Indonesia memiliki semangat dan komitmen untuk memberantas korupsi. Sudah sepatutnya Indonesia mengatur mengenai pemidanaan terhadap pejabat negara yang memiliki harta tidak wajar. Beberapa bulan belakangan ini, publik dihebohkan dengan kabar adanya pejabat pajak berinisial RAT yang memiliki harta kekayaan yang fantastis.
Harta kekayaan fantastis tergolong dalam kekayaan “tidak wajar”. Tentu hal tersebut menimbulkan keresahan dan menjadi tanda tanya besar di kalangan masyarakat, berapa sebenarnya pendapatan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) khususnya pejabat publik?
Pendapatan pejabat publik yang merupakan PNS, jika dilihat dari logika gaji bulanan serta pendapat lain dari negara, tampaknya tidak akan bisa disetarakan dengan semua hasil kalkulasi harta atau kekayaan yang tergolong fantastis tersebut.
Baca Juga: Mengapa Kasus Korupsi Masih Terus Terjadi di Indonesia?
Dalam penghitungan sederhana, gaji, tunjangan, dan pendapatan sah yang diterima penyelenggara negara (pejabat negara/ PNS) cenderung bernilai minus jika disubstitusikan ke semua harta atau kekayaan yang dimiliki.
Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa harta atau kekayaan yang diterima patut diduga didapatkan dengan cara-cara yang tidak halal atau melawan hukum.
Pertanyaannya, apakah seorang pejabat negara yang memiliki harta kekayaan yang tidak wajar dapat dihukum/ dipidana?
Indonesia belum mengatur ketentuan pemidanaan terhadap pejabat negara yang memiliki harta yang tidak sah (illicit enrichment).
Padahal, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pemberantasan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption atau UNCAC) sudah mengatur soal kriminalisasi illicit enrichment ini.
Karena kekosongan peraturan, seolah-olah pejabat publik boleh saja memilliki harta kekayaan yang fantastis walau sumbernya patut dicurigai, sepanjang tidak ketahuan bahwa hartanya diperoleh secara tidak sah atau berasal dari tindak pidana.
Jadi, jika ada pejabat publik yang memiliki harta kekayaan tidak wajar, ia tidak dapat dihukum/ dipidana karena tidak ada hukum positif atau undang-undang yang mengatur illicit enrichment.
Rafael Alun Trisambodo (tengah) selesai diperiksa di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (1/3/2023). PK mengklarifikasi informasi seputar enam perusahaan yang dimiliki Rafael yang dilaporkan dalam bentuk kepemilikan surat berharga dengan nominal Rp1,55 miliar.
Illicit Enrichment merupakan tindakan memperkaya diri sendiri secara tidak sah berupa adanya peningkatan aset atau kekayaan dalam jumlah yang besar dari seorang pejabat publik, yang mana peningkatan kekayaan tersebut tidak dapat dijelaskan diperoleh dari sumber penghasilan yang sah menurut hukum.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki semangat dan komitmen untuk memberantas korupsi yang sejalan dengan UNCAC. Karena itu, sudah sepatutnya Indonesia juga mengatur mengenai pemidanaan terhadap pejabat negara yang memiliki harta yang tidak wajar.
Baca Juga: Mengedukasi Siswa tentang Integritas dan Gerakan Anti Korupsi
Seharusnya DPR dan pemerintah segera menerbitkan rancangan UU illicit enrichment. Kemudian memastikan adanya aturan pemidanaan terhadap illicit enrichment. Jika tidak, penegak hukum akan mendapat beban tambahan untuk pembuktian asal-usul harta kekayaan tersebut.
Kewajiban untuk memastikan bahwa seorang pejabat penyelenggara negara memiliki harta yang sesuai dengan pendapatannya seharusnya dibebankan pada insan pejabat itu sendiri, bukan justru dibebankan hanya pada satu institusi penegak hukum untuk mengawasi semua pejabat dari Sabang sampai Merauke.
Penulis:
Andi Rista (201010250251)
Mahasiswa Hukum Universitas Pamulang
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi