Disabilitas dalam Sejarah Budaya Jawa

Disabilitas
Ilustrasi Disabilitas (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Disabilitas merupakan keadaan dimana seseorang mengalami keterbatasan baik fisik maupun mental sehingga kesulitan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, penyandang disabilitas sendiri disebut difabel.

Pada zaman dulu, dimana ilmu pengetahuan belum mudah diakses seperti saat ini, disabilitas memiliki citra yang negatif. Disabilitas kerap dikaitkan dengan perbuatan jahat, dosa, atau suatu fenomena luar biasa (Ekowarni et al., 2015).

Kemudian ketika perkembangan teknologi sudah mulai menyebar secara luas, munculah penjelasan rasional mengenai penyebab disabilitas muncul dan juga berkembangnya beberapa pemahaman tentang disabilitas.

Bacaan Lainnya
DONASI

Namun dengan munculnya penjelasan rasional ini tidak serta merta mengubah pandangan masyarakat terhadap disabilitas.

Menjadi sasaran bullying sering dialami oleh difabel. Hal ini disebabkan pada masyarakat, fenomena ini masih sering dipandang secara negatif yang disebabkan budaya yang ada tidak seluruhnya melihat ini sebagai suatu hal yang netral.

Di sisi lain, cara pandang budaya Jawa kuno terhadap disabilitas cukup positif. Pada budaya ini, disabilitas dikaitkan dengan kesaktian, dimana orang-orang cacat tampil sebagai pusaka, peneguh kesaktian raja karena dianggap sebagai pemberi petuah dan menjadi identitas kejawaan.

Pada kosmologi, orang Jawa menganggap bahwa eksistensi manusia berkaitan dengan struktur, hubungan ruang dan waktu dalam alam semesta (Nur Amalia, 2020).

Orang Jawa memahami bahwa segalanya memiliki pasangan antara atas dan bawah. Maka ini yang menjadi suatu pemahaman umum masyarakat Jawa bahwa nasib manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Melalui pemahaman ini, cenderung tidak membeda-bedakan antar sesama manusia.

Menurut Herman dalam (Yuhda, 2018) terdapat pesan dalam budaya Jawa bahwa harus menerapkan manjing ajur ajer. Kalimat ini memiliki arti bahwa tidak ada perbedaan antara manusia satu dengan manusia lain.

Maka dalam budaya Jawa memandang antara disabilitas dan non disabilitas tidak memiliki perbedaan, karena setiap orang memiliki fungsinya masing-masing dalam kehidupan.

Dalam pewayangan salah satu tokoh terkenalnya yaitu Punakawan digambarkan sebagai rakyat kecil, gambaran ini berupa mereka memiliki bentuk tubuh yang aneh tapi juga sakti mandraguna.

Punakawan sendiri merupakan titisan para dewa yang menjelma menjadi penyelamat dan penyeimbang dunia yang hadir dengan segala sikap bijaknya (Ekowarni et al., 2015).

Pada cerita wayang, punakawan memiliki peran sebagai penasehat bagi para Pandawa. Selain itu mereka juga menjadi simbol-simbol dalam pemerintahan Jawa dahulu.

Selain punakawan, nenek moyang dari pewayangan yaitu Durgandini atau Dewi Lara Amis putri Wirata juga digambarkan memiliki keanehan pada tubuhnya, yaitu berupa kulit mengelupas dan berbau anyir.

Keanehan ini kemudian diwariskan kepada anaknya yakni Abiasa. Cara masyarakat Jawa melihat mereka tidak didasarkan fisiknya yang berbeda, tetapi dilihat dari kesaktian mereka.

Pada kerajaan Jawa memiliki koleksi orang-orang aneh, berupa kerdil, cacat, dan difabel yang lain, yang diperuntukkan untuk memperteguh kesaktian yang diampu oleh sang raja (Ekowarni et al., 2015).

Cerita tentang disabilitas pada Keraton Jawa yang dikenal dengan palawija-cebolan. Akibat dari Sultan Trenggono yang melanggar aturan yang berkaitan dengan palawija, dia mati terbunuh di tangan palawija-cebolan.

Hal ini menyebabkan palawija di muliakan oleh Raja-Raja Jawa dengan cara memelihara dan merawat mereka di istana (Nur Amalia, 2020).

Mereka memiliki posisi yang cukup penting dalam Keraton dan memiliki tempat duduk di dekat Raja saat upacara. Hal ini dilakukan karena kesaktian para palawija ini juga memberikan manfaat bagi Keraton. Disabilitas di era lampau tidak termarginalkan seperti saat ini.

Saat ini mereka dipandang secara fisik, sehingga dengan fisik yang “tidak sempurna” disabilitas dipandang melalui stigma negatif.

Hal ini disebabkan masuknya cara pandang barat ketika masa kolonialisme di Indonesia. Cara pandang ini menganggap difabel tidak berdaya dan eksklusif, dimana mereka terpisah dengan non difabel.

Penulis: Almira Raihana Apsarini
Mahasiswi Sosiologi, Universitas Brawijaya

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ekowarni, P. D. E., Irwanto, P., Dr. G. Sri Nur Hartanto, S.H., L. M., & Aziz, K. . M. I. (2015). Volume 2 | no.2 | 2015. Jurnal Difabel, 2(2), 1–390.

Yuhda. (2018, September 3). Citra Difabel dalam Sejarah Budaya Jawa | Solider News. SOLIDER. https://www.solider.id/baca/4798-citra-difabel-dalam-sejarah-budaya-jawa.

Nur Amalia, A. (2020). Proses Othering pada Penyandang Disabilitas di Keraton Yogyakarta. The Indonesian Conference on Disability Studies and Inclusive Education, 267–282.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI