Mengapa Kasus Korupsi Masih Terus Terjadi di Indonesia?

Kasus Korupsi Indonesia
Ilustrasi Korupsi. (Sumber: pixabay.com)

Kasus korupsi di Indonesia terus terjadi. Ditinjau dari sisi historisnya, para penjajah, pendahulu, nenek moyang,  sudah mengajarkan perilaku  koruptif.

Sejak perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia dan terlihat dari sistem birokrasi yang sangat  lambat dan berbelit-belit sehingga membuat celah bagi para oknum untuk melakukan tindak korupsi.

Presiden Jokowi menjelaskan Indonesia tidak bisa menghukum mati koruptor karena tidak ada undang-undang yang mengaturnya.

Bacaan Lainnya
DONASI

Menurut dia, ancaman hukuman mati baru bisa diberikan kepada pelaku korupsi yang berkaitan dengan bencana alam.

Rata-rata hukuman penjara bagi koruptor pada 2021 hanya 3 tahun 5 bulan penjara. Angka ini naik dari 2020, tapi tetap saja, angka 3 tahun 5 bulan ini tidak menggambarkan pemberian efek jera”

Kasus korupsi di Indonesia masih terus terjadi. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi 2021, Indonesia berada di peringkat 96 dari 180 negara. Sementara itu berdasarkan survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2021, Indeks Perilaku Anti Korupsi berada di kisaran 3,88%.

Baca juga: Pancasila Menjadi Sumber Etika dalam Pencegahan Tindak Korupsi

Dari hasil analisa Kementerian dalam Negeri (Kemendagri)  mengatakan, hal paling utama penyebab terjadinya korupsi di Indonesia dikarenakan celah yang memungkinkan untuk melakukan tindak korupsi tersebut.

Serta sistem administrasi pemerintahan yang tidak transparan (keterbukaan). Faktor ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi.

Diantaranya tingkat pendapatan atau gaji yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Korupsi merajalela karena telah menjadi budaya. Budaya korupsi terbentuk bukan hanya di lingkungan kerja, tapi mengakar ke kehidupan sehari-hari kita.

Johanis Tanak (pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi) mengusulkan konsep restorative juctice dalam pemberantasan korupsi berupa pembayaran 2 kali lipat atau 3 kali lipat dari kerugian keuangan negara yang ditimbulkan.

Misalnya, ketika suatu pelaku tindak pidana korupsi menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 10 juta, maka restorative juctice yang diterapkan adalah pelaku tersebut membayar denda kepada negara sebesar Rp 20 juta.

“Saya punya pemikiran meskipun belum ada diatur dalam undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi tetapi bisa diisi dengan suatu peraturan untuk mengisi kekosongan hukum dengan membuat mungkin dengan peraturan presiden,” ucap Johanis.

Johanis menilai, aturan tersebut bisa dibuat karena menurutnya terdapat teori ilmu hukum yang mengatakan bahwa peraturan sebelumnya dapat dikesampingkan oleh peraturan yang ada setelah peraturan sebelumnya dibuat.

“Ketika ada restorative juctice dia bisa mengembalikan 2 kali atau 3 kali (lipat dari kerugian negara) dia mengembalikan, maka tidak perlu diproses secara hukum,” kata Johanis.

Baca juga: Peningkatan Kesadaran Diri melalui Gerakan Anti Korupsi dan Integritas Terhadap Generasi Muda

Namun, korupsi sudah merajalela di negara ini, dari pejabat desa, pejabat daerah, anggota DPR bahkan menteri sekalipun banyak terjerat kasus korupsi di negara ini.

Padahal gaji dan tunjangan yang mereka terima terbilang cukup besar didapatkan, itu semua karena pengaruh gaya hidup yang elit/mewah.

Bentuk-bentuk korupsi di Indonesia yaitu: Merugikan Keuangan Negara, Suap-menyuap, Penggelapan dalam Jabatan, Pemerasan, Perbuatan Curang, Benturan Kepentingan dalam Pengadaan dan Gratifikasi kepada hakim.

Adapun tiga kasus korupsi terbesar RI diantaranya, Surya Darmadi dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp 78 triliun, lalu Mega Korupsi Asabri dengan nilai Rp 23 triliun. Selain itu, ada pula Jiwasraya dengan kerugian negara masing-masing Rp 17 triliun.

Akibatnya negara mengalami kerugian yang sangat besar dikarenakan kasus korupsi tersebut, serta berimbas pada masyarakat Indonesia.

Korupsi mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi negara, menurunnya investasi, meningkatnya kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan pendapatan.

Korupsi juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat di suatu negara. Bahkanberdasarkan hasil survey yang dilakukan pada tanggal 3 januari 2022, korupsi paling banyak terjadi berada di Pemerintahan Pusat.

Kasus korupsi Pemerintah Pusat terhitung sebanyak 409 kasus, posisi kedua disusul Provinsi Jawa Barat dengan 118 kasus, lalu Provinsi Jawa Timur sebanyak 109 kasus korupsi, kemudian Provinsi Sumatera Utara sebanyak 84 kasus korupsi.

Inilah kasus korupsi terbanyak di daerah-daerah yang terjadi. Jadi sudah tidak heran lagi kasus korupsi ini sudah menjadi darah daging dikalangan para pejabat dan bukan menjadi rahasia umum lagi.

Efektivitas pengelolaan fungsi pencegahan korupsi dan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan Tipikor belum sepenuhnya efektif, hal tersebut berdasarkan bunyi data IHPS semester II pada 2020 milik BPK, Senin (12/7). BPK mencatat ketidak efektifan itu karena adanya beberapa permasalahan.

Baca juga: Pancasila Social Experiment Project: Mahasiswa UIB Berani Cegah dan Tolak Korupsi

Apabila korupsi tidak ada di Indonesia:

  1. Pembangunan berjalan dengan lancar,
  2. pendidikan akan maju pesat,
  3. pelayanan kesehatan akan berjalan dengan baik,
  4. lingkungan hidup yang terawat indah dan bebas dari sampah, serta
  5. masyarakat sejahtera, aman dan tentram.

Faktor Penyebab Korupsi dari Aspek Internal

  1. Sifat selalu merasa kurang. Tindak pidana korupsi dapat terjadi karena adanya wewenang.
  2. Moral lemah.
  3. Penghasilan kurang mencukupi.
  4. Kebutuhan hidup yang mendesak.
  5. Gaya hidup konsumtif.
  6. Malas atau  tidak mau bekerja.
  7. Sulit dalam hal mencari sebuah pekerjaan, sehingga dengan korupsi mereka meyakini akan memperoleh kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup dalam hal ekonomi.
  8. Tergiur dengan kenikmatan dunia semata, sehingga lalai akan akhirat (kurang iman).
  9. Adanya faktor kurang pemahaman tentang relegius dalam agama.

Faktor Eksternal Penyebab Terjadinya Korupsi

  1. Aspek Pemahaman Masyarakat Terhadap Korupsi.
  2. Adanya aspek pemahaman masyarakat yang kurang terhadap korupsi, bisa menjadi penyebab terjadinya korupsi.
  3. Aspek Ekonomi. Penyebab terjadinya korupsi paling sering karena adanya aspek ekonomi.
  4. Aspek Politis.
  5. Aspek Organisasi.

Faktor Penyebab Korupsi dari Aspek Tempat

  1. Nilai di masyarakat memungkinkan korupsi,
  2. Masyarakat kurang sadar dirinya korban korupsi,
  3. Masyarakat kurang sadar dirinya terlibat korupsi,
  4. Masyarakat kurang sadar korupsi bisa dicegah dan diberantas, serta
  5. Aspek peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Mengedukasi Siswa tentang Integritas dan Gerakan Anti Korupsi

Faktor Penyebab Korupsi dari Aspek Organisasi

  1. Kurangnya sikap keteladanan pimpinan,
  2. Tidak ada kultur organisasi yang benar,
  3. Kurangnya sistem akuntabilitas yang benar,
  4. Kelemahan sistem pengendalian manajemen,
  5. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi.

Berikut upaya detektif dalam mencegah korupsi:

  1. Memperbaiki sistem dan memantau pengaduan masyarakat,
  2. Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu,
  3. Pelaporan harta pribadi pemegang kekuasaan dan fungsi publik,
  4. Partisipasi Indonesia pada Gerakan Anti Korupsi dan Anti Pencucian Uang di kancah Internasional.

Berikut Upaya represif dalam mencegah tindak pidana korupsi

  1. Penguatan kapasitas badan atau komisi anti korupsi.
  2. Penyelidikan.
  3. Penuntutan
  4. Peradilan penghukuman koruptor besar dengan efek jera.
  5. Penentuan jenis-jenis atau kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas

Masyarakat Bisa Berperan dalam Pemberantasan Korupsi dengan cara:

  1. Pantang terlibat tindak pidana korupsi.
  2. Berlatih untuk berintegritas.
  3. Melaporkan tindak pidana korupsi.
  4. Memperbaiki sistem sehingga antikorupsi.
  5. Kampanye dan menyebarkan nilai integritas.

Strategi Cara Pemberantasan Korupsi :

  1. Represif.
    Melalui strategi represif, KPK menjerat koruptor ke meja hijau, membacakan tuntutan, serta menghadirkan saksi-saksi dan alat bukti yang menguatkan.
  2. Perbaikan Sistem.
  3. Edukasi dan Kampanye.
  4. Strategi Preventif.
  5. Strategi Detektif.

Penulis: Rahmad Aril
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Lancang Kuning Riau

Editor: Imamah Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI