Konstitusi Indonesia dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Ketentuan ini seharusnya menjamin bahwa setiap profesi termasuk petani memiliki tempat yang terhormat dan menjanjikan dalam sistem sosial dan ekonomi bangsa.
Namun realitas di lapangan, terutama di daerah agraris seperti Nganjuk, menunjukkan kondisi yang kontras.
Banyak anak muda di Nganjuk menolak menjadi buruh tani atau petani di negeri sendiri karena profesi itu dianggap berat, minim penghargaan, dan berpenghasilan rendah.
Namun ironisnya, begitu ada peluang kerja ke luar negeri, banyak yang langsung daftar. Dan profesinya? Ya itu tadi petani, buruh pabrik, pembantu rumah tangga. Pekerjaan yang mereka hindari di kampung sendiri, justru mereka jalani dengan rela di negeri orang.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Nganjuk , jenis-jenis pekerjaan tersebut menjadi yang paling banyak diminati oleh tenaga kerja Indonesia (TKI ) asal daerah ini. Alasannya sederhana, upah yang lebih layak dan perlakuan yang lebih baik.
Selain itu, Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2023 Tahap I oleh BPS Kabupaten Nganjuk, tercatat 80.303 anggota rumah tangga tani di wilayah ini.
Namun, mayoritas dari mereka berusia lanjut. Keterlibatan generasi muda masih sangat minim. Ini mempertegas bahwa regenerasi petani tidak sedang berlangsung, ia sedang mandek.
Baca juga: Menelusuri Krisis Identitas Serta Kontrol Diri yang Lemah
Mengapa Mereka Bersedia Melakukan Pekerjaan yang Sama di Negeri Orang, tapi Menolaknya di Negeri Sendiri?
Barangkali jawabannya terletak pada kondisi riil sektor pertanian kita. Di banyak daerah agraris seperti Nganjuk, bertani sering kali berarti menjalani hidup dalam ketidakpastian.
Saya kira, banyak anak muda Nganjuk tumbuh menyaksikan orang tuanya bekerja keras di sawah, tapi tetap hidup dalam keterbatasan.
Kondisi ini tak hanya terjadi di Nganjuk.
Di Banyumas, Jawa Tengah, seorang petani bernama Mulyadi dari Desa Tinggarjaya mengungkapkan bahwa hasil panen nyaris tak menyisakan keuntungan.
“Setelah panen, uangnya habis buat beli pupuk dan biaya produksi lainnya,” katanya, dikutip dari (Sumber: Suara Merdeka Banyumas)
Bantuan Negara: Ada, Tapi Tidak Menyentuh Akar Masalah
Memang, pemerintah menyediakan sejumlah bantuan seperti hibah untuk kelompok tani. Tapi kebijakan itu sering tidak menyentuh akar masalah.
Selama harga hasil panen tidak dilindungi, akses permodalan terbatas, dan petani masih menjadi pihak yang paling lemah dalam rantai distribusi pertanian, maka kesejahteraan mereka tak akan banyak berubah.
Secara hukum tata negara, ini adalah bentuk abainya negara dalam menjalankan kewajiban konstitusional. Negara seharusnya hadir bukan sekadar dengan program formalitas, tetapi melalui perlindungan nyata terhadap profesi yang menjadi tulang punggung ketahanan nasional.
Identitas Profesi yang Terpinggirkan
Masalah ini juga menyentuh aspek identitas. Dalam masyarakat kita, profesi petani masih sering dipandang sebelah mata.
Ia tidak dianggap sebagai pekerjaan masa depan. Padahal, bertani adalah pekerjaan yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak.
Tak heran jika banyak generasi muda merasa tidak memiliki pilihan selain meninggalkan kampung halaman. “Ora ana dalan liyo,”tidak ada jalan lain, demikian pengakuan sebagian dari mereka.
Kalimat ini bukan hanya bentuk keputusasaan, tapi juga isyarat bahwa banyak warga tidak merasa punya ruang untuk tumbuh di tanah kelahirannya sendiri.
Jadi Warga Negara Berarti Bisa Tumbuh di Tempat Lahir Kita
Menjadi warga negara seharusnya berarti memiliki kesempatan yang adil untuk hidup dengan layak tanpa harus pergi jauh dari kampung sendiri.
Negara bertanggung jawab menciptakan sistem sosial dan ekonomi yang memungkinkan semua profesi penting, seperti petani, menjadi jalan hidup yang terhormat dan berkelanjutan.
Saya percaya bahwa menjadi warga negara yang dihargai di tanah sendiri bukan hanya slogan nasionalisme, tetapi harus terwujud dalam kebijakan, sistem hukum, dan budaya penghargaan terhadap kerja-kerja penting seperti bertani.
Tanah ini subur, hasil panennya baik. Tapi kalau manusia di atasnya tak diberi ruang untuk tumbuh, maka semua potensi itu akan sia-sia.
Baca juga: Menggali Potensi Ekonomi Lokal dengan Ilmu Ekonomi Pembangunan di Era Modern
Sudah waktunya kita membangun sistem pertanian yang menjanjikan masa depan, agar anak muda tak lagi memunggungi sawahnya sendiri, melainkan melihatnya sebagai tanah yang layak ditinggali, dibangun, dan diwariskan.
Penulis: Rizqi Nur Khabibah
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Pamulang
Dosen Pengampu Mata kuliah Hukum Tata Negara: Dr. Herdi Wisman Jaya, CT.,S.Pd.,M.H.,C.Ht
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News