Hujan selalu datang tanpa permisi, mengguyur desa ini dengan lebat, hampir setiap hari. Bagi sebagian orang, hujan adalah berkah. Tapi bagiku, hujan selalu membawa kenangan tentang ayah. Sejak kecil, aku sering duduk di sampingnya saat hujan turun, mendengarkan ceritanya tentang dunia yang lebih besar dari desa kami yang terpencil ini. Ayah adalah pelukis, dan bagi dia, hujan adalah karya seni terbaik yang diciptakan alam.
“Ayah, kenapa hujan selalu datang begitu saja?” tanyaku, saat aku masih kecil.
Ayah akan tersenyum dan menjawab dengan lembut, “Hujan datang untuk memberi kehidupan, Lila. Seperti halnya kenangan, ia datang tanpa bisa kita hindari, tapi akhirnya akan membuat kita tumbuh.”
Tapi sekarang, setiap kali hujan turun, yang aku rasakan hanya kesedihan yang tak bisa diungkapkan. Ayah sudah tiada, meninggal dalam kecelakaan sepuluh tahun lalu. Hujan yang dulu membawa keindahan kini hanya membawa kesepian yang semakin dalam.
Hari itu, hujan turun lebih deras dari biasanya. Aku berjalan tanpa tujuan di jalan desa yang becek, kaki terasa berat, seakan beban hidup terlalu banyak. Pikiran-pikiranku tentang ayah selalu datang bersama hujan-seolah ia masih ada, hanya saja tak bisa ku temui lagi.
Tanpa sadar, aku sudah berdiri di depan galeri kecil milik ayah. Dulu, tempat ini selalu ramai dengan orang-orang yang mengagumi karya-karyanya. Kini, pintunya terkunci rapat. Tak ada lagi suara tawa atau obrolan hangat di dalamnya. Semua kenangan itu kini hanya tinggal bayang-bayang.
Tiba-tiba, seorang wanita tua muncul dari balik pintu galeri yang sedikit terbuka. Wajahnya penuh keriput, tetapi matanya berbinar, seolah menyimpan ribuan cerita.
“Lila, kan?” tanyanya dengan suara lembut.
Aku mengangguk ragu. “Ibu… ibu siapa?”
Wanita itu tersenyum tipis, “Aku sahabat ayahmu. Dulu, sering sekali aku mendengarnya bercerita tentangmu. Dia sangat bangga padamu.”
Aku terdiam. Kata-kata itu seakan menghantam hatiku, seakan membuka kembali luka yang sudah lama terkubur. Aku tak tahu harus berkata apa.
“Anak muda, ikut aku sebentar,” kata wanita itu, sambil mempersilahkan masuk ke dalam galeri.
Galeri itu masih menyimpan atmosfer yang sama-sepi dan penuh kenangan. Di tengah ruang itu, ada sebuah lukisan besar yang belum pernah kulihat sebelumnya. Lukisan itu menggambarkan desa kami, namun ada sesuatu yang berbeda. Di balik awan gelap, ada sebuah matahari yang bersinar terang, menyinari semua yang ada di bawahnya. Matahari itu seperti memberi harapan di tengah hujan yang tak pernah berhenti.
“Ini lukisan terakhir ayahmu,” wanita itu menjelaskan dengan suara pelan. “Dia menyebutnya ‘Matahari di Balik Hujan’. Ayahmu percaya, meski hujan datang dengan begitu deras, selalu ada harapan yang tersembunyi di baliknya.”
Aku menatap lukisan itu lama. Ada perasaan yang tiba-tiba muncul-sesuatu yang sudah lama hilang. Entah kenapa, aku merasa seperti ayahku ada di sini, di balik setiap warna yang ia lukis. Tetes hujan yang selama ini terasa seperti beban kini mulai terlihat berbeda. Hujan bukan hanya tentang kehilangan. Hujan juga tentang keberanian untuk memulai kembali, untuk melihat hidup dengan cara yang baru.
Aku tersenyum, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, meski air mata menetes tanpa bisa kubendung. Wanita tua itu memandangku dengan penuh pengertian.
“Lila, ayahmu ingin kau tahu, bahwa kenangan itu tidak pernah hilang. Hujan memang datang, tapi ia juga akan pergi. Dan matahari, meskipun tersembunyi, selalu ada.”
Aku mengangguk, perasaan lega mulai menyelimuti hatiku. Hujan masih turun di luar sana, tetapi kali ini, aku tak merasa sendirian. Seperti yang ayah selalu katakan, “Setiap hujan yang datang membawa cerita baru.” Mungkin, sekarang adalah waktuku untuk menulis kisahku sendiri.
Penulis: Nanya Viola
Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Andalas
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News