Dikira Arogan, Ternyata Introvert: Salah Persepsi Sosial di Lingkungan Mahasiswa

Dikira Arogan, Ternyata Introvert
Gambar dibuat dengan AI.

“Dia sombong banget, deh. Lewat aja gak nyapa.” Kalimat ini mungkin terdengar akrab di telinga mahasiswa baru atau penghuni lingkungan kampus.

Seseorang yang jarang berbicara, menyendiri di kelas, atau tidak aktif di organisasi kerap diberi label “sombong”, “jutek”, bahkan “antisosial”. Namun, benarkah persepsi itu sesuai dengan kenyataan?

Dalam dunia psikologi sosial, fenomena ini dikenal sebagai kognisi sosial cara kita memproses informasi sosial tentang orang lain. Kita membentuk kesimpulan berdasarkan apa yang kita lihat atau dengar, meski kadang informasi itu sangat terbatas.

Akibatnya, atribusi yang keliru pun sering terjadi: seseorang yang pendiam bisa dianggap arogan, padahal bisa jadi ia adalah seorang introvert yang sedang mencoba menyesuaikan diri.

Bacaan Lainnya

Masalahnya bukan hanya salah paham, tetapi juga dampak psikologis yang muncul. Label negatif dapat memengaruhi bagaimana individu melihat dirinya sendiri, bahkan menurunkan rasa percaya diri atau membuatnya menarik diri dari lingkungan sosial.

Padahal, tidak semua mahasiswa yang diam itu tidak ramah — sebagian justru ingin berbaur, namun terhalang oleh kecemasan sosial, pengalaman masa lalu, atau sekadar preferensi kepribadian.

Psikolog sosial Harold Kelley (1973) mengemukakan teori atribusi yang menjelaskan bagaimana manusia cenderung menilai perilaku orang lain dengan menyalahkan sifat pribadinya (disposisi), bukan situasi. Inilah yang disebut fundamental attribution error.

Kita jarang berpikir bahwa mungkin orang itu sedang cemas, lelah, atau belum nyaman yang kita lihat hanya “dia tidak menyapa, berarti sombong.”

Lingkungan kampus sering kali menuntut mahasiswa untuk tampil supel, aktif, dan ekspresif. Mereka yang tidak sesuai ekspektasi ini rentan dikucilkan atau dianggap tidak niat bergaul.

Padahal, keberagaman kepribadian adalah hal yang normal dan sehat dalam dinamika sosial. Tidak semua orang menunjukkan kepedulian lewat obrolan atau ekspresi terbuka ada yang memilih hadir dalam diam, mendengar lebih banyak daripada berbicara.

Sayangnya, ruang empati dan pemahaman dalam komunitas mahasiswa kadang terlalu sempit. Kita lebih cepat menilai daripada mendekat. Lebih suka menyimpulkan daripada menyapa.

Baca Juga: Gimana sih Mahasiswa Introvert Bersosialisasi agar Bisa Diterima di Lingkungan Kampus?

Jadi,hal apa sih yang bisa kita lakukan?

1. Tunda penilaian

Jika seseorang terlihat diam atau berbeda, jangan buru-buru memberi label negatif. Cobalah pahami latar belakang atau keadaannya terlebih dahulu.

2. Bangun budaya kampus yang inklusif

Ajak semua tipe kepribadian untuk merasa diterima bukan hanya yang ramai, tapi juga yang tenang.

3. Refleksi diri

Kita pun kadang bisa menjadi korban maupun pelaku penilaian sosial yang salah. Dengan menyadari bias kognitif yang kita punya, kita bisa membangun relasi yang lebih sehat.

Menjadi mahasiswa bukan hanya tentang lulus akademis, tapi juga lulus dalam memahami manusia. Di balik tatapan kosong dan tubuh yang menjauh, mungkin ada seseorang yang sedang berjuang bukan untuk menjadi menarik, tapi cukup untuk diterima.

Jadi, sebelum menyimpulkan, bertanyalah. Sebelum melabeli, kenalilah. Karena bisa jadi, yang kamu kira arogan, sebenarnya hanya seorang introvert yang belum menemukan ruang yang aman untuk bersuara.

Penulis: Amelda Haerlina Hastuti
Mahasiswa Psikologi Universitas Muria Kudus

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses