Dalam studi linguistik dan semantik, Toshihiko Izutsu menonjol sebagai salah satu pemikir yang menawarkan wawasan mendalam tentang bagaimana makna bahasa dapat dipahami dan dianalisis.
Kontribusinya yang signifikan dalam memahami makna dasar dan makna relasional membawa perspektif baru dalam kajian bahasa dan pemahaman teks, terutama dalam konteks filsafat dan mistisisme Islam.
Kontribusi terbesar Izutsu dalam bidang semantik dikenal sebagai semantik struktural, yang menekankan bahwa struktur bahasa mencerminkan pemikiran dan pandangan dunia para penuturnya.
Menurut Izutsu, semantik tidak hanya menganalisis makna kata secara isolatif, tetapi juga membantu memahami bagaimana makna kata berubah tergantung pada konteks budaya dan historisnya.
Pendekatan semantik yang dikembangkan Izutsu memungkinkan kita memahami dinamika sosial dan budaya di balik penggunaan suatu bahasa.
1. Definisi Semantik Menurut Toshihiko Izutsu
Izutsu menjadi terkenal karena karyanya dalam bidang semantik Qur’ani. Dia adalah salah satu sarjana pertama yang menerapkan pendekatan semantik struktural untuk memahami Al-Qur’an.
Pendekatan ini menekankan analisis makna kata-kata kunci dalam Al-Qur’an untuk mengungkap pandangan dunia (Weltanschauung) dari masyarakat Arab pada masa turunnya wahyu.
Melalui karya-karyanya inilah, Izutsu menunjukkan bagaimana makna kata-kata dalam Al-Qur’an dapat berubah tergantung pada konteks budaya dan historisnya.
Toshihiko Izutsu mendefinisikan semantik sebagai analisis mendalam terhadap istilah-istilah kunci dalam suatu bahasa, dengan tujuan akhir memahami pandangan dunia atau “weltanschauung” dari masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut.
Pandangan dunia ini bukan hanya mencerminkan cara mereka berbicara dan berpikir, tetapi juga bagaimana mereka mengkonsepkan dan menafsirkan dunia di sekitar mereka.
Dengan kata lain, semantik menurut Izutsu adalah studi tentang sifat dan struktur pandangan dunia suatu bangsa, baik pada masa kini maupun dalam periode sejarah yang penting, melalui analisis metodologis terhadap konsep-konsep pokok yang telah mereka hasilkan dan kristalisasikan dalam kata-kata kunci bahasa mereka (Izutsu 1997: 3).
2. Makna Dasar dan Makna Relasional Menurut Toshihiko Izutsu
Makna dasar kata adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri dan akan terbawa di manapun kata tersebut berada. Sementara itu, makna relasional adalah konotasi yang diberikan dan ditambahkan pada makna dasar dengan menempatkan kata tersebut pada posisi khusus dalam konteks khusus, dan berada dalam relasi yang berbeda dengan kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut (Izutsu 1997: 12).
Makna dasar adalah makna yang inheren atau melekat pada kata itu sendiri, terlepas dari konteks penggunaannya. Makna dasar mencerminkan arti yang langsung dapat dipahami oleh semua penutur bahasa, tanpa memerlukan konteks khusus.
Ini adalah fondasi dari makna kata yang tetap konsisten di berbagai penggunaan. Contohnya Kata “kitab” dalam bahasa Arab memiliki makna dasar “buku.” Baik ditemukan dalam Al-Qur’an atau di luar Al-Qur’an, baik digunakan oleh orang Arab atau bukan, baik untuk menyebut Al-Qur’an atau buku lainnya, maknanya akan tetap “buku.
Sebaliknya, makna relasional lebih jelas dipahami sebagai makna kata yang dijadikan rujukan dalam konteks tertentu. Makna relasional adalah makna yang muncul dari interaksi kata dengan kata-kata lain dalam konteks tertentu.
Baca Juga: Rasisme dalam Game Online: Tantangan terhadap Nilai-Nilai Pancasila
Makna ini bersifat dinamis dan dapat berubah tergantung pada relasi dan konteks di mana kata tersebut digunakan. Ini mencakup konotasi, asosiasi, dan implikasi yang ditambahkan pada makna dasar ketika kata ditempatkan dalam situasi khusus atau bidang konseptual tertentu.
Contohnya Kata “kitab” dalam konteks Al-Qur’an sering kali berhubungan erat dengan konsep wahyu, firman Allah, malaikat, atau nabi.
Dalam konteks ini, kata “kitab” tidak hanya berarti “buku,” tetapi juga membawa makna tambahan sebagai wahyu ilahi, teks suci, dan sebagainya.
Kata “al-yaum” yang secara dasar berarti “hari,” dalam konteks tertentu dalam Al-Qur’an dapat berarti “hari kiamat.”
Tidak jarang, modifikasi makna hampir menghilangkan makna aslinya dan membentuk kosa kata baru. Misalnya, kata “kafara” memiliki makna dasar “tidak bersyukur“, namun lambat laun kata ini merujuk pada konsep sentral “percaya kepada Allah.
Kata ini menjadi memiliki hubungan langsung dengan Allah. Pada akhirnya, kata “kafara” mengalami pergeseran makna dari “tidak bersyukur” menjadi lebih dekat dengan makna “tidak percaya” sebagai pengingkaran terhadap konsep iman.
“Kafara” bukan lagi sebagai antonim kata “shakara” yang artinya bersyukur, tetapi menjadi antonim kata “amana” yang berarti mempercayai, dan bentuk partisipalnya “kafir” lebih tepatnya berarti ingkar.
Pada kenyataannya, kata yang benar-benar tunggal tidak dapat ditemukan, di mana makna konkret akan diliputi oleh makna dasar (Izutsu 1997: 15).
Pendekatan Izutsu tidak hanya relevan untuk studi bahasa dan agama, tetapi juga untuk memahami bagaimana manusia mengkonsepkan dan menafsirkan dunia melalui bahasa.
Semantik struktural membuka wawasan baru untuk berbagai bidang seperti antropologi, sosiologi, dan filsafat.
Baca Juga: Masyarakat, Budaya, dan Politik: Membaca Dinamika Terkini
Warisan Toshihiko Izutsu tetap hidup dalam bidang studi keagamaan dan semantik. Pendekatan strukturalnya terhadap teks-teks suci, khususnya Al-Qur’an, terus mempengaruhi sarjana-sarjana modern dalam cara mereka mendekati dan memahami teks-teks keagamaan.
Karyanya tidak hanya memperkaya pemahaman tentang Islam tetapi juga membuka jalan bagi dialog antaragama dan lintas budaya.
Izutsu adalah contoh cemerlang seorang intelektual yang tidak hanya menguasai berbagai disiplin ilmu tetapi juga mampu menyatukan pemahaman dari berbagai tradisi untuk menciptakan wawasan yang mendalam dan holistik tentang agama dan kemanusiaan.
Penulis:Â Rahmawati Khoirun Nisa
Mahasiswa jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Universitas Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor:Â Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News