Dari sudut pandang efisiensi jangka pendek, SKS seringkali terlihat menarik. Di tengah padatnya jadwal kuliah, organisasi, dan kegiatan sosial, mahasiswa mungkin merasa tidak punya pilihan selain “memadatkan” materi pelajaran dalam semalam sebelum ujian. Mereka beranggapan bahwa dengan fokus intensif dalam waktu singkat, informasi yang dibutuhkan dapat terserap dan dikeluarkan kembali saat ujian.
Dalam beberapa kasus, terutama untuk mata kuliah yang materinya relatif ringan atau ujian yang formatnya hafalan murni, SKS mungkin memang bisa menghasilkan nilai yang memuaskan. Sensasi keberhasilan setelah “berjuang” semalaman juga bisa memberikan kepuasan sesaat.
Namun, mari kita telaah lebih dalam risiko yang mengintai di balik “efisiensi” semu ini. Pertama dan utama adalah kualitas pemahaman yang dangkal. Belajar dalam semalam cenderung berfokus pada menghafal fakta dan konsep tanpa benar-benar memahami keterkaitannya.
Informasi yang dipaksakan masuk dalam waktu singkat sulit untuk diolah menjadi pengetahuan yang mendalam dan bermakna. Akibatnya, mahasiswa mungkin mampu menjawab soal ujian, namun tidak memiliki pemahaman yang kokoh untuk mengaplikasikan ilmu tersebut di kemudian hari atau menghubungkannya dengan materi lain.
Risiko kedua adalah retensi jangka panjang yang rendah. Otak membutuhkan waktu dan pengulangan untuk memindahkan informasi dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. SKS, dengan intensitasnya yang tinggi dan durasi yang singkat, tidak memberikan kesempatan bagi proses konsolidasi memori ini.
Baca juga:Â Simak Tips agar Belajar menjadi Lebih Efektif dan Efisien!
Informasi yang dipelajari semalam cenderung mudah menguap setelah ujian selesai. Hal ini tentu merugikan, terutama jika materi tersebut merupakan fondasi untuk mata kuliah selanjutnya atau relevan dengan karir di masa depan.
Selanjutnya, kebiasaan SKS juga berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental. Kurang tidur dapat menyebabkan penurunan konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan kognitif secara keseluruhan. Mahasiswa yang sering begadang juga rentan terhadap stres, kecemasan, dan bahkan depresi.
Siklus tidur yang berantakan dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh, membuat mereka lebih mudah sakit. Performa akademik yang menurun akibat kelelahan dan stres justru akan memperburuk situasi.
Dari sudut pandang pengembangan diri dan kedisiplinan, SKS juga bukanlah kebiasaan yang baik. Mengandalkan belajar semalam menunjukkan kurangnya perencanaan dan manajemen waktu yang efektif.
Mahasiswa yang terbiasa dengan SKS cenderung menunda-nunda belajar hingga saat-saat terakhir, menciptakan siklus ketergantungan pada tekanan waktu. Hal ini menghambat pembentukan kebiasaan belajar yang teratur dan berkelanjutan, yang merupakan keterampilan penting untuk sukses tidak hanya di perkuliahan tetapi juga di kehidupan profesional.
Tentu saja, ada kalanya situasi tak terduga memaksa mahasiswa untuk belajar dalam waktu singkat. Namun, menjadikan SKS sebagai strategi utama dan berkelanjutan adalah sebuah kesalahan. Efektivitas sesaat yang dirasakan tidak sebanding dengan risiko jangka panjang yang ditimbulkan pada pemahaman, retensi, kesehatan, dan pengembangan diri.
Sebagai alternatif, mahasiswa perlu mengembangkan strategi belajar yang lebih terencana dan berkelanjutan. Ini meliputi membuat jadwal belajar yang realistis, memecah materi menjadi bagian-bagian kecil yang mudah dikelola, belajar secara aktif dan bukan hanya pasif membaca, melakukan pengulangan materi secara berkala, serta memanfaatkan sumber daya belajar yang tersedia seperti diskusi kelompok atau konsultasi dengan dosen.
Dari sudut pandang psikologis, ketergantungan pada SKS dapat memicu siklus stres dan kecemasan yang tidak sehat. Mahasiswa yang terbiasa menunda-nunda belajar hingga saat-saat terakhir akan terus-menerus berada di bawah tekanan tenggat waktu.
Rasa cemas akan ketidakmampuan menguasai materi dalam waktu singkat, ditambah dengan ketakutan akan kegagalan ujian, dapat menciptakan tingkat stres yang kronis. Kondisi ini tidak hanya mengganggu kualitas tidur dan kesehatan fisik, tetapi juga dapat berdampak negatif pada suasana hati, motivasi belajar, dan bahkan memicu masalah kesehatan mental yang lebih serius.
Sensasi keberhasilan sesaat setelah ujian yang berhasil dilewati dengan SKS justru dapat memperkuat perilaku menunda-nunda di masa depan, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Selain itu, rasa bersalah atau tidak percaya diri karena menyadari bahwa pemahaman yang didapat dangkal juga dapat menghantui mahasiswa.
Dari sudut pandang implikasi sosial, budaya SKS dapat menciptakan lingkungan belajar yang kurang kolaboratif dan lebih kompetitif secara tidak sehat. Ketika mahasiswa fokus pada “bertahan hidup” dalam ujian berikutnya, kesempatan untuk berdiskusi mendalam, berbagi pengetahuan, dan belajar bersama menjadi berkurang.
Energi yang seharusnya digunakan untuk memahami materi secara kolektif justru habis untuk upaya individual dalam “menjejalkan” informasi semalam suntuk. Hal ini dapat menghambat pembentukan komunitas akademik yang solid dan saling mendukung, yang seharusnya menjadi salah satu pilar penting dalam pengalaman belajar di perguruan tinggi.
Selain itu, kebiasaan SKS juga dapat menormalisasi praktik belajar yang tidak efektif di mata generasi mahasiswa berikutnya, menciptakan budaya yang kurang menghargai proses belajar yang mendalam dan berkelanjutan.
Lebih luas lagi, praktik SKS yang meluas dapat berimplikasi negatif terhadap kualitas pendidikan secara keseluruhan. Jika sebagian besar mahasiswa hanya berfokus pada lulus ujian dengan cara tercepat, tanpa benar-benar memahami dan menginternalisasi materi, maka tujuan utama pendidikan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang kompeten dan berpengetahuan luas dapat terancam.
Institusi pendidikan mungkin menghasilkan lulusan dengan transkrip nilai yang tampak baik, namun dengan pemahaman dan keterampilan yang kurang memadai untuk menghadapi tantangan di dunia kerja atau melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini tentu akan berdampak pada daya saing lulusan dan reputasi institusi pendidikan itu sendiri.
Dosen pun mungkin akan kesulitan untuk mengajarkan materi yang lebih kompleks atau mendorong pemikiran kritis jika mahasiswa tidak memiliki fondasi pemahaman yang kuat dari mata kuliah sebelumnya.
Selain itu, ketergantungan pada SKS juga dapat menghambat pengembangan keterampilan metakognitif pada mahasiswa. Metakognisi adalah kemampuan untuk merefleksikan, memahami, dan mengontrol proses belajar sendiri.
Mahasiswa yang terbiasa dengan SKS jarang memiliki kesempatan untuk merencanakan strategi belajar yang efektif, memonitor pemahaman mereka secara berkala, dan mengevaluasi efektivitas metode belajar yang mereka gunakan.
Proses belajar menjadi reaktif dan berorientasi pada “output” sesaat (nilai ujian) daripada “proses” pemahaman dan penguasaan materi yang sebenarnya. Akibatnya, mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan belajar mandiri yang akan sangat berguna sepanjang hayat.
Penting untuk ditekankan kembali bahwa situasi tak terduga memang bisa saja terjadi, dan dalam kondisi tersebut, belajar dalam waktu singkat mungkin menjadi pilihan terakhir. Namun, perbedaan mendasar terletak pada menjadikannya sebagai strategi utama dibandingkan dengan respon darurat.
Mahasiswa yang memiliki kebiasaan belajar teratur akan lebih mampu menghadapi situasi darurat semacam itu karena mereka telah memiliki pemahaman dasar yang lebih kuat. Mereka mungkin hanya perlu melakukan review atau fokus pada poin-poin penting, bukan mempelajari seluruh materi dari awal dalam semalam.
Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali pertanyaan awal: Efektifkah SKS? Jawabannya, dengan mempertimbangkan semua aspek yang telah dibahas, adalah tidak efektif dalam jangka panjang dan menyimpan risiko yang signifikan.
“Efisiensi” sesaat yang ditawarkannya hanyalah ilusi yang mengabaikan konsekuensi serius terhadap pemahaman, retensi, kesehatan fisik dan mental, pengembangan diri, implikasi sosial, dan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Mahasiswa perlu berani keluar dari zona nyaman SKS dan mengadopsi pendekatan belajar yang lebih sehat, terencana, dan berkelanjutan untuk meraih kesuksesan akademik dan mempersiapkan diri dengan baik untuk masa depan yang lebih gemilang. Institusi pendidikan dan keluarga juga memiliki peran penting dalam mendukung perubahan paradigma ini melalui edukasi, pembimbingan, dan penyediaan lingkungan belajar yang kondusif.
Penulis:Â Raisha Ardhini
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Makassar
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News