Analisis Risiko dan Keberlanjutan Lingkungan Akibat Tsunami di Banten

Tsunami
Ilustrasi Tsunami (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Risiko terbesar yang mengancam ekonomi global dimasa mendatang adalah risiko lingkungan berupa bencana alam, cuaca ekstrim, perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan sesuai pernyataan World Economic Forum tentang Risiko global.

Peristiwa bencana alam selalu menimbulkan dampak korban jiwa, kerugian harta benda dan kerusakan bangunan maupun infrastruktur serta kerusakan lingkungan.

Indonesia secara geografis dan geologis merupakan salah satu negara yang rawan bencana, termasuk Provinsi Banten, yang terletak di ujung barat Pulau Jawa. Banten tercatat diguncang gempa yang merusak sebanyak 5 kali dalam 5 tahun terakhir.

Frekuensi kejadian gempa bumi yang cukup tinggi di Banten harus diwaspadai, baik dengan magnitudo di bawah 5 SR ataupun di atas itu karena getarannya cukup terasa sampai ke Jakarta, Jawa Barat, Lampung dan Jawa Tengah, berdampak pada banyaknya bangunan yang mengalami rusak berat dan roboh di sekitar pusat gempa dan memicu gelombang tinggi.

Bacaan Lainnya

Pada dasarnya, energi gempabumi yang dilepaskan merupakan mekanisme alami untuk menjaga kestabilan bumi.

Akan tetapi, ketika suatu kejadian sudah menjadi bencana yang menimbulkan dampak merugikan maka sangat perlu dipikirkan bagaimana mengurangi risiko akibat bencana tersebut terutama pada kejadian gempabumi yang tidak dapat diprediksi, dicegah dan dihindari.

BMKG dalam situsnya mencatat terdapat 4 sumber potensi gempa dan tsunami di Banten yaitu zona sumber gempa megathrust berstatus rawan gempa bumi dan tsunami, zona sesar mentawai, sesar semangko, dan sesar ujung kulon berstatus rawan gempa bumi dan tsunami.

Kemudian zona graben selat sunda berstatus longsor dasar laut yang dapat membangkitkan tsunami serta Gunungapi Anak Krakatau di Perairan Selat Sunda.

Tsunami tidak akan muncul tanpa ada pemicunya. Tsunami yang paling banyak terjadi di bumi disebabkan oleh gempabumi tektonik, sedangkan sebagian kecil terjadi akibat aktivitas gunungapi bawah laut.

Syarat lain, tsunami terjadi apabila episentrum berada di dasar laut, memiliki gempa dengan magnitudo di atas 7 Skala Richter, pusat gempa di kedalaman kurang dari 30 km dan terjadi di megathrust.

Ketika keempat hal ini terpenuhi maka tsunami terjadi. Berbeda dengan tsunami yang disebabkan oleh gunungapi bawah laut.

Peningkatan aktivitas gunungapi hingga menyebabkan terjadinya letusan ataupun longsoran kubah di bawah laut menjadi pemicu tsunami, salah satunya tsunami di Pandeglang Banten.

Dalam katalog tsunami yang dikeluarkan oleh BMKG,  Indonesia sejak 1600 sampai saat ini, tercatat telah terjadi 239 kali tsunami, 7 diantaranya tsunami di Selat Sunda akibat aktivitas Gunungapi Krakatau.

Erupsi Gunungapi Krakatau terbesar pada 27 Agustus 1883 menyebabkan terjadinya tsunami dengan dampak 36.000 jiwa meninggal, menenggelamkan beberapa pulau di perairan Selat Sunda, dan memunculkan gunung api kecil yang disebut Gunung Api Anak Krakatau, tercatat sebagai salah satu gunung api yang sangat aktif dan masih terus tumbuh sampai saat ini.

Peristiwa tsunami yang terjadi di kawasan Carita Pandeglang Banten pada 22 Desember 2018 disebabkan longsoran Gunung Anak Krakatau di bawah laut.

Alat pencatat gempa BMKG tidak mencatat adanya getaran gempa vulkanik, tidak menunjukkan anomali sehingga tidak ada early warning sampai gelombang tsunami datang.

Selain ratusan korban jiwa meninggal, ribuan mengalami luka-luka, tsunami menerjang ribuan unit bangunan, merusak lingkungan dan lahan pertanian, dan ratusan kapal nelayan.

Kerugian ekonomi cukup besar dari sektor pariwisata karena Kawasan Pesisir Pandeglang sangat populer sebagai salah satu destinasi wisata hancur seketika bahkan sebagian belum bangkit lagi sampai hari ini.

Ditinjau dari dampak yang timbul, dapat dikatakan analisis risiko tsunami di Pesisir Pantai Pandeglang merupakan hal yang urgent.

Analisis risiko dilakukan pada tahap pra-bencana sebagai bahan dalam perencanaan dan pelaksanaan untuk mereduksi dampak akibat bencana.

Fauzi (2021) menyatakan bahawa analisis risiko dibutuhkan setidaknya menyangkut 3 hal yaitu berkaitan dengan perencanaan bagi pengambil kebijakan berdasarkan pilihan dari beberapa alternatif solusi permasalahan pembangunan yang dihadapi.

Kemudian sebagai instrumen unuk mengukur aspek negatif atau dampak yang ditimbulkan serta keperluan merancang solusi dan kebijakan terkait pencegahan dan antisipasi ketika gejala telah mulai diketahui.

Analisis risiko secara umum berkaitan dengan ancaman/bahaya (hazard), kerentanan (vulnerabilty) dan kapasitas (capacity).

Hazard setiap bencana berbeda-beda tergantung jenis bencananya. Risiko bencana dapat dikurangi dengan menurunkan vulnerability serta meningkatkan capacity masyarakatnya.

Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi bencana, sedangkan kapasitas adalah kemampuan daerah atau masyarakat untuk melakukan tindakan pengurangan ancaman, termasuk ketersediaan regulasi.

Konsep kerentanan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari analisis risiko dan berkaitan dengan lingkungan.

Dengan kata lain, analisis risiko dan keberlanjutan lingkungan menjadi fokus dalam upaya mereduksi keparahan akibat tsunami dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, dikenal 3 indikator kerentanan yaitu kerentanan ekonomi, kerentanan sosial dan kerentanan lingkungan, dimana ketiganya merupakan pilar utama sustainability.

Indeks kerentanan berbasis ekonomi memiliki indikator diantaranya PDB atau PDRB per kapita, perdagangan dan besaran penduduk.

Indeks kerentanan sosial dapat bersifat multidimensional yang melibatkan faktor yang tangibel maupun intangibel, sedangkan kerentanan lingkungan timbul tidak hanya disebabkan oleh faktor alam seperti perubahan iklim, tetapi juga sebagai dampak pembangunan, misalnya deforestasi dan ledakan penduduk yang memicu degradasi lahan.

Pengukuran ketiga indeks kerentanan tersebut dapat dilakukan sekaligus dengan menggunakan indeks komposit sehingga lebih sederhana, ataupun diukur secara terpisah.

Ketahanan terhadap bencana termasuk dalam pilar pembangunan lingkungan, masuk tujuan   ke-11 yaitu kota dan pemukiman berkelanjutan, yang menargetkan tercapainya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan sebagai penyangga seluruh kehidupan.

Tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu pembangunan sosial, pembangunan lingkungan, pembangunan ekonomi dan pembangunan hukum dan tata kelola, meliputi 17 tujuan dan 169 target.

Salah satu target dalam tujuan ke-11 SDGs adalah strategi dan/atau rencana aksi untuk mengurangi risiko bencana dengan mengurangi ancaman dan kerentanan serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana sesuai dengan Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030.

Artinya penanggulangan bencana memiliki kaitan erat dengan SDG’s, harus menitikberatkan pada pemulihan dan kualitas lingkungan, kelangsungan hidup dan kelestarian ekosistem.

Keberlanjutan lingkungan pasca tsunami harus benar-benar menjadi perhatian. Pasca bencana, proses pemulihan (recovery), rehabilitasi dan rekonstruksi harus maksimal agar fungsi lingkungan yang terdampak dapat kembali seperti semula.

Diantara metode analisis risiko adalah Fault Tree Analysis (FTA) dan Failure Mode Effect Analysis (FMEA). FMEA mengidentifikasikan severity (keparahan), occurance (kejadian) dan detection (deteksi) dalam scoring.

Kemudian ketiga parameter tersebut menghasilkan RPN (risk priority number) yang menunjukkan derajat mode kegagalan.

Pada kondisi yang lebih kompleks, FMEA dapat digabungkan dengan pendekatan multikriteria lainnya seperti Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Situation (TOPSIS), Data Envelopment Analysis (DEA), Analytical Hierarcy Process (AHP) ataupun Fuzzy Analysis.

Analisis keberlanjutan dapat melalui pendekatan multi-criteria dengan prinsip compensatory, partial compensatory dan non-compensatory.

Multi-criteria Analysis (MCA) dapat menilai keberlanjutan lingkungan berdasarkan impact analysis, benefit cost analysis, dan economic valuation.

Dengan mempehitungkan status keberlanjutan lingkungan, pengembangan strategi kebijakan untuk mendukung pengambilan keputusan dalam konteks pengurangan risiko tsunami lebih komprehensif karena mengakomodir banyak aspek.

Penulis: Meassa Monikha Sari
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor
Dosen Teknik Sipil Universitas Serang Raya

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses