Hilir angin menerpa ladang padi yang hendak masak. Angin itu menabrak gantungan hias yang berjejer rapi di atas cakruk, menghiasi ruangan membaca dan memperindah ruangan dengan suara lembutnya.
Sebuah caping sengaja digantungkan pada bilah-bilah bambu sebagai dekorasi, membuat ruangan nyaman untuk membaca.
Di pinggir Kota Sleman sebelah Selatan, tepatnya pada Padukuhan Nologaten Catur Tunggal Depok Sleman, terdapat sosok yang sangat menginspiratif dan peka terhadap kebutuhan generasi muda Indonesia, khususnya para mahasiswa.
Beliau adalah Dr. H. Muhsin, S.Ag., M.A., M.Pd. seorang dosen yang aktif dalam giat literasi dan menulis.
Beliau dikenal sebagai psycho writer atau pengembang menulis. Selain itu beliau juga merupakan pendiri dari Pondok Pesantren Bil Qalam.
“Memberi pelatihan-pelatihan menulis di mana-mana, saya juga menulis sebanyak dua puluh empat judul buku,” ungkap beliau.
Sebuah Pondok Pesantren Bil Qalam khusus mahasiswa didirikan pada tahun 2024 akhir.
Sebuah dorongan dari sang pendiri untuk mendirikan pondok ini adalah karena ingin membantu para mahasiswa khususnya dalam bidang menulis.
Sebagai akademisi, beliau mengetahui kelemahan mahasiswa dalam akademik yaitu menulis. Selain itu, alasan beliau mendirikan pondok adalah untuk menjalankan perintah Tuhan.
Sebagai pendiri pondok pesantren yang berbasis menulis, Muhsin mengangkat diri untuk mengembangkan ilmu bernama psycho writing.
Pada makna etimologis, psycho writing terdapat dua kata yaitu, psikologi dan menulis.
Psikologi menulis itu berkaitan dengan kemauan seseorang dari tidak mau menjadi mau dari tidak suka menjadi suka di bidang menulis.
Beliau menggerakkan sistem untuk membuat para santrinya secara bertahap menyukai menulis dan hingga akhirnya menjadi ahli dalam bidang kepenulisan.
Baca Juga: Menyingkap Akar Bullying yang Tersembunyi di Pesantren melalui Pandangan Psikoanalitik
Pondok Pesantren Bil Qalam memiliki ciri khas yang unik dari pondok pesantren di Jogja.
Hal yang menjadi pembeda Pesantren Bil Qalam dengan pesantren lain adalah gambaran dari pengelolanya.
“Apabila pengelola nya adalah entrepreneur maka santri nya akan menjadi entrepreneur, maka disini yang jadi pembeda adalah produk kepenulisan,” jelas beliau.
Beliau menerangkan bahwa ambisi utama pondok pesantren adalah menjadikan mahasiswa berprestasi dalam bidang akademik maupun non-akademik.
Maka dari itu, di pondok ini para santri dianjurkan untuk menulis buku.
Sistem yang dimiliki oleh pondok pesantren tidak terlalu ketat dan bisa dinilai cukup santai.
Para santri juga dibebaskan untuk bekerja di manapun dan kapanpun, dan semakin dianjurkan apabila bekerja sesuai dengan unsur-unsur pekerjaan penulis.
Seperti editor, desain cover, desain layout, dan lain-lain. Akan tetapi, santri tetap harus mengikuti majelis khusus yang disiapkan oleh pondok.
“Yang penting tidak meninggalkan ngaji, majelis doa, dzikir, dan maulid. Itu harus wajib ikut,” jelas Muhsin.
Baca Juga: Eksistensi Pendidikan Pesantren bagi Generasi Muda di Era Milenial
Dalam praktiknya, pendiri juga tidak ingin membebankan banyak pikiran kepada mahasiswa, maka dari itu kegiatan pondok sangat mendukung kegiatan akademik kuliahnya.
Kegiatan di pondok harus mikir yang sederhana, seperti memasak bersama, menanam, atau kegiatan sederhana pendukung lainnya, tetapi masih bersenang-senang.
Kajian-kajian juga yang mendukung kegiatan akademik. Pakta integritas, para santri juga harus siap untuk bisa lulus tepat waktu.
Tak terlupakan, dalam segala pilihan pasti akan ada tantangan atau Muhsin lebih suka menyebutnya dengan kata konsekuensi, yakni kurangnya kebutuhan akan sumber daya manusia (SDM) dan kebutuhan-kebutuhan yang mendukung SDM.
Tantangan dari segi fisik ada macam-macam, seperti fulus, ekspansi, tanah wakaf, SDM yang memiliki kemampuan di bidang fundraising, dan yang sejalan dengan itu. Sebenarnya bukan tantangan, tetapi konsekuensi yang harus dihadapi.
Pesantren memiliki peran penting dalam menghadapi perkembangan teknologi modern.
Mahasiswa tidak boleh sekadar copy-paste, tetapi harus mampu mewarnai dunia modern dengan pemikiran kritis.
Baca Juga: Pentingnya Keterampilan Membaca dan Kualitas Menulis di Ruang Kelas Perguruan Tinggi
Integrasi keilmuan menjadi kunci—ilmu umum perlu diberi nilai agama, dan ilmu agama harus bisa diaplikasikan dalam kehidupan umum.
Pemahaman ini harus ditanamkan sejak dini agar teknologi justru menjadi peluang untuk mengasah pemikiran melalui tulisan.
Dalam menghadapi perubahan zaman, santri harus cerdas memanfaatkan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai ketergantungan, dan tetap mengembangkan pemikirannya sendiri.
Munculnya generasi muda yang mulai nyaman dengan perkembangan teknologi jangan terhipnotis dengan kenyamanannya, tetapi menjadi kobaran untuk bergerak menjadi penulis-penulis yang hebat.
Gawai bisa menjadi sahabat terdekat, tetapi kita tetap membaca dan jadikan aktivitas yang hebat.
Terutama bagi mahasiswa ilmu komunikasi, “Menulis itu adalah ekspresi terdahsyat” – Muhsin Kalida.
Dengan closing statement dari Dr. H. Muhsin, S.Ag., M.A., M.Pd. mengakhiri wawancara kali ini.
Penulis: Shafiyyah Noor Abidah
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Yogyakarta
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News