Di antara hal-hal yang perlu diperhatikan bahwa sebagian ulama ushul menjadikan sebab dan illat itu sebagai sesuatu yang sama dan bermakna sama. Tetapi sebagian besar dari mereka tidak sependapat. Mereka berpendapat bahwa masing-masing dari illat dan sebab itu memiliki tanda atas suatu hukum, masing-masing menjadi dasar hukum dan mengikat hukum berdasarkan ada dan tidak ada.
Bagi pembuat hukum, masing-masing memiliki hikmah dalam mengikat suatu hukum dan menjadikannya sebagai dasar hukum. Akan tetapi jika hubungan dalam ikatan hukum itu mampu ditangkap oleh akal kita maka disebut illat dan sebab. Dan jika tidak mampu ditangkap oleh akal kita maka disebut sebab saja, tidak disebut illat. Semua illat adalah sebab dan tidak semua sebab adalah illat.
Menurut Al Ghazali, ‘illat adalah washf yang berpengaruh terhadap adanya hukum dengan sebab ditetapkan Allah. Menurut abu husain al bishriy al mu’taziliy, ‘illat adalah washf yang dengan sendirinya berpengaruh kepada adanya hukum.
Menurut kalangan syafiiyyah,seperti faruddin al raziy dan baidhawiy. Dari kalangan hanafiyyah, al shairaf dan abu zaid al dabbasi, ‘illat adalah washf yang memberitahukan adanya hukum.
Syarat-syarat Illat:
- Illat harus berupa sifat yang jelas, dalam arti sifatnya bisa ditemukan dengan mudah melalui panca indra, tanpa tergantung kepada bahasa, melalui penilaian umum , dan syara’. Seperti illat memabukkan, yang sidatnya dapat dilihat dan diketahui dalam perwujudannya pada rendaman atau perasan anggur.
- Illat harus berupa sifat yang mundlabit, artinya sifat yang bisa ditangkap langsung oleh akal dan tidak mengalami perubahan seiring dengan perbedaan kondisi, situasi, serta masing masing individu. Seperti pembunuhan dengan sengaja oleh seorang ahli waris terhadap orang yang akan mewariskan.
- Illat harus bersifat munasabah. Maksudnya, keberadaan sifat tersebut bisa menunjukan ketetapan hukum, lantaran petunjuk yang terkandung dibalik ketetapan hukum tersebut.
- Illat harus berupa sifat yang hanya yangn terdapat pada asal dan tidak bertentangan dengannya. Seperti hadits,”emas dibeli dengan emas, perak dibeli dengan perak, dengan jumlah yang sama dan saling berserah terima. Jika berbeda barangnya, maka bertransaksilah sesukamu selama masih saling serah terima.
Jenis-jenis Illat:
- Al munasibul mu’sir, ialah yang ditunjuk syara’ bahwa illat itulah yang menjadi illat hukum yang ditetapkan. Umpamanya dalam ayat: “hai orang orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat allah dan tinggalkanlah jual beli….” (Q.S al jumuah ayat 9).
- Al munasibul mulaim, ialah illat yang tidak dijelaskan dalam nash sebagai illat hukumnya namun dalam nash lain disebutkan sebagai illat bagi hukum serupa. Contohnya seperti yang diterapkan dalam hadits yang memperbolehkan menjama’ sholat ketika hari hujan dan didalam hadits tidak dijelaskan illatnya hari hujan. Namun dalam hadits lain dijelaskan illat kebolehan menjama’ karena berpergian, sedangkan hari hujan dan berpergian keduanya menimbulkan kesukaran karena tidak dapat dikatakan illat kebolehan menjama’ adalah menghilangkan kesukaran.
- Al munasibul mulga, ialah illat yang diperkirakan itu yang akan membawa kepada kebaikan sedang ditemui dalil syara’ yang lain yang memberikan petunjuk bahwa illat itu dihapuskan. Umpamanya hukum bagi orang yang bersenggama pada siang hari pada bulan ramadhan sedang ia berpuasa maka hukumnya yang pantas ialah berpuasa 2 bulan berturut-turut. Namun, syara’ mewajibkan secara berurutan melaksanakan hukuman: 1)memerdekakan budak, 2)berpuasa dua bulan berturut turut, 3)memberi makan 60 orang miskin.
- Al munasibul mursal, ialah sifat menurut mujahid sebagai illat hukum, sedang syara’ tidak menetapkan sebagai illat dan tidak juga menolaknya.
Tim Penulis:
1. Riqza Nur Aini
Mahasiswa Ahwal Al-Syakhshiyah, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia
2. Nur Zaytun Hasanah
Alumni Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia
Referensi:
Drs. H. M. Asywade Syukur, Lc., Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih
Drs.KH.M.Ma’sum Zain, M.A, menguasai ilmu ushul fiqh