Seorang nenek yang berusia senja Bernama Asyani. Ia harus duduk di kursi pesakitan karena didakwa mencuri kayu jati dari Kawasan hutan produksi pada bulan Juli 2014.
Nenek Asyani dijerat Pasal 12 juncto Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman 5 tahun penjara.
Namun nenek asyani berdalih bahwa kayu itu diperoleh dari lahannya sendiri di dusun secangan, Situbondo.
Persidangan di PN Situbondo dimulai sekitar pukul 12.00 WIB dan baru selesai sekitar pukul 14.30 WIB. Vonis yang dijatuhkan hakim ini hanya sedikit lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum.
Sebelumnya, jaksa menuntut penjara 1 tahun penjara dengan masa percobaan 18 bulan, serta denda Rp 500 juta subsidair 1 hari kurungan.
Hakim dalam putusannya hanya mempertimbangkan keterangan saksi yang diajukan oleh perhutani.
Padahal fakta persidangan menunjukkan saksi yang dibawa oleh Jaksa Penuntut Umum tidak bisa menjelaskan keterlibatan nenek Asyani dalam penyelesaian delik bahkan terdapat saksi yang justru tidak mengetahui bahwa nenek Asyani mencuri kayu Perhutani.
Namun fakta yang terungkap justru sebaliknya Terdakwa dalam kasus pencurian kayu milik Perhutani Situbondo, Jawa Timur, Nenek Asyani, akhirnya divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Situbondo.
Nenek Asyani dijatuhi hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan 15 bulan. Selain itu juta dikenai denda Rp 500 juta dengan subsider 1 hari kurungan.
Penasihat Hukum dari nenek Asyani mengatakan membenarkan dan mengkonfirmasi bahwa memang benar kliennya dijatuhi vonis tersebut.
Analisis Hukum
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap yang berasal dari fakta hukum maupun fakta persidangan terdapat beberapa hal yang perlu kita analisis dan diskusikan bersama yaitu sebagai berikut:
Pertama, saksi yang dibawa oleh Jaksa Penuntut Umum sama sekali tidak bisa membuktikan keterlibatan nenek Asiana dalam kasus ini serta disini Jaksa Penuntut Umum juga tidak bisa membuktikan adanya mensrea atau niat jahat dari nenek Asiana dalam mewujudkan delik.
Karena pada kenyataannya nenek Asiana hanya berniat mengambil beberapa potong kayu bakar dari yang sepengetahuannya itu merupakan lahannya dan untuk kebutuhannya sehari-hari, sehingga sama sekali tidak terlihat motif serta mensrea dari nenek Asiana.
Kedua, majelis hakim yang dalam mengambil keputusannya hanya mempertimbangkan keterangan saksi yang diajukan oleh perhutani, lalu Bukankah seharusnya majelis hakim mempertimbangkan saksi yang diajukan oleh penasihat hukum dari nenek Asiana? Itu yang masih menjadi pertanyaan masyarakat luas sampai sekarang ini.
Ketiga, seperti yang kita ketahui Bersama bahwa sejatinya ini merupakan kasus remeh temeh yang terjadi karena kesalahapahaman.
Sangat disayangkan saja pihak pelapor sebegitunya mempermasalahkan kasus ini sampai ke ranah hukum, karena apabila kita melihat nenek Asiana, ia hanya merupakan seoarang nenek di usia senja yang hanya berusaha mencukupi kebutuhannya.
Kesimpulan:
Menurut saya kasus ini hanya merupakan kasus kesalahpahaman yang seharusnnya bisa diselesaikan dengan jalan kekeluargaan atau biasa kita kenal dengan Restorative Justice.
Dimana pihak kepolisian bisa menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan sebelum melimpahkan kepada kejaksaan.
Akhir kata saya marilah kita wujudkan hukum yang berkeadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan sesuai dengan asas Equality before the law  yaitu semua orang sama dimata hukum.
Penulis: Muhammad Rifki Pratama
Mahasiswa Hukum, Universitas Diponegoro
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News