Pemikiran para Filsuf Islam

Filsuf Islam
Ilustrasi Pemikiran para Filsuf Islam (Sumber: Penulis)

Para filosof Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd muncul pada periode pertengahan hingga akhir.

Mereka memainkan peran penting dalam pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, terkadang mencoba menggabungkan ide-ide Aristoteles, Plato dan Al-Quran menjadi sebuah sintesis. Pengaruh mereka kemudian menyebar ke Eropa berkat kontribusi besar  dunia Islam.

Al-Kindi (801M-865M) [1]

Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub bin Ishak bin Ahabah bin Umron bin Ismail bin Muhammad bin Asy’as bin Qais Al-Kindi. Ia lahir di Kuffah 801M.

Disamping ahli dalam ilmu agama juga ahli dalam ilmu kedokteran, filsafat matematika, logika, pengubah lagu, geometri, aritmetika, fisiologi dan astronomi. Al-Kindi adalah orang pertama yang memasukkan filsafat sebagai salah satu ilmu ke-Islaman.

Bacaan Lainnya

Pokok-pokok pemikiran filsafat Al-Kindi sebagai berikut:

1. Tentang Filsafat (metafisika) dan Agama.

Agama dan filsafat sama-sama mengejar tujuan yang sama, yaitu menemukan kebenaran. Agama menjelaskan apa yang benar dan baik melalui wahyu dan akal, sama seperti filsafat.

Menurut Al-Kindi, metafisika merupakan filsafat tertinggi yang mencari kebenaran pertama sebagai akar dari segala kebenaran.

Al-Kindi percaya bahwa Tuhan adalah makhluk yang sempurna, unik dan unik dan Dialah yang menciptakan dunia ini.

Ia menerima pandangan Aristoteles dan Neo-Platonisme dalam metafisika, kecuali mengenai keabadian penciptaan dan ketidakmungkinan “tidak ada yang membentuk keberadaan”.

Dalam hal tersebut Al-Kindi tetap pada prinsip Teologi Islam bahwa semua diciptakan Tuhan dan di atas ketentuan hukum alam. Alam bukan qodim(kekal di zaman lampau), tetapi mempunyai permulaan.

2. Tentang Pengetahuan

Pengetahuan menurut Al-Kindi dibagi menjadi pengetahuan Ilahiyah yaitu pengetahuan sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an.

Pengetahuan ini diterima nabi dari Tuhan. Dasar dari pengetahuan ini adalah keyakinan. Kedua, pengetahuan Insaniyah. Dasar pengetahuan Insaniyah adalah pikiran.

Kebenaran yang dibawah Al-Qur’an lebih meyakinkan daripada filsafat. Jadi, menurut Al-Kindi Al-Qur’an dan filsafat tidak bertentangan.[2]

Al-Farabi (870M-950M)

Nama lengkapnya Abu Nasher Muhammad bin Anzalq bin Turchan Al-Farabi. Ia lahir di Farab, Turkistan pada 870M. Al-Farabi merupakan seorang ahli matematika dan ahli musik.

Pokok-pokok pemikiran filsafatnya:

1. Tentang Metafisika.

Filsafat adalah kajian mendalam tentang hakikat segala sesuatu yang ada. Al-Farabi sependapat dengan Plato bahwa alam diciptakan dari ketiadaan, dan dalam konsep ketuhanan ia memadukan pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme dengan istilah Al-Maujud Al-awwal sebagai penyebab utamanya.

Tuhan menciptakan alam dari materi yang ada dengan energi tertentu sejak dahulu kala, agar ketuhanan  Islam tidak bertentangan dengan pandangannya.

Tujuan Al-Farabi mengemukakan teori emanasi tersebut menegaskan kemahaesaan Tuhan. Karena tidak mungkin yang Esa berhubungan dengan yang tidak Esa atau banyak.

Jadi, dari Tuhan yang Maha Esa hanya muncul satu, yakni akal pertama yang berfungsi sebagai perantara dengan yang banyak.[3]

Ibnu Sina (980M-1037M)

Abu Ali Husain bin Abdillah bin Ibnu Sina lahir di Afsyana pada tahun 980M. Ibunya orang Turki dan ayahnya keturunan Arab-Persia atau Turki.

Ibnu Sina bekerja di kota Bagdad. Menurutnya, Tuhan itu Al-Aqlu (Akal). Pandangan Ibnu Sina tentang emanasi mirip dengan Al-Farabi, yang menyatakan bahwa jiwa pertama berasal dari Tuhan dan melalui serangkaian inkarnasi, jiwa-jiwa bawahan dan dunia ini diciptakan.

Adapun proses pelimpahan tersebut menurut Ibnu Sina, adalah Allah memikirkan tentang diri-Nya, lalu memikirkan sesuatu di luar dirinya, menyebabkan timbulnya akal lain yang dinamakan akal pertama.

Akal pertama berpikir pula dan mengeluarkan akal kedua dan seterusnya. Ketika akal pertama berpikir mengeluarkan akal kedua, disamping itu juga mengeluarkan dua wujud lain yaitu Jirmul Falakil Aqso (langit dengan semua planetnya) dan Nafsul Falakil Aqso(jiwa dari planet-planet tersebut).

Menurut Ibnu Sina, tiap-tiap akal itu menimbulkan tiga tidak dua wujud seperti Al-Farabi yaitu 1) Akal, 2) Jarim langit dan planetnya dan 3) Jiwa langit dan planet-planetnya.

Jadi langit menurut Ibnu Sina, mempunyai jiwa yang menggerakkan dan mempunyai akal yang mengaturnya.[4]

Al-Ghazali (1058M-1111M)

Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali Ath-Thusi lahir didesa Thus, Iran pada tahun 1058. Setelah mempelajari filsafat, ia menyadari bahwa akal saja tidak cukup untuk memahami ketuhanan.

Dalam minal dhalal Al-Munqidz, Al-Ghazali mencari kebenaran yang diyakini kebenarannya dan mempelajari filsafat secara mandiri, sehingga menciptakan karya-karya yang mengangkat dirinya sebagai seorang filosof.

Dalam buku Tahafutul-Falasifah, menyerang argumen filsuf Yunani dan filsuf Islam, diantaranya adalah Al-Ghazali menyerang dalil filsafat Aristoteles tentang azzalinya alam.

Dengan tegas Al-Ghazali mengatakan bahwa alam berasal dari tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo), sebab diciptakan oleh Tuhan.

Kalau dikatakan bahwa alam tidak bermula, itu namanya bukan ciptaan, sedangkan Al-Qur’an menyebut bahwa Tuhan pencipta segala-galanya.[5]

Ibnu Rusyd (1126M-1198M)

Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Rusyd adalah seorang filosof terkenal yang lahir diCordoba, Andalusia pada tahun 1126M.

Ia sering disebut sebagai “komentator”. Ibnu Rusyd menekankan pentingnya akal dalam memahami Islam, namun ia juga mengkritisi keterbatasan akal dalam menyikapi persoalan supranatural yang berkaitan dengan agama.

Beberapa pemikiran Ibnu Rusyd:

  • Pengetahuan tentang Tuhan tidak dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa duniawi. Menurut Aristoteles, Tuhan adalah kehidupan yang kekal dan sempurna dalam diri-Nya, tidak terpengaruh oleh apa yang terjadi didunia.
  • Argumen yang dikemukakan ialah seandainya alam tidak azali, ada permulaannya, maka habislah alam ini. Dan setiap yang baru pasti ada yang menjadikannya. Yang menjadikannya ini haruslah ada yang menjadikannya pula. Demikian berturut-turut tak habis-habisnya. Padahal keadaan yang berantai demikian tak ada habisnya adalah tidak dapat diterima akal.[6]

[1] Siti Nurlaili, Filsafat Umum, 1 ed. (Efude Press, 2015).

[2] Azizah Aryati, “Pemikiran al-Kindi dan al-Farabi,” IAIN Bengkulu 04, no. 1 (10 Mei 2015), https://doi.org/10.29300/jpkth.vi1.1548; Nurlaili, Filsafat Umum.

[3] Try Subakti, “Sebuah Studi Kajian Islam Melalui Pendekatan Filsafat Al-Ghazali Dan Al-Farabi” 14, no. 1 (8 April 2019).

[4] Herwansyah Herwansyah, “Pemikiran Filsafat Ibnu Sina(Filsafat Emanasi, Jiwa dan Al-Wujud),” UIN Raden Fatah Palembang 1, no. 1 (19 Oktober 2017).

[5] Subakti, “Sebuah Studi Kajian Islam Melalui Pendekatan Filsafat Al-Ghazali Dan Al-Farabi”; Nurlaili, Filsafat Umum.

[6] Nurlaili, Filsafat Umum.

Penulis: Mala Hayati
Mahasiswa Ilmu Hadis, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Referensi:

Aryati, Azizah. “Pemikiran al-Kindi dan al-Farabi.” IAIN Bengkulu 04, no. 1 (10 Mei 2015). https://doi.org/10.29300/jpkth.vi1.1548.

Herwansyah, Herwansyah. “Pemikiran Filsafat Ibnu Sina(Filsafat Emanasi, Jiwa dan Al-Wujud).” UIN Raden Fatah Palembang 1, no. 1 (19 Oktober 2017).

Nurlaili, Siti. Filsafat Umum. 1 ed. Efude Press, 2015.

Subakti, Try. “Sebuah Studi Kajian Islam Melalui Pendekatan Filsafat Al-Ghazali Dan Al-Farabi” 14, no. 1 (8 April 2019).

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses