Dunia menjadi lebih gelisah lagi. Keadaan perang antara Israel dan Iran semakin meningkat.
Serangan udara, ancaman nuklir, dan konflik diplomatik memicu konflik baru di Timur Tengah.
Bagaimana Indonesia bersikap secara konstitusional sebagai negara non-blok yang menjunjung tinggi politik luar negeri bebas di tengah kekacauan global saat ini?
Dilema Non-Blok di Era Geopolitik Baru
Indonesia adalah negara pendiri Gerakan Non-Blok (GNB) dan memiliki identitas politik yang jelas: tidak berpihak, tetapi aktif mendukung perdamaian.
Namun, konflik Israel-Iran menimbulkan banyak masalah baru. Posisi netral Indonesia diuji oleh tekanan dari berbagai poros kekuatan dunia (Barat dan Timur), serta sentimen nasional yang kuat terhadap masalah Palestina dan Timur Tengah.
Dalam situasi seperti ini, tidak cukup hanya mengeluarkan pernyataan normatif; prinsip-prinsip konstitusi negara membutuhkan kejelasan posisi.
Baca Juga: Menjaga Kedaulatan dengan Prinsip Bebas Aktif: Jalan Indonesia di Panggung Dunia
Politik Luar Negeri dalam Bingkai Hukum Tata Negara
Dengan persetujuan DPR, Presiden dapat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan membuat perjanjian dengan negara lain, menurut Pasal 11 ayat (1) UUD 1945.
Ini menunjukkan bahwa sikap Indonesia terhadap konflik internasional harus melalui proses konstitusional yang melibatkan lembaga legislatif, bukan hanya wewenang presiden.
Mungkinkah Indonesia mengutuk salah satu pihak? Menawarkan perantara? atau menolak untuk berbicara di forum internasional?
Prinsip “bebas aktif” yang tercantum dalam penjelasan UUD 1945 harus menjadi dasar dari semua keputusan itu.
Selain itu, dalam kenyataannya, keputusan tersebut harus menghormati kedaulatan negara lain, menghindari intervensi, dan memastikan stabilitas nasional dan regional.
Respons yang Konstitusional, Bukan Emosional
Secara moral dan emosional, orang dapat mendukung Palestina, menentang agresi Israel, atau simpati dengan warga sipil Iran.
Tetapi Indonesia, sebagai negara hukum, tidak boleh bertindak hanya berdasarkan perasaan. Setiap kebijakan luar negeri harus dievaluasi dari perspektif strategis dan konstitusional.
Baca Juga: Sejauh mana Relevansi Politik Bebas Aktif Indonesia saat ini?
Pernyataan yang dibuat oleh Presiden atau Menteri Luar Negeri dalam situasi ini memiliki konsekuensi hukum dan politik selain bersifat simbolik.
Untuk memastikan bahwa kebijakan luar negeri strategis tidak menyimpang dari konstitusi negara, DPR harus memiliki sistem pengawasan.
Perang Israel-Iran mungkin tidak terjadi di sana. Namun, konsekuensi yang ditimbulkannya dalam bidang diplomasi, ekonomi, dan politik sangat dekat.
Sebagai negara non-blok, Indonesia harus bersikap netral dan konstitusional. bukan hanya untuk kepentingan internasional, tetapi juga untuk menjaga martabat hukum tata negara.
Penulis: Bahrul Ulum
Mahasiswa Prodi Hukum Tata Negara, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Daftar Pustaka
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Konstitusi Press, 2006.
Hikmahanto Juwana. Politik Luar Negeri Indonesia dan Tantangan Global, UI Press, 2021.
Departemen Luar Negeri RI. Doktrin Politik Bebas Aktif Indonesia, 2020.
Risalah DPR RI tentang Kebijakan Luar Negeri, Komisi I, 2023.
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News