Mengapa Mereka Melompat? Tafsir Sosiologi Hukum Atas Maraknya Bunuh Diri Di Jembatan Teluk Kendari

Jembatan Menjadi Tempat Mangadu yang Sunyi

Jembatan Teluk Kendari menjadi simbol kemajuan kota Kendari yang menghubungkan antar wilayah. Akan tetapi, belakangan ini masyarakat kerap mengenalnya sebagai tempat bunuh diri.

Ia kini bukan sekadar infrastruktur, tetapi semacam “panggung sunyi” yang menyimpan luka sosial.

Dalam rentang April hingga Juni 2025, berdasarkan laporan resmi dari Basarnas dan SAR gabungan Kendari, ada empat kasus percobaan bunuh diri yang terjadi.

Pada 27 April, seorang gadis berusia 19 tahun melompat dan ditemukan dalam keadaan meninggal.

Bacaan Lainnya

Disusul pada 26 Mei, seorang pria muda berusia 23 tahun melakukan hal serupa.

Awal Juni, terdapat dua kasus lagi yang terjadi, dimana satu berhasil diselamatkan, satu lagi tidak.

Dari empat kejadian tersebut, tiga berakhir dengan kematian.

Peristiwa ini, jika dilihat telah menjadi pola. Pertanyaannya bukan lagi “kenapa mereka melompat?”, tapi “apa yang sedang terjadi di sekitar kita, sehingga melompat menjadi pilihan mereka?”

Baca juga: Pentingnya Perceived Social Support pada Gen Z dalam Menghadapi Fenomena Mental Health dan Tindakan Bunuh Diri

Bukan Hanya Soal Mental, Tetapi Guncangan Norma Sosial

Sosiologi Emile Durkheim dalam bukunya Le Suicide: A study in sociology (1897), sudah sejak lama menunjukkan bahwa peristiwa bunuh diri bukan hanya disebabkan oleh masalah mental belaka, akan tetapi bisa juga disebabkan oleh anomie, yaitu kondisi saat nilai-nilai sosial melemah dan individu merasa kehilangan arah.

Dalam keadaan anomie sendiri, seseorang tidak lagi mempunyai pegangan hidup.

Dukungan sosial yang mengendur, tekanan meningkat, hingga masyarakat yang seolah tidak punya ruang untuk merangkul orang-orang yang sedang runtuh secara batin.

Dalam hal ini, mereka bukan saja merasa putus asa, akan tetapi juga merasa bahwa mereka tidak lagi termasuk dalam sistem sosial yang ada.

Negara Terasa Absen: Hukum Tidak Lagi Mengayomi

Selain dari Durkheim, Donald Black juga menyoroti aspek hukum dalam perspektif sosiologis.

Di dalam buku The Behavior of Law, ia menyatakan bahwa hukum tidak hadir secara merata untuk semua orang, di mana hukum akan sangat kuat dan protektif di kalangan elit, namun melemah bahkan tak terasa bagi mereka yang miskin, marjinal, atau tak punya suara.

Jika kita lihat kenyataan ini di Kendari, orang-orang yang memilih melompat itu kemungkinan bukan tak lagi memiliki keinginan untuk hidup, akan tetapi mereka tidak tahu harus berharap kemana lagi.

Negara yang terasa jauh dan hukum yang hanya hadir dalam bentuk formal: peraturan yang dibacakan, tapi tidak dirasakan.

Padahal, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.

Sayangnya, aturan ini nyaris tidak dikenal publik.

Layanan konseling masih langka, stigma masyarakat terhadap gangguan mental tetap kuat, dan akses untuk mencari pertolongan sangat terbatas, terutama bagi mereka yang tidak mempunyai cukup uang untuk membayar bantuan profesional.

Disinilah hukum nasional kita, meski tertulis dengan tegas namun gagal menyentuh akar persoalan sosial. Hukum hadir tapi tidak hidup.

Baca juga: Peningkatan Kesadaran Masyarakat akan Kesehatan dan Literasi untuk Mewujudkan Masyarakat yang Cerdas dan Sehat

Jembatan: Ruang Terbuka yang Menjadi Saksi Diam

Kenapa sih mereka melompat di jembatan bukan di tempat sepi?

Karena jembatan itu ruang terbuka, publik, dan simbolik.

Mereka mungkin saja ingin “dilihat”, namun bukan dalam pengertian sensasional, tapi karena di situlah mereka bisa menghadirkan dirinya ke tengah masyarakat.

Mungkin mereka berpikir, “Jika dunia tak mendengar saat aku hidup, biarlah kematianku setidaknya membuat mereka menoleh”

Dengan kata lain, jembatan menjadi simbol gagalnya ruang hukum dan sosial yang tak mereka rasakan.

Sebuah metafora yang menyakitkan, jembatan menjadi satu-satunya tempat yang rasanya bisa menjawab keresahan mereka ketika negara dan masyarakat membisu.

Hal yang Bisa Kita Lakukan

Jangan menunggu untuk menjadi pejabat dulu untuk mulai bertindak.

1. Pemerintah daerah bisa membuka layanan psikologis berbasis komunitas yang gratis, ramah, dan tanpa stigma.

Khususnya di sudut-sudut rawan terjadinya bunuh diri, salah satunya di area Jembatan Teluk Kendari.

2. Sekolah dan kampus bisa menyediakan ruang aman untuk curhat, bukan hanya sekadar mengadakan seminar saat Hari Kesehatan Jiwa.

3. Dan kita sebagai teman, tetangga, dan mahasiswa bisa cukup hadir, cukup mendengarkan, dan harus cukup peka.

Tahu tidak? Terkadang satu percakapan tulus bisa saja menunda satu tindakan fatal.

Kadang satu pelukan mampu menjadi pegangan terakhir sebelum benar-benar jatuh.

Baca juga: ‘Self Healing’ Berbasis Al-Quran: Terapi Spiritual untuk Menjaga Kesehatan Mental

Hukum Tak Cukup Ditulis, Ia Harus Dihidupkan

Hukum adalah janji perlindungan.

Jika perjanjian hanya berhenti di lembaran Undang-Undang, maka itu tak berarti apa-apa.

Semua orang harus bisa merasakannya, bahkan oleh mereka yang diam-diam menangis di tepi jembatan sekalipun.

Apabila hari ini masih ada yang merasa bahwa jembatan lebih mendengar daripada negara, maka itu menjadi tanda bahwa hukum kita belum sepenuhnya hadir dalam memberikan rasa: rasa aman, rasa dihargai, maupun rasa dimiliki oleh negara.

Jadi sekali lagi, pertanyaannya sekarang bukan hanya “mengapa mereka melompat?”, tapi “Di mana norma sosial dan norma hukum saat mereka membutuhkannya?”

 

Penulis: Neza Hasan

Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Halu Oleo

Aktif juga di Pusakko FH-UHO dan Formmasta Raya Kendari

Dosen Pengampu: Ramadan Tabiu, S.H., LL. M.

 

Editor: Anita Said

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses