Bab Pertama
Bab pertama menjadi pengantar penting untuk memahami filsafat Islam, mencakup definisi, ruang lingkup, sejarah, dan keterkaitannya dengan ilmu keislaman lainnya. Filsafat Islam merupakan refleksi rasional tentang realitas dan Tuhan yang berpijak pada ajaran Islam, dengan menggabungkan peran akal dan wahyu.
Objek kajiannya mencakup metafisika, epistemologi, etika, estetika, dan logika yang digunakan untuk memahami hakikat keberadaan dan kebenaran. Filsafat masuk ke dunia Islam melalui proses penerjemahan karya-karya filsuf Yunani, dan tokoh-tokoh seperti Al-Kindi dan Ibnu Sina berperan penting dalam menyelaraskan filsafat dengan ajaran Islam.
Kelahiran filsafat Islam dipengaruhi oleh gerakan penerjemahan besar-besaran, kondisi sosial-politik yang mendukung, kebutuhan intelektual dan spiritual umat, serta interaksi budaya yang intens. Dalam perkembangannya, filsafat Islam juga memiliki hubungan erat dengan Ilmu Kalam dan Tasawuf, di mana ia memperkaya pemahaman keagamaan dengan pendekatan rasional dan spiritual.
Baca juga:Â Pemikiran para Filsuf Islam
Bab Kedua
Bab 2 menjelaskan mengulas perjalanan intelektual para filsuf Muslim klasik yang mewarnai peradaban Islam dengan warisan pemikiran yang mendalam. Dimulai dari Al-Kindi yang mempelopori pendekatan filsafat dalam Islam dengan menyerap unsur Yunani, Al-Razi yang dikenal kritis dan rasional, hingga Al-Farabi yang merumuskan model negara utama berdasarkan prinsip filsafat Plato dan Aristoteles.
Ibn Miskawaih mengembangkan etika secara sistematis, sedangkan Ibn Sina memperkenalkan teori jiwa dan eksistensi yang kelak memengaruhi Barat. Imam Ghazali menyeimbangkan kritik terhadap filsafat dengan pendekatan sufistik dan spiritualitas.
Pemikiran kolektif Ikhwanus Shafa menyumbangkan literatur ensiklopedis yang mencakup berbagai bidang ilmu. Ibn Thufayl mengangkat filsafat melalui kisah alegoris, sementara Ibn Rusyd membela akal sebagai instrumen memahami wahyu.
Tokoh-tokoh seperti Nashiruddin Thusi dan Mulla Sadra kemudian memperluas cakrawala metafisika dan mistisisme dalam filsafat Islam. Keseluruhan tokoh ini tidak hanya menunjukkan kebesaran intelektual dunia Islam, tetapi juga menggambarkan bagaimana filsafat dan agama bisa bersinergi dalam membentuk peradaban yang bernalar dan spiritual.
Bab Ketiga
Bab 3 membahas masalah ketuhanan dalam pandangan filsafat Islam, khususnya tentang keberadaan Tuhan, hubungan-Nya dengan alam dan manusia, serta persoalan kejahatan. Para filsuf Muslim berusaha membuktikan keberadaan Tuhan secara rasional lewat argumen kosmologis, ontologis, dan teleologis, dan menyimpulkan bahwa Tuhan adalah wujud yang wajib ada dan menjadi sumber segala sesuatu.
Tuhan dan alam dipahami memiliki hubungan pencipta dan ciptaan, di mana alam semesta mencerminkan kehendak dan kebijaksanaan Tuhan. Sementara itu, hubungan Tuhan dengan manusia bersifat personal dan spiritual, karena manusia memiliki akal untuk mengenal Tuhan dan menjalin hubungan moral serta keimanan.
Dalam perjalanannya, terjadi dialog antara agama dan filsafat—tokoh seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina mencoba menyatukan akal dan wahyu, sementara Al-Ghazali menekankan pentingnya wahyu.
Bab ini juga menyentuh persoalan kejahatan dan penderitaan di dunia, yang dijawab oleh para filsuf dengan beragam pendekatan, misalnya dengan melihat kejahatan sebagai ketiadaan kebaikan atau sebagai ujian hidup. Keseluruhannya, bab ini menunjukkan bagaimana pemikiran Islam berusaha memahami konsep Tuhan secara mendalam, rasional, dan tetap berlandaskan nilai spiritual.
Bab Keempat
Bab 4 membahas tentang kosmologi atau asal-usul dan hakikat alam semesta menurut pandangan filsafat Islam. Dalam bab ini dijelaskan bahwa alam tidak terjadi secara kebetulan, melainkan diciptakan oleh Tuhan melalui kehendak dan kebijaksanaan-Nya. Pandangan ini mencoba menyatukan antara wahyu dan akal dalam memahami proses penciptaan.
Salah satu perdebatan penting yang diangkat adalah soal kekekalan alam: filsuf seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina berpandangan bahwa alam selalu ada dalam kehendak Tuhan, sedangkan teolog seperti Al-Ghazali menegaskan bahwa alam diciptakan dari ketiadaan.
Bab ini juga membahas tujuan alam dan akhir keberadaannya, bahwa alam semesta tidak berjalan sendiri, melainkan bergerak sesuai dengan kehendak Ilahi dan akan berakhir pada waktu yang telah ditentukan.
Selain itu, dibahas juga keyakinan tentang kebangkitan jasmani di hari kiamat sebagai bagian penting dari pemahaman kosmologi Islam. Intinya, filsafat Islam melihat alam semesta bukan hanya sebagai benda fisik, tapi juga sebagai ciptaan yang mengandung makna spiritual dan terhubung erat dengan kehidupan manusia dan tujuan akhir penciptaan.
Bab Kelima
Bab 5 mengajak kita untuk memahami hakikat manusia secara mendalam dari sudut pandang filsafat Islam. Dalam kajian ini, manusia tidak hanya dilihat sebagai makhluk biologis, tapi juga sebagai makhluk spiritual dan rasional yang unik.
Filsafat Islam memandang manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki posisi istimewa karena diberi akal dan kehendak bebas. Unsur-unsur manusia terdiri dari jasad (tubuh) dan ruh (jiwa), yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan dalam membentuk eksistensi manusia. Jiwa manusia dalam pandangan filsuf muslim memiliki kedalaman tersendiri, terbagi dalam berbagai tingkat—seperti nafs ammarah (jiwa yang cenderung pada keburukan), nafs lawwamah (jiwa yang sadar diri), hingga nafs muthmainnah (jiwa yang tenang dan damai).
Tujuan hidup manusia, menurut para filsuf Islam, adalah menjadi manusia sempurna (insan kamil), yaitu sosok yang mampu menyelaraskan aspek fisik, akal, dan spiritualnya secara seimbang, serta mendekatkan diri kepada Tuhan.
Selain itu, bab ini juga membahas persoalan moral yang erat kaitannya dengan kebebasan memilih dan tanggung jawab. Filsafat Islam menekankan pentingnya nilai-nilai etika dalam membimbing perilaku manusia, karena tanpa moralitas, akal dan ilmu bisa disalahgunakan. Intinya, manusia dalam pandangan filsafat Islam adalah makhluk yang kompleks, tapi juga punya potensi luar biasa untuk mencapai kesempurnaan sejati.
Bab 6Â membahas secara kritis tentang problematika ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat Islam. Di sini, ilmu tidak hanya dipandang sebagai kumpulan fakta atau data, tapi sebagai sesuatu yang memiliki dimensi filosofis dan spiritual.
Filsafat Islam mencoba menjawab pertanyaan mendasar seperti: apa itu ilmu, dari mana asalnya, dan bagaimana cara manusia mengetahuinya? Ilmu dipahami sebagai hasil dari aktivitas akal manusia yang terarah untuk mengenal realitas, baik yang bersifat fisik maupun metafisik.
Ada pembahasan menarik tentang pembagian ilmu, yaitu ilmu-ilmu rasional (seperti matematika dan logika) dan ilmu-ilmu tekstual (seperti tafsir dan hadis), serta bagaimana keduanya harus saling melengkapi, bukan dipertentangkan.
Selain itu, metode memperoleh ilmu juga dikaji, mulai dari observasi dan eksperimen, hingga intuisi dan wahyu, yang semuanya diposisikan dalam harmoni. Bab ini juga menyoroti hubungan antara ilmu, agama, dan filsafat yang sering kali disalahpahami sebagai hal yang bertentangan.
Padahal, menurut filsafat Islam, ketiganya adalah jalan berbeda yang menuju pada satu tujuan: kebenaran. Ilmu tidak boleh berdiri sendiri tanpa panduan etika dan nilai spiritual, karena ilmu tanpa iman bisa membahayakan.
Maka dari itu, bab ini menegaskan pentingnya membangun ilmu yang tidak hanya canggih secara teknis, tapi juga bijaksana dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Filsafat Islam mengajak kita sebagai mahasiswa untuk tidak hanya mencari ilmu, tapi juga merenungkan makna dan tujuan dari ilmu itu sendiri.
Bab 7 buku Mozaik Filsafat Islam membahas tentang mazhab-mazhab utama dalam tradisi filsafat Islam yang berkembang sejak era klasik hingga modern. Dalam perkembangan pemikiran Islam, muncul berbagai mazhab atau aliran yang memiliki pendekatan dan fokus yang berbeda dalam memahami hakikat Tuhan, alam, dan manusia.
Beberapa mazhab penting yang dijelaskan antara lain adalah Peripatetik (filsafat rasional yang dipengaruhi Aristoteles dan berkembang lewat tokoh seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina), kemudian muncul mazhab Isyraq atau iluminasi yang dikembangkan oleh Suhrawardi, yang lebih menekankan pada cahaya spiritual dan intuisi.
Di sisi lain, ada juga mazhab Teologi Kalam yang banyak diwarnai oleh perdebatan rasional-religius tentang keimanan, seperti Muktazilah dan Asy’ariyah. Tak ketinggalan, mazhab filsafat mistik (tasawuf falsafi) seperti yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi, menggabungkan filsafat dan pengalaman spiritual untuk memahami eksistensi.
Bab ini juga mengulas mazhab Ikhwan al-Safa yang mencoba menyatukan semua cabang ilmu dan filsafat dalam satu harmoni universal. Setiap mazhab memiliki keunikan dalam cara berpikir dan pendekatan terhadap kebenaran, tapi semuanya memiliki satu tujuan yang sama, yaitu memahami realitas secara lebih dalam dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Sebagai mahasiswa, kita bisa melihat betapa kayanya khazanah intelektual Islam yang tidak hanya religius, tapi juga sangat filosofis dan rasional. Bab ini mengajak kita untuk lebih terbuka, kritis, dan menghargai perbedaan pemikiran sebagai bagian dari dinamika keilmuan Islam.
Identitas Buku
Judul Buku: Mozaik Filsafat Islam
Tahun Terbit: 2020
Penulis: Prof. Dr. H. Hasan Bakti Nasution, M.A.
Penulis:Â Atika Deni
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News-