Menyelami Peran Bahasa sebagai Penentu Cara Pikir Manusia

Bahasa Sebagai Penentu Cara Pikir Manusia
Sumber: https://bslc.or.id/

Bahasa tidak hanya berhenti pada persoalan kalimat dan kata-kata. Bahasa berarti luas sehingga dia mampu bukan hanya menjadi alat komunikasi namun juga sebagai sebuah alat yang mampu memproses cara pikir umat manusia. Filsafat bahasa sebagai landasan pikir keilmuan bahasa memberikan pemahaman yang lugas terkait hal ini.

Segala hal yang kita anggap dapat memberikan informasi kepada kita dianggap sebagai sebuah aspek kebahasaan, simbol dan tanda yang kita temui dalam kehidupan dapat berarti sebagai sebuah aspek kebahasaan. Semiotika bahasa menjadi keilmuan yang dapat menjadi contoh nyata dari pernyataan tersebut.

Jika kita melihat sebuah warna merah, kuning, dan hijau di jalan raya secara alamiah otak kita akan memerintahkan untuk berhenti, berhati-hati, maupun melanjutkan perjalanan. Contoh ini menjadi gambaran bagaimana spektrum kebahasaan itu sangat luas.

Bacaan Lainnya
DONASI

Spektrum bahasa ini menjadi lebih luas lagi jika kita mempertanyakan bagaimana bahasa ada dalam ranah cara pikir manusia. Dari jutaan bahasa yang ada di dunia ini tentu setiap bahasanya memiliki kekhasan tertentu yang berbeda dengan yang lainnya, kekhasan ini bisa kita temukan tidak hanya dari struktur bahasanya namun juga kosa kata yang ada dalam bahasa tersebut.

Indonesia sebagai sebuah negara yang kaya akan kebudayaan memiliki ratusan bahasa daerah, setiap bahasa daerah tersebut melekat kepada entitas-entitas kebudayaan setiap manusia di Indonesia. Sebagai contoh bahasa Minangkabau memiliki kosa kata yang berbeda dengan bahasa Indonesia misalnya, dalam bahasa Minangkabau mengenal istilah yang beragam dalam menyampaikan kondisi terjatuh.

Contohnya jika keadaan tejatuh dikarenakan pijakan yang licin maka bahasa Minangkabau akan menggunakan istilah tajilapak, sedangkan jika terjatuh dikarenakan ada benda yang menghalangi maka akan ada istilah tataruang dan masih banyak istilah lain terkait dengan kondisi terjatuh ini dalam bahasa Minangkabau.

Bahasa Indonesia mungkin memiliki keterbatasan kata dalam menceritakan berbagai kondisi terjatuh. Hal ini akan menyebabkan cara pikir dan pandang masyarakat penutur bahasa Minangkabau dan penutur bahasa Indonesia menjadi berbeda dalam memahami makna terjatuh tersebut.

Pandangan mengenai bahasa dan cara pikir manusia ini sudah digaungkan sejak lama oleh sebuah hipotesis klasik dari dua orang pakar bahasa yaitu Edwar Sapir dan Benjamin Lee Whorf pada abad ke-20. Hipotesis ini dikenal dengan istilah Sapir-Whorf hypothesis atau Linguistic Relativity.

Hipotesis ini mengusulkan bahwa bahasa yang digunakan oleh individu memengaruhi pemikiran dan persepsi manusia terhadap kehidupan. Banyak pemikiran yang mendukung hipotesis ini, salah satunya adalah masalah warna. Beberapa bahasa memiliki kata-kata yang lebih spesifik untuk warna dibandingkan dengan bahasa lain.

Orang yang berbicara bahasa dengan banyak kata untuk warna mungkin lebih sensitif terhadap perbedaan warna daripada orang-orang yang berbicara bahasa yang lebih terbatas dalam masalah warna.

Contoh lain mengenai konsep waktu, beberapa bahasa mungkin lebih fokus pada waktu sebagai konsep linier, sementara bahasa lain mungkin lebih fleksibel dalam cara mereka mengonseptualisasikan waktu. Ini dapat memengaruhi cara individu berpikir tentang waktu dan mengorganisir jadwal mereka.

Mengenal Hipotesis Sapir-Whorf

Dalam hipotesis Sapir-Whorf ada dua aspek utama yang menjadi dasar pemikiran terhadap pemahaman mengenai hipotesis ini. Yang pertama adalah determinasi kebahasaan, istilah ini adalah gambaran dari bentuk ekstrem dari hipotesis Sapir-Whorf yang mengatakan bahwa bahasa yang kita gunakan sepenuhnya menentukan pemikiran kita.

Dengan kata lain, bahasa kita menciptakan pemahaman dunia kita dan kita hanya dapat memikirkan hal-hal yang ada dalam bahasa kita. Dalam bentuk deterministik, individu yang berbicara bahasa yang berbeda akan memikirkan dan memahami dunia secara berbeda.

Aspek Selanjutnya adalah relativitas kebahasaan, istilah ini merupakan versi yang lebih moderat dari hipotesis ini yang menyatakan bahwa bahasa kita memengaruhi, namun tidak sepenuhnya menentukan, cara kita berpikir dan memandang kehidupan.

Ini berarti bahwa bahasa memengaruhi pemikiran kita dengan membentuk kategori-kategori, mempengaruhi cara kita mengorganisir informasi, dan memengaruhi pemahaman konsep. Namun, ini tidak berarti bahwa kita sepenuhnya terbatas oleh bahasa kita.

Dua aspek ini menjadi dasar dari Hipotesis Sapir-Whorf. Kita dapat menarik kesimpulan bahwa dua aspek ini tetap merujuk kepada bahasa itu akan mempengaruhi cara pikir dan pandang dari penuturnya hanya masalah tingkat keterpakaiannya yang menjadi pembeda.

Contoh lain yang dapat mempertegas hipotesis ini adalah misalnya pada masyarakat suku Eskimo. Masyarakat suku Eskimo sudah berabad-abad tinggal di daerah kutub yang mana mereka sudah sangat lama berada dalam alam yang bersalju.

Dalam bahasa suku Eskimo mereka memiliki banyak istilah kata untuk menggambarkan berbagai kondisi salju. Salju yang berada di atap rumah dengan salju yang ada di tanah memiliki kosa kata yang berbeda. Hal ini akan menyebabkan pemikiran, pengetahuan, dan pandangan masyarakat Eskimo terhadap salju tentu akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang hidup di daerah tropis yang tidak pernah merasakan salju.

Sebaliknya jika berbicara tentang padi tentu masyarakat Indonesia akan jauh lebih memiliki cara pandang yang tinggi. Dalam bahasa Indonesia berbagai kondisi padi akan dijelaskan dengan berbagai istilah, padi yang sudah dipanen akan menggunakan istilah beras sedangkan padi yang sudah dimasak akan menggunakan istilah nasi. Hal ini berbeda dengan bahasa Inggris yang hanya mengenal istilah rice untuk segala kondisi padi.

Dengan kata lain, hipotesis ini ingin menyampaikan bahwa kekayaan kosa kata dalam sebuah bahasa terhadap sebuah kondisi tertentu akan mempengaruhi tingkat pemahaman penuturnya terhadap kondisi tersebut.

Pengaruh Bahasa terhadap Pandangan Kehidupan

Berbicara dalam tataran pengaruh, kita bisa mengkategorisasi pandangan-pandangan yang terpengaruh oleh bahasa. Banyak nilai atau aspek dalam kehidupan manusia yang terpengaruh oleh kekayaan atau kekurangan bahasa mereka.

Misalnya pandangan terhadap nilai kebudayaan, bahasa sering mencerminkan nilai, prioritas, dan pengetahuan budaya tertentu. Contohnya, beberapa bahasa mungkin memiliki banyak kata untuk menggambarkan hubungan sosial dan hierarki yang kompleks, yang mana hal tersebut berarti pentingnya struktur sosial dalam budaya tersebut.

Pandangan lain yang juga bisa terpengaruh oleh bahasa adalah dikarenakan adanya keterbatasan kosakata. Keterbatasan dalam kosa kata dalam sebuah bahasa dapat mempengaruhi pemahaman kita tentang kehidupan. Sebuah bahasa mungkin tidak memiliki kata untuk konsep yang penting dalam budaya lain, sehingga menciptakan kesulitan dalam berkomunikasi dan memahami.

Sejalan dengan contoh yang telah disampaikan sebelumnya dalam tulisan ini bahwa setiap bahasa memiliki penggunaan istilah yang berbeda dalam menyikapi suatu kondisi, tentunya fenomena ini akan menyebabkan pemahaman yang khas terhadap kondisi tersebut.

Di sisi lain perbedaan konsep bahasa juga mampu menjadi pengaruh terhadap pandangan kita terhadap kehidupan. Bahasa juga dapat membentuk pandangan kehidupan dengan mengonseptualisasikan aspek-aspek tertentu dari pengalaman. Misalnya, beberapa bahasa mungkin lebih fokus pada waktu sebagai konsep linear, sementara bahasa lain mungkin menggambarkan waktu sebagai lingkaran atau periode.

Keterbatasan Bahasa dalam Pemikiran

Tentunya bahasa memiliki keterbatasan dalam menentukan pemikiran kita terhadap sebuah kondisi. Dalam berekspresi misalnya, bahasa tidak selalu mampu menyampaikan semua nuansa dan kompleksitas pemikiran kita. Ada perasaan dan konsep yang sangat pribadi atau kompleks yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Dengan kata lain dalam mengekspresikan sebuah fenomena yang terjadi terkadang bahasa tak mampu menfasilitasinya. Dalam konteks kultural, bahasa mencerminkan budaya dan dapat membuat kita kesulitan dalam memahami atau menjelaskan konsep atau pengalaman yang tidak ada dalam bahasa tertentu.

Hal ini akan menjadi persoalan jika kita terjebak dalam situasi lintas kultur yang mengharuskan kita untuk mengungkapkan sesuatu namun tidak adanya padanan kata yang cocok dalam menyampaikannya.

Dalam hal yang bersifat abstrak, bahasa juga akan menemui kesulitan dalam penyampaiannya. Bahasa umumnya berfokus pada hal-hal yang konkret dan nyata. Pemikiran abstrak atau filosofis sering kali memerlukan bahasa yang lebih kompleks dan simbolis.

Namun, hal ini tidak akan menjadi permasalahan yang besar karena spektrum bahasa yang luas tadi. Pemahaman akan bahasa tidak boleh berhenti pada kosa kata saja namun hal yang bersifat simbolik pun harus mampu kita tafsir sebagai sebuah upaya bahasa dalam proses penyampaian.

Sebagai akhir dari tulisan ini penulis ingin menyampaikan bahwa bahasa itu lebih dari sekadar alat komunikasi, bahasa mampu membentuk cara kita berpikir dan memandang kehidupan.

Meskipun bahasa memiliki keterbatasan dalam menyampaikan pemikiran kita, manusia memiliki kemampuan untuk mengatasi sebagian besar keterbatasan ini melalui kreativitas, pengembangan istilah baru, dan penggunaan bahasa tubuh dan seni serta pemahaman akan simbol dan tanda yang juga tentu melekat kepada entitas pengguna bahasa.

Pemahaman bahasa dan kemampuan berbicara lebih dari satu bahasa dapat membantu seseorang untuk melihat kehidupan dari berbagai perspektif, yang dapat memperkaya pemikiran dan pemahaman mereka tentang kehidupan.

Bahasa adalah cermin yang mencerminkan dan alat yang membentuk pandangan kehidupan kita, dan memahami peran serta keterbatasannya penting dalam pengembangan pemikiran dan komunikasi manusia.

Dengan kata lain mempelajari bahasa pertama, kedua, dan bahkan ketiga atau seterusnya akan menambah khazanah berpikir kita tidak hanya menambah kemampuan untuk berkomunikasi dengan berbagai entitas tapi mempelajari banyak bahasa juga dapat memperluas pengetahuan kita terhadap kondisi-kondisi yang tidak dijelaskan oleh bahasa ibu kita.

Penulis: Gema Febriansyah
Mahasiswa S3 Ilmu Keguruan Bahasa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI