Agresi Israel Berdampak Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Palestina

Konflik Kemanusiaan
Ilustrasi: istockphoto

Konflik antara Israel dan Palestina bermula dari sejarah yang kompleks dan sarat dengan dinamika politik, agama, dan budaya. Konflik ini merupakan konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade dan sampai saat ini tak kunjung menemui titik terang.

Lebih dari 100 tahun yang lalu, pada tanggal 2 November 1917 dari surat yang dituliskan Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour kepada Baron Lionel Walter Rothschild, seorang komunis Yahudi Inggris. Dalam surat tersebut, Balfour menyatakan dukungan Inggris terhadap tanah air Yahudi di Palestina.

Eropa menjanjikan bahwa gerakan Zionis akan membentuk sebuah negara di wilayah yang 90% penduduknya adalah Palestina. Mandat tersebut dideklarasikan sejak tahun 1923 dan bertahan hingga tahun 1948.

Bacaan Lainnya
DONASI

Namun, pada tahun 1947 pemerintahan Inggris menarik mandat Palestina dan menyatakan bahwa pemerintahan Inggris tidak dapat mencapai solusi yang diterima baik oleh Arab maupun Yahudi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui rencana pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara, yaitu wilayah yang diperuntukkan untuk Yahudi Israel dan Arab Palestina dengan Yerussalem sebagai wilayah internasional.

Pembagian ini meliputi 54% wilayah Palestina kepada bangsa Yahudi, 45% kepada bangsa Arab, dan 1% Al-Quds yang dijadikan wilayah internasional. Pada 14 Mei 1948, Israel memproklamasikan kemerdakaannya. Hal ini diikuti oleh serangkaian perang Arab-Israel yang menyebabkan perubahan batas wilayah.

Sejak awal berdirinya negara Israel telah banyak pihak yang menentang tentang batas-batas wilayah Israel terutama negara-negara Arab dan para pengungsi Palestina. Kebijakan tersebut menimbulkan perlawanan dari warga Palestina yang telah menempati wilayah tersebut sejak lama.

Mereka khawatir tentang perubahan demografi negara dan penyitaan tanah oleh Inggris untuk diserahkan kepada Yahudi. Sikap keserakahan Israel yang ingin menguasai seluruh wilayah Palestina berubah menjadi kerusuhan yang memicu terjadinya perang dalam skala yang lebih luas.

Termasuk Perang Enam Hari pada tahun 1967 yang menyaksikan Israel menguasai Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerussalem Timur.

Status Tepi Barat dan Jalur Gaza menjadi sorotan utama, dengan Israel membangun pemukiman di Tepi Barat yang dianggap ilegal oleh sebagian besar komunitas internasional. Konflik antara Israel dan Palestina ini menjadi konflik internasional yang paling lama dan bukan sebuah konflik dua sisi yang sederhana.

Israel memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya. Genjatan senjata yang terjadi sampai saat ini, telah menelan banyak korban. Bahkan yang terbaru, Israel mulai melakukan serangan-serangan darat untuk melumpuhkan serangan balik yang telah dilakukan oleh Hamas.

Dengan demikian, tidak bisa dibayangkan akan berapa banyak korban jiwa yang berguguran jika konflik ini belum dapat terselesaikan secara keseluruhan.

Sementara itu, masyarakat Palestina juga dihadapkan pada tantangan ekonomi dan sosial yang signifikan. Aspek agama juga memperumit penyelesaian konflik tersebut, terutama terkait dengan situs-situs suci di Yerusalem, seperti Masjid Al-Aqsa dan Tembok Ratapan yang dianggap suci oleh agama Islam dan Yahudi.

Agresi militer Israel ke Jalur Gaza ini telah menyita perhatian masyarakat dunia. Padahal hukum internasional melarang penggunaan kekerasan oleh negara-negara untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia.

Upaya-upaya perdamaian telah dilakukan, termasuk Perjanjian Oslo pada tahun 1990-an, tetapi kendati demikian, ketegangan dan kekerasan terus berlanjut. Konflik Israel-Palestina tetap menjadi salah satu isu paling sulit dan rumit dalam diplomasi global.

Berbagai aksi solidaritas dari berbagai negara Pro Palestina telah dilakukan mulai dari kecaman, kutukan, pemboikotan terhadap produk-produk yang mendukung Israel sampai pengiriman tenaga relawan dari beberapa ormas-ormas Islam.

Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam konteks konflik Israel-Palestina telah menjadi subjek perdebatan dan keprihatinan internasional. Berbagai aksi kebrutalan Israel yang diluncurkan kepada Palestina di wilayah kependudukan, terutama di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Beberapa aksi-aksi pelanggarana HAM meliputi:

1. Pemukiman Israel

Pembangunan dan perluasan pemukiman Israel di Tepi Barat dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional, termasuk Konvensi Jenewa. Pemukiman-pemukiman ini dianggap sebagai bentuk aneksasi ilegal atas tanah yang seharusnya menjadi bagian dari masa depan negara Palestina.

2. Pembatasan Gerakan Penduduk

Blokade dan Checkpoint di Tepi Barat serta pembatasan pergerakan di Gaza telah menciptakan tantangan serius bagi kehidupan sehari-hari penduduk Palestina. Pembatasan ini dapat menghambat akses pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.

3. Operasi Militer

Selama konflik bersenjata, seringkali terjadi serangan militer Israel yang menyebabkan korban sipil dan merusak infrastruktur menimbulkam kerugian sipil yang signifikan. Hal ini meliputi serangan udara, pengeboman, dan operasi militer lainnya yang dapat menimbulkan risiko besar terhadap warga sipil.

4. Penahanan Massal dan Administratif

Adanya aksi penangkapan dan penahanan massal warga Palestina, termasuk anak-anak Palestina tanpa dakwaan yang jelas dan proses hukum yang adil, serta penggunaan kekerasan terhadap anak-anak. Beberapa tahanan dijatuhi hukuman administratif tanpa perlu bukti terbuka.

5. Penggusuran dan Penghancuran Rumah

Israel telah melakukan penggusuran dan penghancuran rumah-rumah di Tepi Barat dan Gaza, yang seringkali dianggap sebagai pelanggaran hak properti dan hak tinggal.

6. Kekerasan dan Diskriminasi

Adanya diskriminasi terhadap warga Arab-Israel di dalam negeri, termasuk dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial.

Organisasi hak asasi manusia seperti Amnesty International, Human Rights Watch, dan PBB telah secara berulang kali mengecam dan mendokumentasikan pelanggaran HAM dalam konteks konflik ini.

Faktanya, hingga detik ini konflik tersebut belum dapat terselesaikan secara keseluruhan karena dipengaruhi lemahnya hukum internasional dalam memberikan sanksi bagi negara yang melanggar ketentuan hukum internasional.

Seharusnya dengan menganut prinsip-prinsip internasional dapat disimpulkan bahwa Israel telah melanggar terhadap prinsip-prinsip tersebut dan dapat dikatakan sebagai kejahatan perang yang harus dijatuhi hukuman oleh dunia internasional.

Namun seperti yang sudah kita ketahui sepanjang hukum intenasional diabaikan oleh negara tersebut maka kekuatan yang mengikat dari hukum internasional menjadi lemah bahkan tidak ada sama sekali.

Penulis: Bernika Irnadia Ivada
Mahasiswa Aqidah Dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI