Jujur, kalau ditanya soal Asia Timur sepuluh tahun lalu, yang kepikiran pertama kali pasti drama politik yang bikin deg-degan.
Perang Korea yang masih panas, rebutan wilayah di Laut China Selatan, plus persaingan ekonomi yang kadang sampai bikin hubungan diplomatik tegang.
Tapi sekarang? Ada yang berubah, dan perubahan ini menarik banget buat dibahas.
ASEAN Plus Three: Game Changer yang Nggak Disangka-Sangka
Siapa sangka kalau forum yang menggabungkan ASEAN dengan tiga raksasa Asia Timur—China, Jepang, dan Korea Selatan—bakal jadi turning point?
Waktu pertama kali dengar konsep ASEAN Plus Three (APT), terus terang saya skeptis. Gimana mungkin negara-negara yang punya sejarah konflik bisa duduk bareng dan bikin kesepakatan tanpa ada yang lempar kursi?
Ternyata rahasianya bukan di meja perundingan formal yang kaku itu. Mereka main di lapangan yang berbeda total: budaya. Dan strategi ini, mau nggak mau, harus saya akui brilliant.
Generasi Baru, Mindset Baru
Yang paling bikin saya terkesan adalah perubahan mindset generasi muda. Ambil contoh program ASEAN Youth Exchange 2025 antara Kamboja dan Thailand.
Ini bukan sekadar program student exchange biasa yang cuma ngasih experience jalan-jalan ke luar negeri.
Pesertanya bener-bener di-immerse sampai mereka jadi semacam duta budaya unofficial.
Saya pernah ngobrol sama salah satu peserta program serupa (bukan yang Kamboja-Thailand, tapi konsepnya mirip).
Dia cerita, sebelum ikut program itu, pengetahuannya tentang negara tetangga cuma sebatas yang dia baca di buku sejarah—yang isinya kebanyakan konflik dan ketegangan.
Setelah tinggal beberapa bulan di sana, perspektifnya berubah 180 derajat.
Sekarang dia punya teman-teman dari berbagai negara yang bisa dia ajak diskusi langsung kalau ada isu-isu regional yang kompleks.
Ini yang saya maksud generasi baru dengan mindset baru.
Mereka nggak lagi melihat negara lain sebagai “the other” atau potensi ancaman, tapi sebagai partner yang punya keunikan budaya masing-masing.
Baca Juga:Â Perang Dagang As-China: Mampukah ASEAN Plus Three Melindungi Rantai Pasok dan Ekspor Indonesia
Korean Wave dan Soft Power yang Nggak Terasa
Bicara soal soft power di Asia Timur, impossible nggak nyebut Korean Wave. Seriusan, siapa yang nyangka kalau drama Korea dan K-Pop bisa jadi alat diplomasi yang efektif banget?
Korea Selatan berhasil mengubah image-nya dari “negara yang selalu konflik sama Korea Utara” jadi “negara yang punya budaya pop keren yang semua orang suka.”
Ini yang saya suka dari pendekatan soft power: nggak terasa kayak dipaksa. Orang-orang naturally tertarik sama budaya Korea karena mereka genuinely enjoy kontennya, bukan karena ada tekanan politik atau ekonomi.
Hasilnya? Korea Selatan sekarang punya influence yang jauh lebih besar dan sustainable daripada kalau mereka cuma andalin kekuatan militer atau ekonomi.
Jepang juga nggak kalah pinter. Pop culture mereka—dari anime sampai J-Pop—udah jadi semacam bahasa universal di Asia Timur.
Bahkan China, yang secara politik sometimes tegang sama Jepang, tapi budaya pop Jepang tetap diminati banget sama anak mudanya.
Baca Juga:Â China-Indonesia: Keseimbangan atau Dominasi?
China dan Belt and Road: Soft Power dengan Skala Besar
China, sebagai pemain terbesar di kawasan, juga ngerti bahwa influence jangka panjang nggak bisa cuma dibangun lewat economic leverage doang.
Makanya Belt and Road Initiative mereka nggak cuma fokus di infrastruktur fisik, tapi juga include cultural exchanges dan educational scholarships dalam skala besar.
Strategi ini smart banget karena mereka building people-to-people connections yang lebih lasting daripada sekadar hubungan transaksional bisnis.
Alumni beasiswa China yang tersebar di berbagai negara ASEAN, misalnya, jadi bridge yang valuable untuk hubungan bilateral jangka panjang.
Win-Win Solution: Semua Untung, Nggak Ada yang Rugi
Yang menarik dari model diplomasi budaya ini adalah sifatnya yang win-win.
Berbeda sama era sebelumnya yang zero-sum game—kalau satu negara untung, yang lain pasti rugi—sekarang semua pihak bisa benefit tanpa harus sacrifice kepentingan nasional masing-masing.
Negara-negara ASEAN dapat akses ke educational opportunities, cultural exchanges, dan knowledge sharing yang berkualitas.
Sementara China, Jepang, dan Korea Selatan dapat market yang lebih luas untuk soft power mereka, plus relationship yang lebih solid dengan negara-negara tetangga.
Baca Juga:Â Menggambar Diplomasi: Peran Anime dan Cosplay dalam Mempromosikan Citra Jepang di Mata Dunia
Tantangan: Nggak Semudah yang Kelihatan
Tapi ya, realitanya nggak sesimpel itu juga. Politik dinamis banget, dan ada always risk kalau program-program jangka panjang ini jadi korban ketika ada perubahan pemerintahan atau political upheaval.
Belum lagi balancing act antara kepentingan nasional dan regional cooperation yang sometimes tricky banget.
Plus, tekanan dari great powers di luar kawasan juga bisa jadi complicating factor. Soft power memang powerful, tapi prosesnya slow dan gradual.
Butuh commitment jangka panjang yang kadang bertentangan sama political cycles yang cenderung short-term oriented.
Optimisme untuk Masa Depan
Despite semua challenges itu, saya tetap optimis sama model APT ini. Bahkan menurut saya, ini bisa jadi template yang applicable untuk kawasan lain yang masih struggling dengan legacy conflicts dan mutual mistrust.
Kuncinya adalah tetap fokus pada shared benefits dan mutual respect, sambil maintain flexibility untuk adapt dengan perubahan geopolitical landscape yang unpredictable.
Selama semua pihak committed sama prinsip dasar cooperation dan ada political will untuk sustain program-program ini, cultural diplomacy bisa jadi foundation yang solid untuk long-term peace dan prosperity di kawasan.
Asia Timur udah buktiin bahwa soft power bukan cuma konsep akademis yang kedengarannya bagus di atas kertas.
Baca Juga:Â Korean Wave dan Remaja Papua Antara Gaya Hidup Global dan Kearifan Lokal
Ini real strategy yang bisa deliver real results. Dan yang paling penting, ini strategy yang sustainable dan nggak create unnecessary enemies.
Mungkin ini saatnya kawasan lain mulai belajar dari East Asian model: sometimes, the most powerful weapon is not the one that destroys, but the one that attracts and unites.
Penulis: Vivin Selviana Gabriela Auparay
Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional, Universitas Cenderawasih
Referensi
ASEAN Plus Three Secretariat. (2024). Overview of ASEAN Plus Three Cooperation
ASEAN University Network. (2024). ASEAN+3 Educational Cooperation and Digital Transformation
Korea University College of International Studies. (2024). CAMPUS Asia Plus Program
Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology (MEXT), Japan. (2024). Working Group on Student Mobility and Quality Assurance
Nye, Joseph S. (2004). Soft Power: The Means to Success in World Politics. New York: PublicAffairs
University World News. (2022). “New CAMPUS Asia initiative extends to ASEAN countries”
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News