Melatih Anak Cinta kepada Allah dengan Mengambil Pelajaran Kisah Nabi Ibrahim dari Berkurban

Selling sheep. Customer and seller shaking hands and dealing about the price of the sheep.

Pernahkah sobat sekalian mendengar kisah Nabi Ibrahim dari berkurban? Kurban seperti apa nih, yang sobat sekalian praktikkan? Apakah kurban sapi, kurban domba? Atau justru malah kurban perasaan?

Apabila dikaji dalam ilmu shorof, kurban berasal dari kata qoriba yakrobu qurban waqurbanan waqirbanan yang berarti dekat. Kurban sebagai masdar dari kata asli berarti karomah.

Menurut ulama terkemuka bapak Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, kurban secara bahasa ialah suatu nama hewan yang ingin disembelih ketika Idul Adha. Lalu, apa dalil disyariatkannya berkurban?

Baca Juga: Kurban Wujud Cinta Tuhan dan Kemanusiaan

Bacaan Lainnya

Salah satunya ada di dalam QS. Al-Hajj ayat 34 yang artinya: “dan tiap-tiap umat disyariatkan berkurban supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan oleh Allah kepada mereka.”

Jika kita tarik di zaman sekarang, orang banyak yang melakukan berkurban bisa jadi kurban itu tidak hanya di hari raya Idul Adha. seperti contohnya pemuda di zaman sekarang, mereka lebih senang berpacaran dibanding membaca Al-Quran.

Ketika malam minggunya berduaan, mojok-mojokan gelap-gelapan, peluk-pelukan. karena telah terbuai oleh godaan syetan, sehingga mereka pun kebablasan. Setelah beberapa bulan, sang wanita pun hamil duluan di luar ikatan pernikahan.

Karena laki-lakinya tak bertanggung jawab sehingga wanita pun ditinggalkan. Dan akhirnya ia jadi korban perasaan. Naudzhbillahimindzalik. Maka dari itu, tingkatkan keimanan dan ketakwaan, salah satunya adalah dengan berkurban. Jika tidak mampu, maka janganlah jadi kurban perasaan.

Akan tetapi, marilah sama-sama untuk berbuat baik. Semoga kita mendapatkan keridaan dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah berfirman dalam QS. Ash-Shaffat ayat 102 yang artinya:

Baca Juga: Tantangan Dakwah dan Inspirasinya di Bulan Juni

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Jika kita tarik kepada sejarah yakni QS. Ash-Shaffat ayat 102, berawal dari kisah Nabi Ibrahim dengan anaknya yang bernama Nabi Ismail, di mana Nabi Ibrahim bermimpi bahwa ia diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anaknya.

Hal ini karena untuk menguji Nabi Ibrahim akan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah. Karena segala sesuatu terjadi atas kehendak dari Allah zat yang Maha Pengatur, maka Nabi Ismail yang disembelih, digantikan dengan seekor domba.

Sehingga hal ini dijadikan sebagai peringatan hari raya Idul Adha. Orang tua mana yang tidak berat, jika harus mengorbankan anaknya Ismail? Inilah pengorbanan yang setinggi-tingginya dari seorang ayah Nabi Ibrahim jika ia diminta harus menyerahkan nyawa anaknya, Nabi Ismail.

Inilah puncak pengorbanan seorang Nabi Ismail saat diminta terlibat dalam cinta ayahnya mampu bulat-bulat menerima tanpa sedikitpun ada keraguan dari dirinya apalagi menolaknya. Anak yang memiliki totalitas ketaatan bukanlah anak sembarangan, dan proses mempersiapkannya sangatlah luar biasa oleh orang tuanya yang super dalam mendidik.

Baca Juga: Pemimpin yang Ideal dalam Islam

Lantas, bagaimana seharusnya orang tua dalam mendidik anaknya agar terlibat cinta kepada Allah seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim? Ketaatan itu adalah cinta, cinta itu butuh pengorbanan. Tidak disebut cinta jika tidak taat.

Tak ada ketaatan tanpa pengorbanan sekecil apapun. Sosok Nabi Ibrahim Alaihissalam memiliki kecintaan yang sangat dalam pada Allah Subahanhu wa ta’ala. Meletakkan kecintaannya kepada Allah di atas segala-galanya. Karenanya, apapun yang Allah perintahkan akan beliau taati.

Tentu untuk mewujudkan itu semua, Nabi Ibrahim mengorbankan segalanya, mempertaruhkan segalanya, baik itu berkorban pikiran, menguras semua rasa bahkan mengorbankan anaknya Ismail untuk membuktikan bahwa Nabi Ibrahim adalah sosok yang taat dan cinta kepada Allah.

Pengorbanan yang melibatkan diri sendiri tentu tidak sebesar pengorbanan melibatkan orang lain, apalagi itu melibatkan anak.

Oleh karena itu, marilah kita sebagai orang tua untuk terus mendidik anak-anak agar memiliki cinta dan pengorbanan kepada Allah dan Rasul-Nya, menjadi penolong agama Allah. Medan jihad adalah bukti cinta mempertaruhkan nyawa.

Jika tidak berada di medan jihad, maka harus berada di medan dakwah melakukan amar makruf nahi mungkar dan menjadi umat yang terbaik, sebagaimana yang ada di dalam Al-Qur’an yaitu sebagai khoiru ummah.

Tim Penulis:

1. Nuviza Nairowati
Mahasiswa Psikologi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia.

2. Nurafni
Mahasiswa Ahwal Syakhshiyah, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia.

3. Nur Zaytun Hasanah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia.

Editor: Ika Ayuni Lestari

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses