Telah banyak beredar mengenai proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung yang molor akibat konflik pembiayaan. Pada awalnya, proyek KCJB dilangsungkan menggunakan skema murni atau business to business (B to B) antar BUMN kedua negara sehingga tidak menggunakan dana APBN.
Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia melakukan kerjasama dengan konsorsium perusahaan Cina yang tergabung dalam PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
KCIC bertanggung jawab atas pembangunan dan pengoperasian kereta cepat, sementara pemerintah menyediakan dukungan kebijakan, izin, dan fasilitas lainnya. Pembiayaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung ini berasal dari pihak swasta, yaitu perusahaan Cina.
KCIC menginvestasikan dana sendiri untuk membangun infrastruktur dan fasilitas kereta cepat tersebut.
Sehingga dalam proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung ini, Pemerintah Indonesia tidak memberikan jaminan atau dana langsung. Status kepemilikan KCJB yang telah disepakati adaah 60% milik Indonesia dan 40% milik China.
Kepemilikan itu diwakili oleh konsorsium yang beranggotakan sejumlah BUMN seperti PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero) atau PTPN VII.
Dalam proses konstruksinya, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung telah mengalami keterlambatan dalam pelaksanaannya.
Berbagai faktor seperti perizinan, pembebasan lahan, dan konstruksi fisik menjadi penyebab utama keterlambatan ini.
Hal ini telah mengakibatkan penundaan dalam pemanfaatan infrastruktur yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Karena keterlambatan ini pula, pembiayaan proyek KCJB pun kian melonjak dan membengkak dari perkiraan awal.
Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo mengatakan Indonesia dan China sudah menyepakati nominal pembengkakan biaya KCJB sebesar US$1,2 miliar atau sekitar Rp18,24 triliun yang semula proyek ini ditargetkan hanya memakan dana US$5,13 miliar sekitar Rp76,95 triliun (asumsi kurs Rp15 ribu) oleh Pemerintah China.
Proyek ini kian merenggut saat China yang awalnya disebut sebagai investor utama pada proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, saat ini malah memaksa biaya dari APBN sebagai penjaminan utang proyek KCJB.
Sehingga pada pembiayaan proyek KCJB ini, Pemerintah Indonesia ‘terpaksa’ mengucurkan dana APBNnya melalui PMN untuk dana pembengkakan proyek KCJB. Dana PMN yang dianggarkan utuk Proyek KCJB ini berjumlah 3,2 triliun.
Namun, penting untuk kita ketahui bahwa Indonesia termasuk dalam negara-negara yang diberi peringkat investasi yang baik oleh lembaga pemeringkat dunia seperti S&P, Moodys, FDI, dan Fitch.
Hal ini dikarenakan Indonesia menjaga disiplin dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan konsisten dalam melaksanakannya.
Oleh karena itu, Indonesia termasuk dalam kategori negara yang layak untuk melakukan investasi, atau yang dikenal sebagai Investment Grade.
Disiplin APBN merujuk pada kemampuan dan konsistensi suatu negara dalam menjaga keseimbangan keuangan dan mematuhi prinsip-prinsip fiskal yang telah ditetapkan dalam APBN.
Praktik pengelolaan keuangan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi, meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mengendalikan inflasi, dan mengurangi risiko fiskal.
Dengan adanya konflik pembiayaan Kereta Cepat Jakarta-Bandung di atas, dapat menigkatkan risiko keterlonjakan hutang APBN di Indonesia dan mengancam disiplin APBN Indonesia.
Untuk itu, perlu adanya solusi alternatif pembiayaan modal kerja pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Solusi alternatif yang dapat dilakukan dalam pembiayaan KCJB ini seharusnya dapat menggunakan konsesi dengan strategic investor dalam negeri.
Konsesi melibatkan partisipasi sektor swasta dalam pembiayaan, pembangunan, dan pengoperasian proyek infrastruktur dengan mendapatkan hak pengusahaan atau pengelolaan proyek tersebut. Untuk mencari investor non-fiskal dalam kerjasama ini dilakukan dengan skema Private-Public Partnership.
Dengan skema ini Indonesia maupun China juga harus turut dalam melangsungkan kerjasama dengan pihak swasta yang akan dicari.
Sehingga, walapun pemegang saham terbesar Proyek KCJB ini adalah Indonesia, pihak China juga harus turut ikut bertanggungjawab atas bengkaknya biaya yang membebankan pihak Indonesia.
Penulis: Ainan Azizah
Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi