Dibungkam dan Rentan: Perspektif Feminis tentang Nasib Perempuan dalam Konflik Israel-Palestina

Palestina
Perempuan Palestina.

Salah satu konflik terpanjang dalam ingatan kontemporer terjadi di suatu tanah yang sarat dengan sejarah kuno dan modern, tempat persimpangan tiga agama besar dunia. Konflik Israel-Palestina adalah masalah yang kompleks dan telah berlangsung lama yang ditandai dengan kerumitan politik, sejarah, dan budaya.

Di tengah-tengah gejolak tersebut, peran perempuan dan feminisme telah muncul sebagai aspek yang penting, menyoroti tantangan-tantangan unik yang dihadapi oleh para perempuan di Palestina. Upaya-upaya sebelumnya untuk mengakhiri permasalahan yang terjadi di Israel-Palestina secara damai telah gagal, yang mengarah pada peningkatan kekerasan dan penindasan.

Kerusuhan politik, sengketa wilayah, dan konflik militer selama puluhan tahun telah meninggalkan dampak yang berkepanjangan dan tak terhapuskan dalam kehidupan perempuan Palestina. Perempuan-perempuan di Palestina telah mengalami kekerasan, kehilangan orang yang dicintai, hingga harus kehilangan tempat tinggalnya dan mengungsi.

Bacaan Lainnya
DONASI

Di Palestina, perempuan seringkali dikucilkan dan tidak dilibatkan dalam partisipasi politik formal, dan secara khusus dikucilkan dari posisi-posisi pemerintahan yang lebih tinggi.

Selain dikucilkan dari ruang publik di Palestina, perempuan Palestina juga tidak dianggap sebagai individu yang memiliki hak-hak dasar, seperti halnya banyak orang Palestina dari semua jenis kelamin yang ada di OPT (Occupied Palestinian Territory)–wilayah geografis yang berada dibawah pendudukan militer Israel sejak Perang Enam Hari pada tahun 1967 dan Israel.

Hal ini paling terlihat pada tingkat sistemik melalui status kewarganegaraan. Warga Palestina yang memiliki kewarganegaraan Israel memiliki akses yang lebih besar terhadap berbagai fasilitas dan tempat dibandingkan dengan warga Palestina yang tidak memiliki kewarganegaraan Israel yang tinggal di OPT.

Ditambah lagi pada konflik yang sedang terjadi saat ini, di mana eskalasinya semakin meningkat setelah insiden 7 Oktober 2023, perempuan berada di posisi yang paling rentan. Perempuan dan anak-anak secara tidak proporsional menderita dan telah menanggung beban konflik di Israel dan Gaza, menurut seorang ahli PBB yang dikutip dalam berita dan siaran pers UNHRC.

Walaupun sebenarnya, bahkan sebelum konflik yang dimulai pada 7 Oktober ini pun, selama beberapa dekade terakhir, pendudukan Israel dan penolakan terhadap penentuan nasib sendiri telah menjadikan perempuan Palestina sebagai sasaran serangan berlapis-lapis, mulai dari diskriminasi hingga kekerasan yang mengerikan dan sistematis.

Menurut laporan dari WHO dan badan-badan PBB, sejak 7 Oktober lalu, telah terjadi 117 serangan terhadap infrastruktur kesehatan di Gaza, yang mengakibatkan ditutupnya 64% pusat layanan kesehatan primer dan tidak berfungsinya separuh kapasitas rumah sakit.

Selain itu, sekitar 50.000 wanita hamil di Gaza diperkirakan akan melahirkan dalam kondisi yang semakin berbahaya. Ibu hamil di Gaza berisiko melahirkan tanpa anestesi, tindakan sanitasi, atau bahkan intervensi bedah karena bahan bakar, obat-obatan, air, dan persediaan rumah sakit dengan cepat habis atau berkurang disebabkan banyaknya korban berjatuhan akibat serangan dari Israel.

Selain itu, perempuan Palestina juga terpaksa harus mengonsumsi obat-obatan yang memiliki banyak efek samping demi mencegah datangnya menstruasi karena keterbatasan akses air bersih dan produk menstruasi. Menurut UNFPA, lebih dari 690.000 perempuan dan anak perempuan yang sedang menstruasi memiliki akses terbatas terhadap produk kebersihan menstruasi.

Terlepas dari segala keterbatasan mulai dari sangat kurangnya keterlibatan perempuan Palestina pada ranah-ranah publik, misalnya pemerintah, hingga diskriminasi yang dihadapi dalam memenuhi hak-hak dasar untuk hidup, terlebih di tengah eskalasi konflik sejak 7 Oktober, perempuan Palestina telah secara aktif terlibat dalam berbagai inisiatif yang bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan unik mereka.

Melalui penyediaan bantuan hukum, konseling, dan program pendidikan, organisasi-organisasi seperti Women’s Centre for Legal Aid and Counseling (WCLAC), Women of the Sun yang berbasis di Palestina, dan Palestinian Working Women Society for Development (PWWSD) mendedikasikan hidup mereka untuk memberdayakan perempuan.

Bagi perempuan Palestina, organisasi-organisasi ini menyediakan forum penting untuk berjejaring, berbagi pengalaman, dan advokasi kelompok untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Lembaga-lembaga tersebut memungkinkan perempuan untuk mengatasi hambatan dan menyuarakan pendapat mereka baik secara lokal maupun global dengan mempromosikan rasa kebersamaan.

Penulis: Nashwa Safa Hidayat
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI