Hukum Bukan Opsi, Demokrasi Bukan Tafsir Bebas

Hukum Bukan Opsi, Demokrasi Bukan Tafsir Bebas
Penulis: Arzad (Sekretaris Jenderal Gerakan Anak Muda Palopo)

Demokrasi adalah sistem yang luhur, tapi ia tidak hidup dari jargon atau seremoni lima tahunan. Demokrasi hanya bisa tumbuh bila berpijak pada hukum yang dipatuhi dan akal sehat yang dijaga.

Sayangnya, di tengah hiruk-pikuk Pilkada, kita sering menyaksikan hukum dijadikan alat pembenaran, bukan penuntun; dan akal sehat dikaburkan oleh loyalitas politik yang membabi buta.

Dalam konteks pemilihan kepala daerah, hukum bukan sekadar teks regulasi, melainkan fondasi moral dan teknis yang menjamin keadilan bagi semua kontestan dan pemilih.

Ketika satu aturan dilanggar atas nama “niat baik”, maka yang rusak bukan hanya prosedur, tetapi kepercayaan publik terhadap seluruh proses demokrasi.

Bacaan Lainnya

Baca juga: Menjaga Kenetralan Mahkamah Konstitusi: Pilar Terakhir Penjaga Demokrasi

1. Hukum Tak Bisa Dipilih Sesuai Kepentingan

Salah satu penyakit lama dalam demokrasi kita adalah kecenderungan memperlakukan hukum seperti prasmanan “dipilih yang cocok, diabaikan yang mengganggu”. Padahal dalam sistem demokrasi yang sehat, hukum itu mengikat, bukan opsional. Tidak ada niat baik yang bisa membenarkan pelanggaran aturan. Tidak ada kemenangan yang sah jika dibangun di atas tahapan yang cacat.

Kita tidak bisa mengatakan “yang penting substansi” lalu mengabaikan prosedur. Justru prosedur adalah jalan satu-satunya menuju substansi yang sah. Jika dokumen diajukan terlambat, jika mekanisme verifikasi dilanggar, atau jika keputusan lembaga yudikatif diabaikan, maka demokrasi berubah menjadi akrobat kekuasaan belaka.

Baca juga: Ketika Wawasan Kebangsaan Dilupakan, Demokrasi Jadi Medan Perang Identitas?

2. Akal Sehat Adalah Pilar Demokrasi

Di era digital yang serba cepat dan penuh informasi palsu, menjaga akal sehat adalah kerja utama warga negara. Kita perlu keberanian untuk membedakan mana opini dan mana fakta, mana tafsir bebas dan mana ketentuan hukum. Jangan sampai emosi atau kedekatan politik membutakan kita terhadap pelanggaran nyata yang terjadi di depan mata.

Membumikan hukum berarti tidak memperlakukan aturan sebagai hiasan. Ia harus hadir dalam pikiran, sikap, dan keputusan baik oleh penyelenggara pemilu, peserta, maupun pemilih. Sementara menjaga akal sehat demokrasi berarti berani berkata benar, bahkan jika itu tidak menguntungkan pihak yang kita dukung.

3. Demokrasi Butuh Kepastian, Bukan Tafsir Bebas

Pemilihan umum dan pilkada bukan hanya soal menang dan kalah. Ia adalah proses legitimasi publik yang harus transparan, terukur, dan dapat diuji secara hukum. Ketika tahapan dilanggar, ketika sistem digital seperti SILON diabaikan atau dimanipulasi, ketika putusan Mahkamah Konstitusi tidak ditaati, maka kerusakan yang terjadi bukan hanya administratif, tapi sistemik.

Hukum pemilu, seperti PKPU, bukan dokumen yang bisa diganti-ganti sesuka waktu. Untuk Pilkada 2024, misalnya, regulasi pencalonan diatur dalam PKPU Nomor 8 Tahun 2024, bukan aturan lama seperti PKPU 9 Tahun 2020. Ketepatan dalam menggunakan dasar hukum adalah bagian dari integritas demokrasi. Keliru menyitir aturan bukan kesalahan sepele itu bisa berujung pada cacat legitimasi.

Baca juga: Peraturan Hukum sebagai Pengaman Demokrasi

4. Penutup, “Demokrasi Dimulai dari Disiplin Hukum”

Generasi muda Indonesia pada umumnya, harus berani bersuara bukan hanya soal gagasan perubahan, tapi juga soal ketaatan terhadap hukum. Demokrasi bukan hanya ruang ekspresi, tetapi juga ruang disiplin kolektif. Kita harus menghentikan kebiasaan membela pelanggaran hanya karena dilakukan oleh orang yang kita sukai.

Jika kita sungguh mencintai kampung halaman, maka kita harus berani menegakkan keadilan, meski itu menyakitkan. Membumikan hukum bukan soal menghafal pasal, tapi menjadikannya bagian dari kesadaran kolektif. Dan menjaga akal sehat demokrasi adalah menolak tunduk pada fanatisme yang membutakan.

Karena yang kita pertaruhkan bukan hanya hasil pilkada, tapi masa depan kepercayaan rakyat pada demokrasi itu sendiri.

Penulis: Arzad
Sekretaris Jenderal Gerakan Anak Muda Palopo

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses