untuk mencari informasi mengenai sesama tunanetra dari Facebook. Setelah berhasil mendapatkan beberapa nomor, Saiful memulai perjalanannya menjadi seorang pemijat.
Dengan mendapatkan lebih banyak motivasi dari kenalan tunanetranya yang sudah menjadi tunanetra sejak lahir. Awalnya Saiful merasa skeptis dan bertanya pada temannya itu, “Memangnya orang tunanetra bisa apa?” Kemudian, diarahkanlah dirinya oleh temannya untuk mengikuti pelatihan milik dinas sosial bagi kaum tunanetra.
Pelatihannya berbentuk seperti sekolah dari daerah kompleks Kementrian Dinas Sosial di Bulak Kapal, Bekasi Timur. Di sana terdapat panti jompo, tunanetra, dan tempat bagi para gelandangan dan pengamen yang sering di garap oleh satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja). Semua pelatihannya gratis dan dibiayai oleh negara. Di sana mereka mendapatkan makan, seragam, sepatu, kebutuhan mandi, dan lainnya.
Selama 7 bulan, Saiful belajar mengenai pijat refleksi. Awalnya, mereka diajarkan mengenai anatomi tubuh dengan bermodalkan rekaman dari handphone. Kemudian, mereka diberikan petunjuk oleh sang instruktur dan diarahkan sesuai titiknya masing-masing.
Lama kelamaan dirinya menjadi terbiasa, yang awalnya diajarkan dari bagian kaki, lanjut diajarkan memijat ke bagian lainnya. Menurut Saiful, belajar memijat mempunyai banyak manipulasi, artinya teknik memijat setiap orang harus menggunakan cara yang berbeda-beda; kadang ada yang didorong, kadang ada yang ditekan.
Setelah lulus dari tempat pelatihan, Saiful mencoba peruntungan dengan ikut kerja bersama teman tunanetranya. Namun, dirinya mulai memikirkan rasa tidak nyaman saat bekerja bersama orang lain. Saat bekerja dengan orang lain, rasanya itu seperti diatur, penghasilan harus dibagi dua, dan hidup terasa tidak bebas. Dari situ, Saiful memutuskan untuk mencoba mengontrak dan membangun usaha pijatnya saat ini.
Momen tertentu yang sangat menginspirasi dalam perjalanan membangun tempat pijat adalah ketika dirinya belajar dan mengamati kehidupan senior-seniornya yang juga merupakan seorang tunanetra. Kemudian, dirinya berpikir kalau temannya yang tunanetra bisa mengapa dirinya tidak bisa.
Biasanya para penyandang tunanetra memiliki organisasinya sendiri bernama Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia). Namun, Saiful enggan ikut karena menurutnya terlalu sering memiliki acara berkumpul, walaupun mendapatkan banyak bantuan.
“Pak, saya mau tanya apakah banyak orang yang sering skeptis dengan tempat pijat seperti ini?” tanya sang pemuda yang dipijatnya, meleburkan lamunannya mengenai masa-masa perjuangannya bersama teman-teman tunanetranya dahulu.
Saiful menghentikan pijatannya dan berpikir, “Banyak, mas. Orang terkadang memandang dari fisik dahulu, bukan dari keahlian. Bahkan, keluarga saya sendiri pun juga.” Pemuda itu terdiam, bersiap mendengarkan cerita Saiful dengan mata penuh ketertarikan. Walaupun, perasaan pemuda itu agak tertusuk karena dirinya juga sempat meremehkan tempat pijat ini.
Saiful mulai menceritakan bagaimana dirinya sewaktu keluar dari rumah, bagaimana orang-orang rumahnya menentang dan meremehkan impian besarnya. Namun, dirinya tetap berangkat keluar kota seorang diri dengan hanya bermodalkan sebuah tongkat. Dirinya berhasil untuk sampai, dari Cirebon ke DKI Jakarta dan dari kota Bogor sampai ke Cikarang.
“Intinya dari diri kita sendiri, bangkit dan jangan mau menyerah sama keadaan. Yakin saja, dibalik sesuatu kan ada hikmahnya. Tuhan itu kan enggak diam. Walaupun, saya hanya bawa tongkat, saya percaya malaikat penolong kita ada di mana-mana. Tuhan itu penolong masalah kita, kitanya juga berbuat baiklah sama orang.”
Bagi Saiful, tantangan terbesarnya adalah bagaimana cara mengiklankan usaha pijat miliknya, apalagi semasa baru awal merintis di sekitar tahun 2021, masa di mana banyak usaha tutup akibat virus korona. Usahanya benar-benar dari bawah, tempatnya belum dikenal oleh siapa pun.
Bahkan, dirinya pernah merasa putus asa dan ingin menutup tempat pijat miliknya. Dirinya ingin kembali pulang ke kampung halamannya karena pendapatan yang tidak menentu. Pada masa itu, bahkan dirinya juga pernah hanya makan nasi dengan kecap berlaukan kerupuk. Intinya, dia merasa masih bisa melanjutkan usaha di esok hari.
Hingga akhirnya, dirinya mengikuti grup-grup perumahan di Facebook dan mulai memposting usaha miliknya dengan rutin. Makin hari, banyak yang memberikan ulasan untuk tempat usahanya dan mulai dikenal oleh orang-orang.
Pemuda itu tersenyum bangga mendengar kisah perjalanan Saiful yang begitu luar biasa menurutnya, “Kalau, pengunjung yang kasusnya unik begitu ada nggak, Pak?”
Saiful menceritakan pada pemuda itu bagaimana dirinya sempat mendapatkan pengunjung yang takut untuk diurut. Namun, tidak takut untuk disuntik oleh dokter. Terkadang, dirinya merasa gemas ingin menggigit pengunjung seperti itu. Sang istri ikut tertawa ketika mendengar kejadian itu lagi.
Dirinya juga mengutarakan isi hatinya mengenai bagaimana rasanya menjadi bagian dari tunanetra. Saiful merasa masalah disabilitas kurang diperhatikan oleh pemerintah. Karena, dirinya kesulitan mendapatkan bantuan. Walaupun, saat mengajukan memang dicatat. Namun, tidak ada bantuan yang cair baginya. Dirinya berharap, semoga kedepannya pemerintah bisa lebih memberikan bantuan dan edukasi pada kamu disabilitas lainnya.
“Kalau harapan untuk klinik pijat ini apa, Pak?” tanya pemuda tersebut, sembari memakai kembali atasannya dan bersiap untuk pulang.
“Harapannya makin dikenal orang, makin banyak yang cocok. Kita kan mijit sambil nyari duit, Mas. Ibarat kata kita menolong orang sambil menyelam minum air. Namanya manusia, ya semoga berguna kan buat orang lain.”
Setelah selesai, pemuda tersebut membayar total biaya pijatnya. Dirinya berpamitan pada Saiful dan juga sang istri yang selalu berada di sisi sang suami. Dalam perjalanan pulang, pemuda itu melihat ke atas langit yang sudah cerah sembari mengingat kembali kalimat motivasi dari Saiful yang akan diingatnya sampai tua nanti.
“Yang penting kan kita punya tujuan hidup saja, Mas. Selagi kita punya tujuan hidup, jalan ke mana pun kita tempuh. Yang penting, kita sampai ke titiknya. Orang mau bilang apa pun yang penting kita capai tujuan itu hidup itu, asal jalannya lurus. Intinya, yakin sama diri kita dan sama Tuhan, pasti ada jalan.”
Bahkan, dengan kekurangannya sebagai seorang tunanetra, Saiful bisa memberikan cahaya bagi jalan orang lain. Walaupun hidupnya terasa berat, dirinya sempat terpuruk ke dalam lembah terdalam.
Saiful tetap menjadi pribadi yang haus akan ilmu, ingin menjadi orang yang berguna, dan tetap berpikiran positif untuk maju ke depan. Ini hanya sedikit kisah dari pemijat tunanetra yang bisa membaca diri kita untuk melenyapkan keraguan akan hidup, sekian.
Penulis: Tigriscia Tandro
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, President University
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News
Lengkap kalii, keren broww
keren
Isi dari berita ini sangat menarik dan menambah ilmu serta imajinasi yang kreatif ketika membaca setiap paragraph yang disediakan, sangat informatif, menarik dan disarankan untuk dibaca.