Kurban Wujud Cinta Tuhan dan Kemanusiaan

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya”. QS Al Hajj: 34.

Idul Adha (Hari Raya Kurban) sejatinya merupakan kontinuitas kesalehan sosial spiritual dari Idul Fitri. Jika Idul Fitri merupakan manifestasi kemenangan atas nafsu, egoisitas, dan individualitas. Maka Idul Adha merupakan manifestasi dari keseriusan dan keikhlasan dalam berkorban. Kedua hari raya tersebut bermuara pada nilai-nilai kepedulian, ketakwaan, dan kesalehan sosial.

Secara realitas empiris-historis, ibadah kurban merupakan refresentasi kisah yang melibatkan empat lakon utama antara Nabi Ibrahim, Siti Hajar, Nabi Ismail dan setan. Sebuah peristiwa yang mengisahkan mengenai ketabahan serta penghambaan paripurna dari seorang hamba terhadap Penciptanya yang melampaui batas rasionalitas materialis.

Bacaan Lainnya
DONASI

Bagaimana tidak, seorang anak yang telah lama sangat dinanti kehadirannya oleh sepasang kekasih justru malah diminta dengan segenap keikhlasannya untuk disembelih secara hidup-hidup. Melalui pewahyuan Tuhan, beliau (red:Ibrahim) diminta untuk mewujudkan penghambaannya kepada Tuhan dengan cara menyembelih seorang anak yang tidak berdosa.

Sebagai kader terbaik pada masanya, Nabi Ibrahim mampu menjadi simbol keteladanan sosial dengan penuh keimanan, kepatuhan, dan ketaatan kepada Allah. Sehingga akhirnya Nabi Ismail diganti oleh Allah dengan hewan sembelihan. Penggantian kurban manusia dengan hewan ini merupakan apresiasi dan aktualisasi janji Allah subhanahu wa ta’ala untuk memberi balasan yang terbaik pada orang yang bertakwa dan berbuat baik.

Sebagai mana ditegaskan dalam Alquran: ”Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman“. (QS. As-Shaffat: 107-111)

Refleksi Kemanusiaan

Jika merefleksikan kisah Nabi Ibrahim AS tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka realitas yang terjadi saat ini masih jauh dari perwujudan ibadah sosial seperti yang dijelaskan di atas. Nilai-nilai kemanusiaan yang terjadi saat masih bertentangan dengan Agama dan konsep memanusiakan manusia.

Dewasa ini, kita banyak dipertontonkan dengan berbagai peristiwa yang menyayat hati nurani dan rasa kemanusiaan. Mulai dari peristiwa pembunuhan, isu radikalisme, penyebaran ujaran kebencian (intoleransi), aksi teror bom tanpa henti di berbagai lini, hingga kasus korupsi yang semakin merajalela di dalam tubuh pemerintahan yang menyebabkan semakin bobroknya sisi kemanusiaan yang telah dirajut dengan kain keberagaman.

Pun di Media sosial, masyarakat menjadi terpecah belah akibat beda keyakinan pilihan. Setiap individu maupun kelompok semakin mengentalkan fanatisme buta, menebalkan identitas perkubuan. Kebenaran dan kebatilan diikat dalam garis tipis, sangat susah untuk dibedakan. Media sosial bukan saja menjadi tempat jalinan pertemanan, tapi juga sekaligus memutus perkawanan yang dipandang tak sehaluan.

Selain itu, di beberapa Negara internasional juga sedang terjadi beberapa peristiwa keji yang merampas sisi kemanusiaan. Perang yang tak berkesudahan antara Israel dan palestina. Perang yang mematikan di Yaman, penindasan brutal rezim Suriah, perang ekonomi pemerintah Venezuela melawan rakyatnya sendiri, dan pembungkaman perbedaan pendapat di Turki, Mesir, dan di tempat lain, adalah beberapa contoh konflik yang memanas tanpa mempertimbangkan rasa kemanusiaan dan keadilan.

Hal ini merupakan sebuah pertanda bahwa saat ini dunia sedang diliputi pelbagai macam pandangan hidup yang negatif seperti “hedonisme, premanisme dan pragmatisme sehingga menyebabkan timbulnya permasalahan sosial ditengah-tengah kehidupan.

Aktualisasi Nilai Ilahiyah-Insaniyah

Oleh karena itu, kurban bukan hanya tentang berapa banyak hewan yang disembelih, tetapi kurban adalah momen untuk mewujudkan kembali nilai-nilai ilahiah dan insaniah dalam kehidupan kita. Pertama, sebagai manusia yang beriman ajaran kurban mendidik manusia untuk lebih mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim alaihissalam dan Nabi Ismail alaihissalam.

Urusan duniawi seperti kekuasaan, kekayaan, dan harta benda jangan sampai menjadi penghalang untuk selalu berbakti, mengabdi, dan beribadat secara maksimal dan total kepada Allah, dan menjalankan segala sesuatu yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Kedua, seperti yang di katakan Imam Al Ghazali bahwa “penyembelihan hewan qurban menyimbolkan penyembelihan sifat kehewanan manusia”. Nafsu hewaniah yang ada dalam diri seperti egoisme, ananiyah, keserakahan, ketamakan, dan nafsu-nafsu jahat lainnya haruslah dikekang dan dikendalikan dalam diri manusia. Agar tercipta kebajikan yang sempurna.

Adagium klasik homo homini lupus atau yang berarti ‘manusia adalah serigala bagi sesamanya’, merupakan penegasan karakter manusia yang apabila tak mampu mengendalikan dirinya, jiwanya akan dipenuhi oleh nafsu keserakahan.

Ketiga, ibadah kurban mendidik manusia bersifat ikhlas dan rela berkorban dalam kesalehan sosial. Ajaran kurban selalu dan tetap relevan untuk diamalkan karena ajaran tersebut merupakan wujud kepekaan dan kepedulian sosial yang menjadi inti sejati pengamalan kemanusiaan yang adil dan beradab (sila kedua Pancasila).

Dengan demikian, Ibadah kurban adalah momentum untuk kaum Muslimin berkomitmen dan bersatu untuk mewujudkan cita-cita bersama, yakni mewujudkan umat yang terbaik (khaira ummah). Apalagi dalam bulan kemerdekaan ini, ibadah kurban harus dijadikan gerbang awal membangun solidaritas kebangsaan demi terciptanya Indonesia yang Baldatun Thayibatun Wa Rabbun Ghafur. Hal ini sesuai dengan sila kelima dalam Pancasila, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dadan Rizwan Fauzi, S.Pd.

Baca juga:
Revolusi Islam Sebagai Produk Politik
Devide et Impera; Islam Tersekat, Indonesia Darurat
Mereka Menggebuk Islam

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI