Kalau Cinta Sudah “Direkayasa”

Cinta bukanlah hal yang tabu dalam pendengaran setiap insan di dunia. Cinta merupakan fitrah (insting) yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Ketika seseorang beranjak remaja, hormon-hormon yang berkembang seiring masa pubertas medorong dirinya untuk mendekati lawan jenisnya. Menyukai lawan jenis bukanlah suatu hal yang diharamkan, namun cara pandang para remaja terhadap cintanya pada lawan jenis perlu diarahkan, agar fitrah yang mereka rasakan tidak disalah artikan.

Dulu cerita cinta butuh perjungan yang keras, mengirim surat dan harus menunggu lama, sulit berjumpa, menahan rindu, malu-malu, dan untuk pergi berdua masih menjadi hal yang tabu. Dan cerminkan dengan cerita cinta trend masa kini, yang prakteknya serba praktis. Soal saling berkenalan, saling menyapa, dan memulai pendekatan dengan waktu yang sangat singkat, apalagi kini sudah dilengkapi dengan media sosial dengan berbagai bentuk yang sangat menarik untuk lebih mudah menggapai orang-orang dimanapun mereka berada. Chatting, video call, voice note, atau sekedar berbagi foto mesra di Instagram yang tujuannya hanya berharap agar bisa dilihat banyak orang seolah-olah dunia hanya milik berdua dan bukan lagi rahasia.

Era digital yang begitu sangat pesat perkembangannya juga dirasakan oleh masyarakat kita di tanah air, tidak hanya masyarakat perkotaan bahkan hingga ke desa-desa. Namun yang menjadi perhatian khusus yakni penggunaan digital pada anak di usia dini. Konten-konten negatif yang merusak pertumbuhan anak-anak sangat mudah untuk diakses dan menjadi tontonan sehari-hari. Ditambah lagi anak usia remaja pada masa-masa puber memiliki rasa ingin tahu lebih terhadap hal-hal yang belum mereka rasakan termasuk rasa dalam hubungan pacaran. Pacaran di usia remaja sangat rentan terhadap dampak akses internet. Konten-konten negatif macam pornografi amat berbahaya jika ditiru oleh kalangan muda. Kebobrokan ini yang seharusnya menjadi perhatian kita terutama para orang tua.

Bacaan Lainnya
DONASI

Tercatat hasil survei oleh Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kementerian Kesehatan, (Kemenkes) pada Oktober 2013 menerangkan bahwa sekitar 62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks di luar nikah. 20% dari 94.270  perempuan yang mengalami hamil di luar nikah berasal dari kalangan usia remaja dan  21%  di antaranya pernah melakukan aborsi. Lalu pada kasus terinfeksi HIV dalam rentang 3 bulan sebanyak 10.203 kasus, 30% penderitanya berusia remaja.[1]

Kenyataan di atas menjelaskan bahwa anak-anak Indonesia terutama di usia remaja sedang dilanda musibah besar. Nyatanya pacaran usia remaja kini telah menjadi sarana perilaku seks diluar nikah dan penggunaan internet yang dapat mengakses berbagai konten dengan mudah juga menjadi pemicunya. Untuk para guru-guru atau orang tua harusnya hal tersebut harus menjadi perhatian khusus baik di sekolah maupun ditengah keluarga.

Pertumbuhan psikologi anak-anak Indonesia kini seketika tumbuh drastis menjadi dewasa. Bagaimana tidak, di usia dini yang seharusnya mereka belajar dan bermain namun di era millenial sekarang bahkan anak-anak sekolah dasar pun telah paham mengakses konten pornografi.

Masa-masa muda para remaja seringkali dilanda dengan perasaan penasaran, galau dan dilema. Kini, anak muda telah menyempitkan arti cinta dengan keharusan mengikat lawan jenis dalam sebuah ikatan (pacaran). Parahnya, remaja masa kini kerap lebih memilih memperjuangkan cintanya untuk sang kekasih hati ketimbang membahagiakan orang tua sendiri, bahkan mereka berlomba-lomba berlagak paling romantis dalam urusan menunjukkan cinta. Banyak pula yang sudah merelakan seluruh jiwa-raga untuk pacarnya, seperti bersentuhan atau kontak fisik yang berlebihan, mentraktir atau membelikan hadiah-hadiah mewah untuk sang pacar, atau sampai mengganggu waktu belajar baik di sekolah maupun di rumah.

Siapa sih zaman sekarang yang gak punya pacar? Kalau jomblo udah gak jaman katanya, kesepian, terlihat tidak lakunya, gak gaul, gak asik, dan lain sebagainya sudah pasti jomblo dihina dan dipojokkan mati-matian oleh teman-teman bahkan saudaranya sendiri. Bukan hal tabu lagi di kalangan remaja saat ini berpacaran dengan mesra di depan umum dan lain-lain.

Menurut remaja jaman sekarang hubungan pacaran telah menjadi kebiasaan, namun kebiasaan itu telah dicampuradukkan dengan pergaulan di negara lain yang notabene menganut paham bebas. Nah hal ini sudah mejadi masalah buat para orang tua, pengajar, bahkan pemerintah pun turut serta menangani hal tersebut. Ditambah lagi istilah-istilah kekinian seperti kids jaman now, edan kebanyakan makan micin, ini menunjukkan bahwa pertumbuhan generasi anak-anak kini sangat jauh berbeda dari generasi sebelumnya. Bahkan orang tua mereka sendiri punya ribuan pertanyaan di kepala “kok anak saya gini banget ya?” Tanpa pernah cari sebab dan solusi untuk menyelesaikannya. Adapula yang orang tua sampai menghikhlaskan anaknya dipacari, dibawa pergi keluar sampai larut malam hanya untuk membuat anaknya bahagia bahkan punya rasa bangga jika anaknya punya pacar. Ya dunia memang semakin kacau dan kesalahan-kesalahan kecil yang kerap dimaklumi begitu saja. Benar kata pepatah Arab yang mengatakan “ibda’ binafsih” (mulai dari diri sendiri).

Saya sendiri selaku remaja, yang mungkin bisa dikatakan masih dalam masa ikut-ikutan. Mencoba untuk menjauhi pikiran negatif yang selalu muncul di pikiran saya. Sebaiknya kita menghindari diri kita sendiri dulu. Perilaku remaja dalam mengaplikasikan cinta cenderung mendekati kekeliruan, bahkan sudah menjadi budaya negatif saat ini, berkembangnya era globalisasi sudah merubah gaya hidup remaja masa kini, alhasil budaya yang sudah diperjuangkan orang terdahulu hilang begitu saja, dan ini menjadi dampak yang sangat buruk untuk generasi. Namun tidak semua remaja seperti itu, jika remaja itu sendiri bisa mengontrol dirinya agar tidak terjerumus kedalam hal-hal yang dapat merusak diri dan menggantinya dengan kegiatan-kegiatan yang positif dan bermoral, dengan cara ini perilaku negatif dapat dihindari secara perlahan.

Peranan orang tua sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Peranan tersebut tidak hanya berlaku di tengah keluarga namun menjadi benteng bagi anak itu sendiri ketika mereka berada di luar rumah. Dalam hal ini, pakar Psikolog dan Pendiri Yayasan Kita dan Buah Hati Elly Risman menerangkan tahapan-tahapan bagi orang tua untuk mengawal pertumbuhan anak diera digital. Tahapan-tahapan itu ialah, (1) Tanggung Jawab Penuh  (2) Kedekatan (3) Harus Jelas Tujuan Pengasuhan  (4) Berbicara Baik-baik (5) Mengajarkan Agama (6) Persiapkan Anak Masuk Pubertas (7) Persiapkan Anak Masuk Era Digital.[2]

Langkah-langkah ini harus terus dilaksanakan oleh para orang tua agar mereka memahami pertumbuhan anak dan mengetahui apa saja yang telah dialami anak saat mereka berada di luar rumah.

Rumah adalah tempat semuanya dimulai: hubungan keluarga yang hangat, harmonis, serta membuat nyaman untuk tetap tinggal, juga bekal ilmu agama yang diajarkan dan dicontohkan secara konsisten, dan itu semua harus kita kawal bersama baik orangtua, nenek, kakek, bibi, paman, bahkan pembantu rumah tangga sekalipun harus memiliki pemahaman ini. Mempunyai cara berfikir yang gaul namun tetap syariah, akan menghadirkan anak anak remaja yang berkualitas pula.

Sisi lain sebagian orang tua juga mengkhawatirkan rasa suka yang dimiliki anak remajanya terutama para gadis, sehingga menumbuhkan sikap overprotective. Jika anak ketahuan pacaran akan diberikan ancaman/hukuman untuk menakut-nakuti, namun seringkali caranya yang berbagai rupa mengganggu perkembangan psikologi diri anak, semakin dilarang anak semakin ingin mencari penasaran untuk melakukannya, sehingga menimbulkan komunikasi yang buruk, rasa paranoid yang berlebihan, bahkan anak pacaran secara sembunyi-sembunyi, dan sungkan untuk bercerita.

Kenyataannya tidak semua orang tua lemah dalam mengontrol anak. Para orang tua terlalu memberikan kebebasan pada anak dalam menggunakan televise, gadget hingga mengakses internet. Sehingga anak tidak lagi bergaul dengan temannya. Dan akibatnya anak menjadi tidak cerdas dan cenderung melakukan hal-hal negatif sehingga anak-anak tersebut mudah terpengaruh atau terjurumus dari perbuatan asusila, yang merugikan masa depan mereka.

Contoh kecil lainnya yang harus konsisten dilakukan oleh orang tua adalah bertanya perasaan anak, misal: “bagaimana tadi di sekolah nak?” “Pelajaran apa yang paling sulit?” Sampai pertanyaan tentang rasa sukanya terhadap lawan jenis, “dia ganteng/cantik ya? Pasti dia anaknya pinter deh? Kamu suka ya sama dia?” Sambil bertanya sambil diarahkan.  Hal yang demikian membuat anak tidak harus mencari-cari kasih sayang dan melampiaskan kepada orang lain. Karna ketika anak remaja kita sudah memutuskan untuk punya pacar, mereka sudah merasa kehilangan kasih sayang dari orangtua, sehingga memilih mencari dari orang lain.

Maka oleh sebab itu pengawasan harus tetap berjalan secara konsisten. Orang tua memiliki peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan anak. Bimbingan dan arahan serta menyempatkan untuk memberikan kontak fisik seperti pelukan kepada anak, diskusi yang bersifat religius, atau berkomunikasi di sela-sela aktifitas atau saat di meja makan agar menjadikan anak-anak kita tumbuh dengan pikologi yang positif. Pengawalan para orang terhadap lingkungan tumbuh kembangnya anak menjadi sebuah keharusan demi mewujudkan generasi cemerlang dan membanggakan.

Afra Afifah Chairani, S.Pd.
Guru Dayah Modern Terpadu Pesantren Subulussalam – Aceh

[1] Kunjungi https://www.kompasiana.com/rumahbelajar_persada/63-persen-remaja-di-indonesia-melakukan-seks-pra-nikah_54f91d77a33311fc078b45f4)

[2] Kunjungi https://wolipop.detik.com/read/2016/05/27/183233/3219694/857/7-tips-pengasuhan-anak-di-era-digital-dari-psikolog-elly-risman

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

2 Komentar

Komentar ditutup.