Ketika Sains Menginvasi Peradaban Manusia

Sains
Ilustrasi: istockphoto

Topik pembahasan di zaman modern dewasa ini adalah hubungan manusia dengan sains, khususnya dalam bidang teknologi, yang seakan-akan tidak bisa dipisahkan dari segala bentuk kegiatan dan aktivitas.

Sehingga pada saat ini, bisa dibilang sains yang berkaitan dengan teknologi menjadi kebutuhan primer yang mendarah daging dan harus terpenuhi dalam kehidupan umat manusia.

Itu pulalah yang mendorong manusia akan keharusan terpenuhinya otoritas akses penuh bagi setiap orang di muka bumi ini, yang apabila ditiadakan maka akan terasa kurang sempurna dan terasa cacat.

Bacaan Lainnya

Dalam setiap kebudayaan selalu terdapat sains dan teknologi yang digunakan sebagai acuan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan beserta isinya, dan juga digunakan sebagai alat mengeksploitasi, mengolah, dan memanfaatkannya untuk pemenuhan kebutuhan manusia.

Sains dan teknologi dapat berkembang melalui kreativitas penemuan (discovery), penciptaan (invention), dan melalui pelbagai bentuk inovasi serta rekayasa.

Kegunaan nyata sains teknologi bagi manusia sangat tergantung dari nilai, moral, norma, dan hukum yang mendasarinya. “Sains tanpa nilai sangat berbahaya dan manusia tanpa sains mencerminkan keterbelakangan”.

Sains sebagai “body of knowledge” yang kita ketahui saat ini adalah hasil abstraksi manusia dari sumber alami melalui berbagai fenomena yang diamatinya. Kemudian fenomena tersebut direpresentasikan ke dalam berbagai model yang membentuk suatu paradigma.

Maka kebenaran sains adalah hanya bila suatu fenomena alami dapat cocok pada model-model dari suatu paradigma yang berlaku.

Fenomena alami dan kebenaran yang ada dibaliknya sebenarnya telah beroperasi sejak sebelum manusia ada, misalnya gaya gravitasi dan elektromagnetik, adanya elektron dan neutron di dalam atom, proses radioactive decay, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, berbagai kebenaran alami yang terhimpun dalam sains merupakan temuan (discovery) manusia. Namun tanpa manusia pun kebenaran alami tetap beroperasi sebagai sumber sains.

Berbeda dengan sains, teknologi sepenuhnya bersumber pada manusia itu sendiri. Teknologi diciptakan manusia sebagai instrumen dalam usaha memenuhi kebutuhannya yang merupakan suatu fenomena sosial. Teknologi diciptakan melaui penerapan (exercise) budidaya akalnya.

Manusia harus memberdayakan akal pikirannya dalam me-reka teknologi berdasarkan ratio dan kemudian membuatnya menjadi suatu produk yang konkrit.

Kehadiran sains dan teknologi telah memberikan dampak dan kontribusi yang cukup besar dan signifikan terhadap kehidupan umat manusia dalam pelbagai aspek dan dimensi. Dan harus diakui, bahwa perkembangan sains dan teknologi modern telah mengubah wajah dunia.

Dengan perkembangan sains yang terus berkembang dengan pesat, manusia terus-menerus berinovasi secara berkesinambungan menciptakan teknologi-teknologi baru yang dapat menjadikan segala keperluan dan kebutuhan menjadi serba cepat, mudah, dan praktis.

Namun fenomena yang terjadi saat ini, perkembangan sains teknologi cenderung digunakan tidak untuk kebutuhan maupun keperluan sosial, melainkan “hanya” dijadikan tren hidup yang glamor, untuk sekadar berfoya-foya dan ikut-ikutan agar tidak dianggap sebagai manusia zaman batu yang gaptek akan perkembangan sains teknologi, tanpa memanfaatkan kecanggihan teknologi dengan tepat dan baik sesuai fungsinya.

Sains tidak hanya bekerja sebagaimana keadaannya yang rasional-empiris, tetapi menjalar sebagai budaya baru dalam kehidupan. Kehadiran sains dan teknologi tak serta merta mengatasi keterbatasan manusia sebagai alat bantu atau ektensi, justru semakin menempatkan manusia meninggalkan kemanusiaannya.

Sebab, semua telah mampu dikerjakan oleh sains dan teknologi, lebih mengejutkan lagi timbul diferensiasi pada ranah nilai kultural. Efek lebih lanjut dari adanya pembedaan wilayah ranah kultural itu menimbulkan gejala dan praktik alienasi, fragmentasi, disosiasi, dan keterpisahan dalam pertautannya dengan modernitas.

Melihat kondisi seperti ini, pertanyaannya adalah bagaimanakah kemudian menyikapi perkembangan sains dan teknologi dewasa ini? Ketika semua mampu dilihat dan dikerjakan sedangkan kedudukan manusia sendiri berada dalam kendali sains dan teknologi.

Kenyataan ini bertolak belakang dengan kemampuan si “manusia”, melalui rasionalnya sendiri mengolah daya pikir yang kemudian tercipta beragam sains dan teknologi. Tetapi pada gilirannya, manusia itu sendiri terjebak oleh apa yang diciptakannya.

Tetapi perlu diketahui secara sistemik bahwa; “Science is like a garden; if it is not cultivated, it cannot be harvested”. Peribahasa ini menarik, bukan? Sains memang ibarat taman, kondisinya sangat bergantung pada pemiliknya.

Pemilik yang rajin merawat dan memeliharanya secara rutin tentu akan memiliki taman yang indah. Semakin beraneka ragam, semakin sehat tanamannya, semakin banyak pula hasil yang didapat. Sebaliknya, pemilik yang malas merawat tamannya akan membuat tamannya menjadi buruk.

Taman menjadi gersang, tanaman pun diserang hama. Jangan berharap hasil, ada tanaman yang bisa tumbuh pun sudah bagus. Bisa-bisa taman tersebut bukan memberi untung, tetapi malah merugikan.

Sama saja dengan sains, semua tergantung dengan kita sebagai manusia. Bila rajin memperkaya, memperdalam, dan mencari sesuatu yang baru, kita pun dapat menuai jerih payah di kemudian hari. Semakin paham pada sains, semakin banyak pula yang dilakukan, dan semakin optimal hasil yang didapat.

Namun, untuk mencapai sains yang mumpuni diperlukan ketekunan secara berkelanjutan. Sama seperti taman, “memupuk” sains pun membutuhkan proses yang tidak instan. Setiap harinya kita harus menambahkan sesuatu yang baru dan merawatnya sedikit demi sedikit.

Tidak salah jika mengatakan hubungan manusia dengan sains seperti halnya simbiosis parasitisme. Itu tergantung dengan opsi manusia yang memilih jalannya, menjadi pihak yang menguasai dan menaklukan sains agar menuntut dan memacu dirinya untuk belajar lebih keras, lebih cerdas, semakin mengasah kemampuan yang dimiliki, dan memanfaatkannya dengan bijak sehingga dapat memperoleh nilai positif.

Atau menjadi pihak yang dikuasai serta terus-menerus diperbudak, diperdaya, dan digerogoti oleh sains sehingga semakin menuntun umat manusia pada kehancuran moral dan peradaban.

Tidak hanya apa saja faktor yang diperhatikan dalam setiap tahapan hidup, tetapi juga bagaimana cara menghadapinya. Karena manusia sendiri diberi kebebasan untuk memanfaatkan dan menggunakan fasilitas yang ada di bumi, tempat umat manusia berpijak. Dan tentu saja harus sesuai kadar serta tidak berlebihan.

Penulis:

Arif Rahman Hakim
Mahasiswa PJJ PAI Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati Cirebon

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.