“Di dunia digital, informasi berlari lebih cepat dari pikiran. Tapi siapa yang mengendalikan arah larinya?”
Di tengah gempuran notifikasi, trending topic, dan konten viral, kita sering lupa bertanya: “Apakah ini benar?” atau bahkan “Perlukah aku tahu ini?” Kita hidup dalam ekosistem informasi yang begitu padat dan cepat, tetapi ironisnya justru kehilangan arah dalam menggunakannya.
Fenomena doom scrolling atau bisa disebut juga kebiasaan menggulirkan berita buruk tanpa henti yang dimana saat ini bukan hanya menggambarkan kegelisahan kolektif, tapi juga menunjukkan bagaimana informasi telah berubah dari alat pencerahan menjadi pemicu kebingungan.
Kini, tak semua informasi dicari karena nilai dan manfaatnya. Banyak yang diburu karena sensasi dan keterlibatan emosional semata.
Ketika perhatian menjadi mata uang, kecepatan menjadi segalanya. Namun, di balik kecepatan itu, seringkali etika dan kebenaran terabaikan.
Etika yang Terpinggirkan
Gulir, suka, bagikan. Begitu cepatnya jari kita bergerak di layar smartphone, seringkali tanpa jeda untuk berpikir: “Apa isi informasi ini? Apakah ini benar? Etiskah kalau aku membagikannya?” Media sosial menjadi ladang subur bagi arus informasi, tapi juga bagi kesalahan, misinformasi, dan kebencian yang tak jarang lolos dari perhatian kita.
Budaya berbagi secara instan menciptakan masyarakat yang lebih fokus pada viralitas daripada validitas. Konten yang menarik secara emosional mudah disebarkan, meskipun belum tentu akurat.
Etika pun terpinggirkan, bukan karena hilang, tetapi karena tak sempat berpikir panjang. Ketergesaan kita dalam memberikan informasi seringkali melupakan satu hal penting yaitu sebuah tanggung jawab.
Di Mana Peran Ilmu Perpustakaan dan Informasi?
Ilmu Perpustakaan dan Informasi bukan sekedar membahas koleksi buku atau pengarsipan data. Ilmu ini berkaitan erat dengan bagaimana manusia mencari, menilai, serta menggunakan informasi secara bijak dan etis. Di era digital yang serba cepat ini, ilmu-ilmu tersebut justru menjadi semakin relevan.
Para pustakawan dan profesional informasi memiliki kapasitas besar untuk mengambil peran edukatif di masyarakat yang seharusnya mereka berperan sebagai penapis informasi dan pendidik literasi digital.
Mereka dapat menjadi fasilitator program anti hoaks, pendamping dalam gerakan cek fakta, hingga inisiator ruang diskusi kritis di perpustakaan dan komunitas.
Perpustakaan pun kini ditantang untuk menjadi lebih dari sekedar tempat membaca tetapi perpustakaan juga harus hadir sebagai pusat pembelajaran informasi yang mengutamakan nilai dan integritas.
Baca juga: Inovasi Perpustakaan Sekolah Dasar dalam Era Digital: Membangkitkan Minat Literasi dan Pembelajaran
Bijak Bersama di Tengah Arus Informasi
Mungkin sebagian orang berasumsi bahwa platform digital atau pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam mengendalikan laju hoaks dan disinformasi.
Namun, jika kita hanya mengandalkan regulasi, kita akan selalu tertinggal dari kecepatan penyebaran informasi yang salah.
Solusi sebenarnya terletak pada kesadaran kolektif yaitu kesadaran yang harus dilakukan setiap individu pada saat bersentuhan langsung dengan informasi setiap harinya.
Setiap orang memiliki peran sebagai penentu arah informasi, mereka diharuskan memilih antara apakah ingin menjadi bagian dari penyebar kebenaran atau justru menjadi simpul dari kekeliruan yang terus berulang.
Algoritma memang menentukan apa yang kita lihat, tapi pilihan tetap di tangan kita. Apakah informasi akan diklik, dimatikan, atau dilewati.
Media sosial bukanlah musuh, dan informasi bukanlah ancaman justru keduanya ada untuk bisa menjadi kekuatan besar jika digunakan secara bertanggung jawab.
Kita hanya perlu berhenti sejenak sebelum membagikan sesuatu dengan cara berpikir, memeriksa, dan mempertimbangkan dampaknya.
Jangan biarkan informasi etika hanya menjadi jargon akademis yang tersimpan di ruang kelas. Ilmu Perpustakaan dan Informasi telah membekali kita dengan kemampuan untuk menilai, menyaring, dan memahami informasi secara kritis.
Kini, saatnya kita tidak hanya cepat dalam menggulir, tetapi juga bijak dalam berbagi. Di tengah derasnya arus timeline, mari kita jaga agar etika tidak tenggelam.
Penulis: Hanifa Rayhan NoorDini
Mahasiswa Jurusan Perpustakaan dan Sains Informasi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News