Maraknya Love Scamming yang Terjadi pada Anak-Anak dan Remaja Melalui Hubungan Virtual

Love Scamming
Ilustrasi Love Scamming (Sumber: Media Sosial dari vecteezy.com)

Semenjak terjadinya pandemi Covid-19 dan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) setelah dikeluarkannya PP No.21 Tahun 2020, masyarakat cenderung berdiam diri didalam rumah dan memilih untuk bersosialisasi atau berinteraksi dengan orang lain secara online melalui media sosial.

Masyarakat dilarang berkumpul atau membuat kerumunan selama ditetapkannya PSBB, sekolah pun diselenggarakan secara daring dengan memanfaatkan Google Classroom maupun Zoom Meeting.

Para anak maupun remaja yang sebelumnya tidak terlalu mengenal internet pun dipaksa untuk bisa menggunakan internet dan aplikasi yang ada di handphone agar dapat melanjutkan kegiatan belajar dari sekolah yang dilaksanakan melalui daring.

Karena hal tersebut, para orang tua pun mempercayakan dan memberikan seluruh akses internet kepada anaknya tanpa pengawasan.

Bacaan Lainnya

Dari situlah anak mempunyai kesempatan untuk bereksplorasi pada hal yang bukan ranahnya. Banyak yang mencoba bermain dating apps, telegram, snapchat, sampai twitter untuk mencari teman baru.

Dari situlah mereka berinteraksi dan berhubungan. Biasanya anak-anak cenderung mencari pengalaman yang belum dapat mereka rasakan dikehidupan nyata, yaitu mencari pacar dan membina hubungan romansa dengan orang yang belum pernah mereka temui.

Hal tersebut tentunya bukan hal yang bagus, karena dapat membuka celah kejahatan untuk masuk. Kurangnya edukasi mengenai penggunaan media sosial serta dampak dan efek hukumnya yang masih ambigu mengintai anak-anak dan remaja dibawah umur.

Jaringan love scamming tidak hanya menjadikan target korbannya seorang wanita dewasa dan manula, namun sekarang merambah dan mengincar anak usia remaja untuk dieksploitasi.

Para pelaku mempunyai banyak cara untuk membuat luluh korbannya. Mereka mendekati korbannya dengan berlagak sebagai seorang yang peduli dan ingin melindungi si korban. Pelaku dan korban hampir setiap hari berinteraksi melalui media sosial.

Ketika korban sudah terbuai dan percaya dengan si pelaku, maka si pelaku langsung melancarkan aksinya. Modus yang paling sering mereka lakukan adalah minta ditemani video call, padahal aslinya diajak untuk berhubungan intim melalu video call.

Karena si korban tadi sudah luluh dan terbuai, maka dapat dipastikan mereka akan menyetujui permintaan si pelaku.  

Dari situlah kemudian pelaku punya bahan untuk memperdaya si korban. Pelaku akan meminta sejumlah uang kepada korban.

Apabila ia menolak, si pelaku dapat dipastikan mengancam si korban akan menyebarkan foto-foto tak senonoh yang ia ambil ketika mereka berhubungan intim melalui video call.

Baca juga: Pengalaman Komunikasi Siswa Melakukan Kelas Online selama Pandemi Covid-19

Selanjutnya yang terjadi adalah si korban akan mentransfer uang yang diminta kepada pelaku, karena takut fotonya akan disebarkan.

Meskipun begitu biasanya para korban enggan melapor kepada pihak berwajib, hal ini dikarenakan takut dijadikan bahan candaan dan takut disalahkan.

Para korban juga merasa malu dan menganggap bahwa masalah ini adalah persoalan yang biasa. Karena itulah kasus love scamming menjadi marak dan tidak dapat terselesaikan. Padahal kasus love scamming merupakan kasus yang urgent namun jarang terkuak oleh media.

Love scamming ini merupakan kejahatan yang mengandung unsur pemaksaan, manipulasi, pelecehan secara online (cyber sex), penyebaran foto dan video pribadi (mallicious distribution), terror melalui internet (cyberterrorism) dan juga eksploitasi (cyber exploitation).

Para korban love scam mengalami efek dan gejala kesehatan mental, gangguan kesehatan, stress, bahkan bunuh diri karena hal tersebut.

Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya peraturan dan kurangnya penegakkan hukum untuk menjerat pelaku kejahatan love-scam yang terjadi melalui virtual. Maka dari itu diperlukan peraturan terbaru untuk menumpas tuntas kejahatan virtual ini.

Dan menegakkan hukum bagi korban terutamanya perempuan melalui pengesahan RUU Penghapusan Pelecehan Seksual (RUU PKS) yang diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang berisi rancangan pengaturan yang mengatur berbagai jenis kekerasan yang lebih rinci.

Dalam pasal 5 RUU TPKS mengatur mengenai kekerasan seksual berbasis digital dimana pelanggar kekerasan berbasis gender online (KBGO) dapat dipidanakan.

Aturan RUU TPKS ini lebih signifikan dan komprehensif dibandingkan dengan hukum KUHP dalam konteks melindungi korban pelecehan dan kekerasan seksual serta pemerasan.

Semoga kedepannya Pemerintah segera merumuskan RUU TPKS tersebut agar para korban tidak lagi takut dan mempunyai perlindungan terhadap kejahatan love scamming melalui hubungan virtual.

Penulis: Maria Nurlita
Mahasiswi Ilmu Hukum, Universitas Pamulang

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses