Membangun Harmoni antara Sains dan Agama di Era Modern

Membangun Harmoni antara Sains dan Agama di Era Modern.
Membangun Harmoni antara Sains dan Agama di Era Modern.

Kemajuan teknologi yang pesat, globalisasi, dan kompleksitas masalah sosial merupakan ciri-ciri pendidikan abad ke-21. Selain memberikan pengetahuan, sistem pendidikan modern harus memupuk pengembangan karakter, kemampuan berpikir kritis, dan fleksibilitas.

Hubungan antara sains dan agama kerap menjadi perbincangan hangat, bahkan kontroversial. Tidak sedikit yang memosisikan keduanya sebagai entitas yang saling bertolak belakang, sains diasosiasikan dengan rasionalitas dan bukti empiris, sementara agama dianggap bersandar pada keyakinan dan otoritas metafisik.

Namun, dikotomi semacam ini semakin terbantahkan seiring munculnya kesadaran akan perlunya pendekatan holistik dalam memahami kehidupan dan tantangan global. Di era modern, bukan hanya ada kemunginan tetapi juga kebutuhan mendesak bagi sains dan agama untuk hidup berdampingan secara harmonis (Sulistyowati & Ma’arif, 2025).

Pandangan Ibnu Rusyd tentang pendidikan holistik sangat relevan, khususnya ketika mempertimbangankan interaksi antara sains dan agama. Ibnu Rusyd percaya bahwa penelitian akademis dan agama saling melengkapi, bukannya saling ekslusif.

Bacaan Lainnya

Ibnu Rusyd menunjukkan bahwa akal (sains) dan wahyu (agama) berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan, dalam karyanya yang terkenal Fasl al-Maqal. Oleh karena itu, untuk memenuhi tujuan yang lebih besar dalam hidup, keduanya harus bekerja sama.

Ibnu Rusyd berpendapat bahwa sementara  agama menawarkan bimbingan moral dan spiritual bagi kehidupan manusia, sains menggunakan akal dan pengamatan untuk menjelaskan alam semesta.

Ini berarti bahwa dalam konteks pendidikan, pengembangan karakter, moralitas, dan spiritualitas semuanya ditekankan di samping sains dan teknlogi (Sulistyowati & Ma’arif, 2025).

Baca Juga: Harmonisasi Sains dan Agama: Upaya Mewujudkan Keadilan Lingkungan

Sains berkontribusi besar dalam menguak hukum-hukum alam semesta melalui metode ilmiah. Kontribusi Ilmuwan Muslim: Sepanjang sejarah, sejumlah besar ilmuwan muslim telah memajukan sains dan teknologi secara signifikan.

Misalnya, buku “The Canon Of Medicine” ditulis oleh dokter dan filsuf muslim Ibnu Sina dan menjadi sumber informasi utama di bidang medis selama berabad-abad. Ia memampukan manusia mengembangkan teknologi, memahami penyakit, dan menciptakan solusi atas berbagai persoalan sosial.

Namun, kemajuan sains tidak serta-merta menjawab pertanyaan mendasar tentang makna, nilai, dan tujuan hidup manusia. Di sinilah peran agama menjadi signifikan. Agama memberi dimensi spiritual dan etika yang melandasi penggunaan ilmu pengetahuan secara bijaksana.

Ketika sains menjelaskan realitas fisik, agama menawarkan panduan moral dan eksistensial untuk menavigasi realitas tersebut. Dialog antara sains dan agama telah menghasilkan kontribusi nyata dalam berbagai bidang.

Dalam isu perubahan iklim, misalnya, sains memaparkan data kerusakan lingkungan secara objektif, sedangkan agama menyuarakan pentingnya tanggung jawab manusia sebagai khalifah bumi (Andini, 2024).

Dalam dunia kedokteran, pertimbangan etis terhadap teknologi medis seperti kloning, euthanasia, atau modifikasi genetik tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai keagamaan. Sinergi semacam ini mencegah sains kehilangan arah akibat ketiadaan dimensi etik, dan mencegah agama terasing dari realitas modern.

Baca Juga: Ibnu Rusyd: Ketika Akal dan Wahyu Bertemu dalam Harmoni

Lebih jauh, harmonisasi ini berperan penting dalam membangun masyarakat yang beradab dan inklusif. Dalam konteks globalisasi yang sering menimbulkan alienasi dan relativisme moral, perpaduan antara nalar ilmiah dan nilai-nilai spiritual dapat menjadi fondasi kuat bagi pembangunan peradaban.

Ilmu pengetahuan yang dipandu oleh prinsip-prinsip etis dan transendental akan menghasilkan inovasi yang tidak hanya canggih, tetapi juga memanusiakan. Tentu, harmonisasi ini menuntut keterbukaan dari kedua belah pihak.

Ilmuwan perlu mengakui bahwa sains bukan satu-satunya jalan menuju kebenaran, sementara pemuka agama harus menyadari bahwa ilmu pengetahuan adalah bentuk eksplorasi ciptaan Tuhan yang patut diapresiasi.

Pendidikan yang integratif, dialog antar-disiplin, serta pendekatan lintas iman dan budaya menjadi kunci untuk menjembatani kesenjangan yang masih ada. Pada akhirnya, sains dan agama, jika dikelola dalam semangat kolaboratif, bukan hanya mampu berdampingan, tetapi juga saling memperkaya.

Keduanya memiliki potensi besar untuk bersama-sama membangun masa depan yang lebih cerah, masa depan yang tidak hanya berlandaskan kemajuan intelektual, tetapi juga keluhuran moral dan spiritualitas yang mendalam.

Penulis: Fitria Nisa Habibah
Mahasiswa Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses