Reformasi 1998 merupakan tonggak penting dalam sejarah politik Indonesia yang menandai berakhirnya rezim Orde Baru dan lahirnya era demokrasi. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul pertanyaan besar: bagaimana generasi muda memandang reformasi yang tidak mereka alami langsung? Apakah semangat reformasi masih hidup di tengah mereka, dan peran apa yang dapat mereka ambil untuk menjaga serta melanjutkannya?
Perspektif Generasi Muda terhadap Reformasi
Generasi muda Indonesia saat ini—yang lahir setelah 1998 atau disebut generasi pasca-reformasi—tidak memiliki pengalaman langsung terhadap represivitas Orde Baru maupun euforia awal reformasi.
Oleh karena itu, perspektif mereka terhadap reformasi lebih bersifat reflektif, kritis, dan pragmatis. Mereka menilai keberhasilan reformasi tidak semata-mata dari runtuhnya kekuasaan lama, tetapi dari sejauh mana kehidupan demokratis terwujud secara nyata.
Menurut survei Lembaga Survei Indonesia (2022), sebanyak 67% responden usia 17–30 tahun menyatakan bahwa demokrasi Indonesia belum berjalan ideal. Isu seperti korupsi yang masih tinggi, rendahnya penegakan hukum, dan politik uang menjadi kekhawatiran utama. Hal ini menunjukkan bahwa generasi muda sadar bahwa reformasi belum sepenuhnya mewujudkan cita-cita awalnya.
Baca juga: Apakah Reformasi 1998 Gagal? Ini Pandangan Generasi Z
Banyak dari mereka juga mempertanyakan apakah reformasi telah menghasilkan elite politik baru yang benar-benar berpihak pada rakyat. Di satu sisi, mereka merayakan kebebasan berpendapat, namun di sisi lain, mereka khawatir terhadap polarisasi, disinformasi, dan maraknya ujaran kebencian di ruang publik digital.
“Reformasi tidak boleh berhenti pada perubahan rezim, tetapi harus terus diperjuangkan dalam bentuk perbaikan sistem dan budaya politik.” – Prof. A.E. Priyono
Peran Generasi Muda dalam Reformasi
Generasi muda memiliki potensi besar dalam melanjutkan agenda reformasi melalui berbagai saluran:
1. Partisipasi Politik:
Keterlibatan dalam pemilu, baik sebagai pemilih kritis maupun kandidat, menjadi wujud nyata kontribusi demokratis.
2. Advokasi Sosial:
Aktivisme mahasiswa dan komunitas digital menjadi ruang baru dalam menyuarakan keadilan dan transparansi.
3. Inovasi dan Teknologi:
Penggunaan teknologi untuk mengawasi jalannya pemerintahan, seperti melalui platform pelaporan korupsi atau jurnalisme warga.
Harapan dan Tantangan
Harapan terhadap generasi muda dalam menjaga semangat reformasi sangat besar. Dibutuhkan kesadaran historis agar mereka memahami bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya, melainkan hasil perjuangan.
Selain itu, pendidikan politik yang inklusif dan berbasis nilai perlu terus dikembangkan. Pemerintah dan lembaga pendidikan memegang peran kunci dalam membentuk generasi muda yang kritis dan berintegritas.
“Generasi muda adalah penjaga masa depan bangsa. Jika mereka acuh, maka reformasi akan kehilangan rohnya.” – Yenny Wahid
Reformasi bukanlah titik akhir, melainkan proses panjang yang memerlukan keterlibatan lintas generasi. Generasi muda, dengan segala keunikan dan sumber dayanya, berada dalam posisi strategis untuk menjadi motor perubahan lanjutan. Perspektif kritis, partisipasi aktif, dan harapan besar terhadap masa depan menjadi kunci agar reformasi tetap relevan dan hidup dalam praktik kehidupan berbangsa.
Penulis: Saidatun Rohmah
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Pamulang
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News