Mengakarnya Konflik Kepentingan antar Ormas di Kota Tangerang Selatan: Apakah Sudah Menjadi Budaya yang Mengakar?

Konflik Ormas di Kota Tangerang Selatan
Konflik Ormas di Kota Tangerang Selatan (Sumber: Media Sosial)

Kota Tangerang Selatan, sebagai salah satu kota penyangga ibu kota Jakarta, berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir.

Pembangunan yang pesat ini diiringi oleh dinamika sosial yang kompleks, termasuk munculnya berbagai organisasi masyarakat (ormas) yang bergerak di berbagai bidang, mulai dari sosial, keagamaan, hingga ekonomi. Namun, seiring dengan perkembangan ini, konflik kepentingan antar ormas menjadi fenomena yang tak terhindarkan.

Konflik antar ormas di Tangerang Selatan sering kali dipicu oleh perbedaan visi dan misi yang mereka emban. Masing-masing ormas memiliki tujuan dan agenda yang berbeda, yang kadang kala bertabrakan di lapangan.

Bacaan Lainnya
DONASI

Persaingan untuk mendapatkan pengaruh dan kekuasaan di tengah masyarakat kerap memicu friksi yang berujung pada konflik terbuka.

Beberapa kasus konflik antar ormas yang mencuat ke permukaan menunjukkan bahwa akar permasalahan sering kali terkait dengan perebutan sumber daya, baik itu dalam bentuk dukungan masyarakat, dana bantuan, atau akses terhadap fasilitas publik.

Dalam beberapa kasus, konflik ini bahkan melibatkan kekerasan fisik dan intimidasi, yang memperburuk hubungan antar kelompok dan meresahkan masyarakat luas.

Salah satu contoh nyata adalah perseteruan antara dua ormas besar yang berpengaruh di Tangerang Selatan terkait alokasi bantuan sosial. Kedua ormas ini bersaing ketat untuk mendapatkan dana dari pemerintah daerah, yang mereka klaim akan digunakan untuk kepentingan masyarakat. Namun, klaim-klaim ini sering kali diselimuti oleh motif politik dan ekonomi yang lebih besar, sehingga menimbulkan ketegangan yang berkepanjangan.

Budaya patronase dan klienelisme yang masih kental di masyarakat juga berperan dalam memperparah konflik antar ormas. Figur-figur berpengaruh di dalam ormas sering kali menggunakan posisi mereka untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok, sehingga memicu kecemburuan dan persaingan tidak sehat. Hal ini semakin memperumit upaya untuk mencapai konsensus di antara mereka.

Di sisi lain, pemerintah daerah sering kali berada dalam posisi yang sulit dalam menghadapi konflik antar ormas ini. Upaya untuk menjadi penengah sering kali tidak membuahkan hasil yang diharapkan, karena pemerintah sendiri sering kali dituduh berpihak pada salah satu kelompok. Kurangnya regulasi yang jelas mengenai peran dan batasan ormas dalam kehidupan publik juga menjadi salah satu faktor penyebab konflik.

Baca juga: Serangan Siber: Pertarungan antara Manajemen Krisis dan Reputasi bagi Organisasi

Dalam upaya mengatasi konflik ini, beberapa pihak mencoba menginisiasi dialog dan mediasi antar ormas. Forum-forum diskusi dan pertemuan reguler diadakan dengan tujuan untuk mencari titik temu dan membangun kerjasama yang konstruktif. Namun, upaya-upaya ini sering kali terhambat oleh ketidakpercayaan dan kecurigaan yang mendalam di antara para pihak yang terlibat.

Pertanyaannya, apakah konflik kepentingan antar ormas di Tangerang Selatan sudah menjadi budaya yang mengakar? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dilihat dari perspektif historis dan sosiologis.

Konflik antar kelompok bukanlah hal baru di Indonesia. Sejarah panjang pertarungan kekuasaan dan pengaruh di tingkat lokal maupun nasional telah membentuk pola-pola perilaku yang sulit diubah dalam waktu singkat

Namun, bukan berarti tidak ada harapan untuk perubahan. Masyarakat Tangerang Selatan menunjukkan dinamika sosial yang terus berkembang. Kesadaran akan pentingnya kerjasama dan dialog antar kelompok mulai tumbuh, terutama di kalangan generasi muda. Pendidikan dan literasi sosial yang semakin meningkat juga berperan dalam membuka wawasan dan mengurangi potensi konflik.

Peran media massa dan media sosial dalam menyebarluaskan informasi dan membentuk opini publik juga tidak bisa diabaikan. Media dapat menjadi alat yang efektif untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya toleransi dan kerjasama, serta mengurangi misinformasi yang sering kali menjadi pemicu konflik.

Di sisi lain, penguatan regulasi dan penegakan hukum yang adil dan transparan sangat diperlukan. Pemerintah perlu menetapkan aturan yang jelas mengenai peran dan batasan ormas, serta memastikan bahwa setiap pelanggaran ditindak secara tegas tanpa pandang bulu. Hal ini akan memberikan kepastian hukum dan mengurangi potensi konflik yang disebabkan oleh ketidakjelasan dan ketidakadilan.

Selain itu, program-program pemberdayaan masyarakat yang inklusif juga perlu terus digalakkan. Melalui program-program ini, diharapkan dapat tercipta kesadaran kolektif tentang pentingnya kerjasama dan solidaritas sosial, serta mengurangi ketergantungan pada patron- patron yang sering kali menjadi sumber konflik.

Pada akhirnya, mengatasi konflik kepentingan antar ormas di Tangerang Selatan memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Tidak hanya diperlukan upaya dari pemerintah dan ormas itu sendiri, tetapi juga dari seluruh lapisan masyarakat.

Dengan demikian, diharapkan Tangerang Selatan dapat menjadi contoh kota yang mampu mengelola keberagaman dan perbedaan dengan bijak, serta membangun budaya kerjasama yang kokoh demi kesejahteraan bersama.

 

Penulis: Zaidan Rahman Thariq Ramadhan
Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Brawijaya

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.