Hak Milik yang Terinjak: Kritik atas Eksekusi Lahan oleh PN Cikarang

Hak Milik Lahan oleh PN Cikarang
Ilustrasi Lahan (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Ketika rumah yang berdiri di atas tanah bersertifikat resmi tergusur oleh putusan pengadilan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya keadilan sosial, tetapi juga fondasi hukum pertanahan itu sendiri.

Keberadaan Sertifikat Hak Milik (SHM) seharusnya menjadi jaminan tertinggi atas kepemilikan tanah di Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam sistem pendaftaran tanah nasional. Namun, ketika kekuatan bukti administrasi tersebut tidak dihormati dalam praktik peradilan, terutama dalam pelaksanaan eksekusi, hal ini tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga merusak rasa keadilan masyarakat.

Rumah sebagai simbol hak atas tempat tinggal menjadi tidak aman, dan warga yang patuh terhadap aturan dapat sewaktu-waktu kehilangan haknya akibat kelalaian prosedural atau lemahnya koordinasi antar lembaga.

Dalam konteks inilah penting untuk menyoroti bagaimana satu kasus eksekusi yang salah sasaran dapat mencerminkan rapuhnya sistem perlindungan hukum bagi rakyat, sekaligus memunculkan kebutuhan mendesak untuk reformasi dalam praktik penegakan hukum pertanahan.

Bacaan Lainnya

Pada 4 Juni 2024, telah terjadi penggusuran terhadap beberapa rumah di wilayah Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi. Salah satu korban, Edi, mengaku sebagai pemilik sah atas tanah yang digusur berdasarkan Sertifikat Hak Milik (SHM). Ia menilai dirinya menjadi korban salah sasaran eksekusi lahan yang dilaksanakan oleh juru sita Pengadilan Negeri (PN) Cikarang.

Edi menunjukkan bahwa tanah miliknya tidak termasuk dalam objek perkara yang sedang disengketakan. Ia menyayangkan pengadilan tetap menjalankan eksekusi tanpa verifikasi menyeluruh terhadap kepemilikan tanah yang terdampak.

 

Aspek Hukum yang Relevan

1. Kekuatan Hukum Sertifikat Hak Milik (SHM)

Menurut Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, SHM yang telah diterbitkan oleh BPN mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti yang kuat atas kepemilikan tanah, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya.

Implikasi: Jika Edi memang memegang SHM yang sah dan tidak sedang dalam sengketa, maka seharusnya tanahnya tidak dapat dieksekusi begitu saja. Tanpa pembatalan SHM oleh pengadilan, tindakan penggusuran tersebut dapat dianggap melanggar hukum.

2. Pelaksanaan Eksekusi oleh Pengadilan

Pelaksanaan eksekusi merupakan tindakan hukum yang harus dilakukan secara hati-hati dan presisi, sebagaimana ditegaskan dalam HIR/RBg (Herzien Indonesisch Reglement dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten).

Constatering adalah proses pencocokan faktual antara objek sengketa yang ada di lapangan dengan objek yang disebutkan secara eksplisit dalam amar putusan pengadilan. Proses ini merupakan tahap krusial dalam pelaksanaan eksekusi karena berfungsi untuk memastikan bahwa tindakan eksekusi benar-benar ditujukan terhadap objek yang tepat.

Dalam konteks perkara perdata, khususnya yang menyangkut sengketa pertanahan atau bangunan, constatering dilakukan oleh juru sita pengadilan dan dapat melibatkan pihak-pihak terkait, seperti penggugat, tergugat, pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan saksi ahli jika diperlukan.

Jika ternyata objek eksekusi tidak sesuai dengan amar putusan, maka pelaksanaan tersebut bisa batal demi hukum atau setidaknya dapat dimohonkan perlindungan hukum melalui perlawanan pihak ketiga (derden verzet).

3. Prinsip Kehati-hatian dan Verifikasi Data

PN Cikarang menyatakan telah menyurati BPN sebanyak dua kali terkait verifikasi bidang tanah, namun tidak mendapatkan tanggapan. Meskipun begitu, eksekusi tetap dilaksanakan.

Analisis: Tidak adanya respon dari BPN seharusnya bukan menjadi justifikasi untuk tetap melaksanakan eksekusi, apalagi jika terdapat indikasi bahwa tanah yang akan dieksekusi mungkin tidak relevan dengan objek sengketa. Prinsip due diligence atau kehati-hatian wajib dilakukan dalam proses eksekusi untuk mencegah pelanggaran hak pihak ketiga.

 

Analisa Sosial dan Kelembagaan

1. Kinerja Lembaga Pengadilan

Pelaksanaan eksekusi yang tidak melalui verifikasi menyeluruh mencoreng kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. PN Cikarang sebagai lembaga yudikatif memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa semua proses telah memenuhi prinsip keadilan, bukan hanya formalitas prosedur.

2. Koordinasi dengan BPN

Minimnya koordinasi antara PN Cikarang dan BPN adalah cerminan lemahnya sinergi antar lembaga negara. Mengingat pentingnya data pertanahan untuk memastikan kebenaran objek eksekusi, tidak responsifnya BPN patut dievaluasi dan menjadi perhatian Ombudsman serta Kementerian ATR/BPN.

3. Hak Atas Tempat Tinggal

Menurut Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, setiap orang berhak untuk bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tindakan penggusuran yang diduga salah sasaran dapat melanggar hak konstitusional warga negara.

Baca juga: Mahasiswa Untag Sosialisasi Prosedur Balik Nama Sertifikat dalam Jual Beli Tanah di Kantor Notaris Muhammad, S.H., M.Kn. Sidoarjo

4. Peran PPAT dalam Verifikasi Kepemilikan Tanah

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memiliki peran penting dalam memastikan keabsahan peralihan hak atas tanah. Dalam kasus ini, keberadaan akta-akta otentik yang dibuat oleh notaris/PPAT, seperti akta jual beli atau hibah, seharusnya menjadi dasar verifikasi awal atas status kepemilikan tanah sebelum pelaksanaan eksekusi.

Ketidakterlibatan atau diabaikannya dokumen yang dibuat oleh PPAT dapat menyebabkan kesalahan fatal dalam identifikasi objek sengketa. Oleh karena itu, sinergi antara pengadilan, BPN, dan PPAT harus diperkuat untuk memastikan bahwa proses eksekusi telah mempertimbangkan bukti kepemilikan yang sah secara administratif dan hukum

 

Rekomendasi Tindakan Hukum dan Kebijakan

1. Pengajuan Derden Verzet (Perlawanan Pihak Ketiga)

Edi dan warga lain yang merasa dirugikan dapat mengajukan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) ke pengadilan untuk membatalkan atau menghentikan pelaksanaan eksekusi atas tanah mereka.

2. Laporan ke komnas HAM dan Ombudsman

Mengingat adanya potensi pelanggaran hak asasi dan maladministrasi, korban dapat mengajukan pengaduan ke Komnas HAM dan Ombudsman RI untuk meminta investigasi independen.

3. Audit Prosedur Eksekusi oleh Mahkamah Agung

MA perlu mengevaluasi kembali SOP pelaksanaan eksekusi oleh pengadilan negeri, khususnya dalam kasus pertanahan, untuk menjamin bahwa seluruh proses telah sesuai prinsip kehati-hatian.

 

Simpulan

Kasus penggusuran di Tambun adalah cerminan nyata dari kompleksitas konflik agraria di Indonesia yang melibatkan lemahnya koordinasi antar lembaga, pelanggaran hak atas tanah, dan kelalaian dalam prosedur hukum. Sertifikat Hak Milik sebagai instrumen kepemilikan tidak boleh diabaikan dalam pelaksanaan eksekusi, dan pihak pengadilan wajib menjalankan prinsip kehati-hatian maksimal.

Tanpa pembenahan sistemik dalam pelaksanaan eksekusi, potensi salah sasaran seperti yang dialami warga Tambun akan terus berulang dan menambah daftar panjang pelanggaran hak atas tanah di Indonesia.

 

Penulis:

  1. Dustin Altoffiestin
  2. Muhammad Furqoni Ramadhan

Mahasiswa S2 Magister Kenotariatan, Universitas Pancasila

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses