Kabur Aja Dulu: Solusi Bijak atau Pelarian Sementara?

Kabur Aja Dulu
Gambar dibuat dengan teknologi AI.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tak jarang dihadapkan pada berbagai persoalan, tekanan, atau situasi sulit yang menuntut keberanian serta ketegasan untuk mengatasinya. Namun, belakangan ini, ada satu frasa yang cukup sering kita dengar, baik di media sosial maupun dalam percakapan santai, yaitu “Kabur Aja Dulu”.

Secara sederhana, frasa ini mengajak seseorang untuk memilih menghindar terlebih dahulu dari situasi yang dirasa berat, entah untuk menenangkan diri atau sekadar menghindari beban sementara waktu.

Pertanyaannya, apakah konsep “Kabur Aja Dulu” ini bisa dianggap sebagai langkah bijak, atau justru hanya sebatas pelarian yang berpotensi memperumit keadaan di masa depan? Mari kita coba telaah dari berbagai sudut pandang.

Secara harfiah, “Kabur Aja Dulu” berarti memilih untuk meninggalkan masalah, tekanan, atau situasi sulit tanpa langsung mencari jalan keluarnya. Namun, frasa ini sebenarnya tidak selalu bermakna negatif.

Bacaan Lainnya

Dalam beberapa kondisi, kabur bisa dimaknai sebagai upaya untuk memberi jarak sejenak, mengambil waktu untuk menenangkan pikiran, menata kembali emosi, atau melihat permasalahan dari sudut pandang yang berbeda.

Contohnya, seseorang yang menghadapi tekanan berat di tempat kerja mungkin merasa perlu mengambil cuti, pergi berlibur, atau bahkan memutuskan untuk resign meskipun belum memiliki rencana pasti—semua demi menjaga kesehatan mentalnya.

Di sisi lain, ada juga yang memilih untuk kabur dari hubungan yang toksik, konflik dalam keluarga, atau tanggung jawab tertentu sebagai cara menghindari konflik yang berkepanjangan.

Di tengah budaya hustle, tuntutan produktivitas, dan ekspektasi sosial yang sering kali menekan, “Kabur Aja Dulu” bisa dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang terlalu menuntut. Tak semua orang memiliki kapasitas mental dan emosional yang sama.

Memaksakan diri untuk terus bertahan di situasi yang toksik, melelahkan, atau tidak sehat justru bisa menumpuk stres, meningkatkan risiko burnout, hingga berujung pada gangguan kesehatan mental seperti kecemasan atau depresi.

Dalam konteks ini, “Kabur Aja Dulu” menjadi semacam langkah preventif. Dengan memberi ruang untuk diri sendiri, seseorang punya kesempatan untuk melakukan refleksi, memulihkan tenaga, dan kembali dengan kondisi yang lebih baik.

Banyak psikolog pun menekankan pentingnya memiliki boundaries (batasan) serta keberanian untuk berkata “tidak” pada hal-hal yang tidak lagi selaras dengan kebutuhan atau kesehatan kita.

Kita bisa melihat contoh konkret dari fenomena career break atau gap year, di mana banyak orang sengaja berhenti sejenak dari rutinitas demi mengevaluasi arah hidup. Dalam hubungan interpersonal, kabur juga bisa berarti mengambil waktu sendiri untuk menenangkan diri dan menghindari pertengkaran yang tidak produktif.

Di Indonesia, konsep ini menjadi semakin menarik jika kita lihat dari sudut pandang budaya. Kita hidup dalam masyarakat yang masih sangat dipengaruhi oleh norma sosial, adat, dan ekspektasi kolektif.

Banyak orang merasa terjebak dalam berbagai “harus begini” atau “harus begitu” demi memenuhi tuntutan keluarga, komunitas, bahkan pandangan umum.

Baca Juga: Kabur atau Berjuang? Menggali Esensi Gerakan #KaburAjaDulu

Dalam konteks seperti ini, “Kabur Aja Dulu” kerap menjadi bentuk perlawanan yang diam-diam—semacam silent rebellion. Ia menjadi cara bagi seseorang untuk melawan tekanan sosial yang membebani, tanpa perlu secara frontal menentang arus.

Misalnya, anak muda yang memilih merantau jauh untuk bisa menentukan arah hidupnya sendiri, atau seseorang yang memutuskan tidak meneruskan usaha keluarga karena ingin mengejar passion pribadinya.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kabur tak melulu soal lari dari ketakutan. Kadang, ini adalah cara seseorang merebut kembali kendali atas hidupnya sendiri, terutama di tengah masyarakat yang diikat oleh struktur sosial yang kuat.

Penting untuk kita pahami bahwa kabur bukanlah sebuah akhir. Kabur bisa menjadi titik awal—awal dari proses penyembuhan, refleksi, atau bahkan menyusun ulang strategi. Namun, keputusan untuk kabur tetap harus dibarengi dengan kesadaran penuh bahwa, pada akhirnya, kita tetap perlu kembali dan berhadapan lagi dengan realitas.

Jangan sampai kabur justru berubah menjadi bentuk “numbing”, di mana kita terus-menerus menghindari rasa tidak nyaman tanpa pernah belajar mengelolanya.

Alih-alih menjadi kebiasaan lari, jadikanlah kabur sebagai jeda yang terencana, dengan tujuan yang jelas: untuk kembali dengan perspektif baru, ketahanan yang lebih kuat, dan kesiapan menghadapi hidup.

Tidak semua situasi memang layak untuk langsung dihadapi secara frontal. Ada kondisi-kondisi tertentu di mana “Kabur Aja Dulu” justru menjadi pilihan paling bijak:

  1. Kesehatan Mental Terancam: Saat sebuah situasi membuat kita merasa tertekan, cemas berlebihan, atau kehilangan kendali atas diri sendiri, memberi jarak adalah langkah yang bijaksana demi menjaga kesehatan mental.
  2. Lingkungan Toksik Tanpa Harapan Perubahan: Situasi yang jelas-jelas merugikan—baik secara fisik, mental, maupun emosional—seperti kekerasan verbal, pelecehan, atau manipulasi, seringkali membutuhkan keputusan tegas untuk segera keluar dari lingkaran tersebut.
  3. Perlu Perspektif Baru: Ketika emosi sudah terlalu memuncak hingga sulit berpikir jernih, mengambil jeda dan memberi ruang pada diri sendiri bisa membantu kita melihat persoalan dari sudut pandang yang lebih objektif.

Namun, penting diingat bahwa keputusan untuk kabur sebaiknya selalu diiringi dengan evaluasi yang jujur, bukan sekadar reaksi impulsif. Tanyakan pada diri sendiri: apakah saya kabur karena memang butuh waktu untuk pulih, atau karena ingin terus menghindari ketidaknyamanan?

Pada akhirnya, memilih untuk “kabur aja dulu” bukanlah sebuah keputusan yang salah, selama dilakukan dengan kesadaran penuh dan disertai dengan alasan yang matang. Melarikan diri sementara dari situasi yang menekan, lingkungan yang melelahkan, atau konflik yang menguras emosi bisa menjadi langkah yang sehat dan diperlukan.

Tidak ada yang keliru dengan memberi diri sendiri ruang untuk beristirahat, menenangkan pikiran, dan memulihkan tenaga. Justru, kadang-kadang kita memang butuh mengambil jeda, agar tidak hancur di tengah arus tekanan yang terus-menerus datang.

Baca Juga: Merantau untuk Merajut Asa

Namun, penting diingat, keputusan untuk kabur seharusnya tidak menjadi satu-satunya mekanisme kita dalam menghadapi masalah.

Jika terus-menerus lari tanpa pernah menengok kembali persoalan yang ada, kita bisa saja terjebak dalam pola menghindar, tanpa pernah menyelesaikan inti dari masalah itu sendiri. Kabur tanpa tujuan hanya akan membuat beban menumpuk, menunggu saat yang tepat untuk kembali menghantui.

Hidup, pada hakikatnya, selalu menghadirkan tantangan, ketidakpastian, dan kondisi yang sering kali di luar kendali kita. Ada kalanya kita merasa jenuh, letih, atau terjebak dalam situasi yang membuat kita ingin menyerah.

Di saat seperti itu, menarik diri sejenak bukanlah sebuah kelemahan. Justru, kemampuan untuk mengenali batas diri dan memberi jarak menunjukkan keberanian dalam bentuk lain—keberanian untuk menjaga diri.

Namun, jangan lupakan satu hal penting: setelah kita merasa cukup kuat, setelah luka mulai sembuh, kita tetap perlu kembali menatap realitas. Pada titik tertentu, kita harus kembali berdiri, membawa bekal ketenangan dan kebijaksanaan yang kita dapatkan selama proses jeda tersebut.

Menyelesaikan apa yang tertunda, menghadapi apa yang selama ini dihindari, dan melangkah maju dengan mentalitas yang lebih matang.

Jadi, tidak ada salahnya untuk memilih kabur sesekali. Tapi jangan lupa untuk pulang. Karena sejatinya, keberanian bukan sekadar soal terus bertahan di garis depan atau terus melawan tanpa henti. Keberanian juga berarti tahu kapan saatnya mundur sejenak demi menjaga diri, lalu kembali dengan kesiapan baru untuk menghadapi dunia.

Penulis: Arzachel Rafi Wicaksono
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta

Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses