Era Baru Dunia Arsitek: Mengintip Nasib Lulusan Arsitektur di Masa Depan

Dunia Profesi Arsitek
Ilustrasi Profesi Arsitek (Sumber: Media Sosial dari AI freepik.com)

Dunia profesi arsitek di Indonesia saat ini telah memasuki era baru yang penuh dengan berbagai  tantangan dan harapan. Di era baru saat ini lulusan program pendidikan tinggi arsitektur tidak hanya dituntut untuk mampu menciptakan desain bangunan yang kreatif dan inovatif, akan tetapi juga dituntut untuk dapat peka terhadap segala bentuk perubahan aturan, etika profesi, serta tantangan global yang ada.

Lantas dari hal tersebut memunculkan pertanyaan bagaimana nasib lulusan program pendidikan tinggi arsitektur Indonesia di masa depan? Apakah lulusan program pendidikan tinggi arsitektur Indonesia di masa depan siap dalam menghadapi tantangan serta dinamika dunia kerja yang semakin kompleks mulai dari standar kompetensi yang semakin tinggi, legalitas yang ketat, serta perubahan sosial dan digitalisasi yang terjadi begitu cepat?

Mengutip dari dokumen yang ditulis oleh Ar. Georgius Budi Yulianto selaku ketua umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dengan judul “Quo Vadis Praktik Profesi Arsitek Indonesia?”

di mana ia menuliskan “Maybe we are not on the same boat, but we are in the same storm.” Dari kalimat tersebut sebenarnya sudah cukup untuk menggambarkan bahwa tantangan di era baru dunia arsitek saat ini sudah cukup nyata dan mendesak.

Saat ini lulusan program pendidikan tinggi arsitektur di Indonesia sedang dihadapkan oleh kenyataan bahwa gelar sarjana (S1) saja belum cukup untuk dapat menghadapi tantangan di era baru dunia arsitek saat ini.

Jika mengutip kembali dari dokumen karya ketua umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Ar. Georgius Budi Yulianto dengan judul “Quo Vadis Praktik Profesi Arsitek Indonesia?” diketahui bahwa saat ini untuk bisa dikatakan sebagai seorang arsitek dan bekerja sebagai seorang arsitek profesional maka seseorang harus memiliki STRA (Sertifikat Tanda Registrasi Arsitek).

Di mana hal ini juga sudah di atur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2017 Tentang Arsitek. Namun hingga hari ini dari total 28.000 anggota aktif Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) baru hanya ada sekitar 6.200 orang yang memiliki STRA.

Di era baru saat ini STRA (Surat Tanda Registrasi Arsitek) tidak hanya digunakan sebagai bukti seseorang dapat disebut sebagai arsitek, tetapi juga sebagai bukti kompetensi dan syarat legalitas bagi arsitek untuk dapat berpraktik secara legal dan sah di mata hukum.

Hal ini tentunya menjadi tantangan berat yang harus dihadapi terutama bagi lulusan baru arsitektur Indonesia di era baru ini. Saat ini masih banyak lulusan baru arsitektur dan juga mahasiswa arsitektur tingkat akhir yang belum mengetahui tentang bagaimana cara untuk dapat memperoleh STRA atau bahkan hanya sekedar mengetahui apa itu STRA.

Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) bersama Dewan Arsitek Indonesia (DAI) dan juga Asosiasi Perguruan Tinggi Arsitektur Indonesia (APTARI) menyiapkan dua skema atau jalur bagi lulusan arsitektur di Indonesia agar dapat memiliki STRA sebagai bukti kompetensi serta legalitas dalam berpraktik arsitek di era baru saat ini. Dua skema tersebut yaitu:

  1. Pendidikan S1 Arsitektur (4 tahun) + PPAr (Pendidikan Profesi Arsitek) selama 1 tahun, dan dua tahun pertama setelah lulus bekerja yang dicatatkan sebagai magang profesi; atau
  2. Pendidikan S1 Arsitektur (4 tahun) + S2 Arsitektur (alur desain) selama 2 tahun, dan dua tahun pertama setelah lulus bekerja yang dicatatkan sebagai magang profesi.

Skema dalam memperoleh STRA ini diharapkan mampu dalam menciptakan arsitek yang berkompeten dalam menjawab tantangan global di era baru dunia arsitek saat ini. Di mana Ar. Georgius Budi Yulianto dalam karyanya “Quo Vadis Praktik Profesi Arsitek Indonesia?” juga menuliskan bahwa “Kita harus memastikan bahwa setiap lulusan arsitektur yang ingin masuk ke dunia profesional memiliki pemahaman yang utuh soal desain, soal tanggung jawab, dan soal masa depan lingkungan binaan kita”.

Di era baru saat ini, di tengah tantangan serta dinamika dunia kerja yang semakin kompleks mulai dari standar kompetensi yang semakin tinggi, legalitas yang ketat, serta perubahan sosial dan digitalisasi yang terjadi begitu cepat.

Memunculkan beberapa pertanyaan dari banyak mahasiswa arsitektur terutama mahasiswa arsitektur tingkat akhir. “Apakah kami cukup siap?”, “Apakah sistem pendidikan tinggi arsitektur di Indonesia saat ini sudah benar-benar menyiapkan kami pada kenyataan dunia kerja dan standar profesi yang semakin kompleks?”.

Meskipun banyak mahasiswa arsitektur yang bertanya – tanya dan merasa khawatir akan nasib mereka di masa depan pada era baru saat ini, akan tetapi tidak sedikit juga yang beranggapan bahwa era baru saat ini merupakan salah satu langkah dalam meningkatkan kualitas profesi arsitek di Indonesia.

Dengan adanya sistem dan aturan yang ketat maka profesi arsitek di Indonesia akan mampu untuk menjadi profesi yang lebih dihormati dan dihargai, selain itu dengan adanya era baru ini maka profesi arsitek juga dapat menjadi profesi yang memiliki profesionalitas serta tanggung jawab yang tinggi.

Saat ini, di era baru ini untuk dapat menjadi seorang arsitek tidak semudah membalikkan telapak tangan karena saat ini lulusan program pendidikan tinggi arsitektur di Indonesia tidak hanya dituntut untuk sekedar bisa “menggambar” akan tetapi juga dituntut untuk bisa ikut serta masuk ke dalam sistem siklus jasa konstruksi yang mengharuskan arsitek memiliki standar kompetensi yang tinggi, rasa tanggung jawab, serta kemampuan untuk dapat berkolaborasi dengan berbagai lintas sektor.

Baca juga: Ketika Kecerdasan Buatan Mengancam Profesi Ilustrator Indonesia: Seruan #TolakGambarAI

Adanya era baru ini yang ditandai dengan munculnya Undang-Undang serta regulasi baru terkait profesi arsitek seharusnya tidak dianggap sebagai beban yang menyulitkan, tetapi justru harus dianggap sebagai langkah awal untuk dapat menjadikan profesi arsitek ini sebagai salah satu profesi yang memiliki kekuatan hukum serta di hormati dan lebih dihargai.

Hal ini juga tentunya sudah ditegaskan oleh ketua umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Ar. Georgius Budi Yulianto dalam tulisannya “Quo Vadis Praktik Profesi Arsitek Indonesia?” di mana ia menuliskan bahwa “Ini bukan garis akhir, melainkan titik start baru yang menuntut kerja kolektif dari semua pihak: kampus, asosiasi, praktisi, pemerintah, dan masyarakat pengguna jasa arsitek itu sendiri”.

Selain itu, ia juga menegaskan kembali bahwa “Kita harus keluar dari ego sektoral dan mulai bicara dalam bahasa yang sama: bahasa kolaborasi dan kualitas“. Dari beberapa pernyataan ketua umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) tersebut kita dapat memahami bahwa era baru ini sebagai suatu langkah awal dan semangat kolaborasi agar dapat menciptakan masa depan yang cerah bagi lulusan arsitektur di Indonesia.

 

Penulis: Fikri Firman Hidayat
Mahasiswa S1 Arsitektur, Institut Teknologi Kalimantan 

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses