Cikarang – Bagi sebagian orang, merantau ke kota atau negara baru adalah pengalaman yang penuh tantangan, namun juga membuka banyak kesempatan. Itulah yang dirasakan oleh Namira Putri Annisa, seorang mahasiswi President University yang berasal dari Medan, Sumatera Utara.
Dalam wawancara yang dilakukan pada 13 Desember 2024 di sebuah kafe di Cikarang, Namira berbagi kisah mengenai pengalaman culture shock tentang bagaimana perbedaan budaya, tantangan adaptasi, hingga pelajaran hidup yang ia dapatkan selama merantau ke kota industri ini.
Langkah Awal
Namira tiba di Cikarang sehari sebelum moving in ke asrama President University.
“Ingat banget malam itu, keluar tol dan melihat suasana Jababeka yang cantik. Saya sengaja lewat depan kampus dulu,” kenangnya sambil tersenyum.
Spanduk besar bertuliskan ‘Welcome Home’ di gerbang kampus langsung membuatnya emosional.
“Rasanya senang karena akhirnya bisa merantau, tapi sedih juga karena harus jauh dari orang tua.”
Sebagai anak rantau pertama kali, langkah ini menjadi babak baru dalam hidupnya. Namun, harapan dan semangat belajar di kota orang menepis kekhawatiran yang sempat muncul.
Setelah melewati hari pertama, adaptasi pun dimulai. Salah satu tantangan kecil adalah menyesuaikan gaya bahasa.
“Biasanya di Medan pakai aku-kau, sekarang harus pakai aku-kamu atau lu-gua,” ucapnya sambil tertawa.
Begitu pula dengan makanan, yang menurutnya lebih hambar dibandingkan masakan khas Sumatera yang kaya rempah dan pedas.
Adaptasi
Meski jauh dari keluarga, Namira tidak merasa sendirian. Roommate-nya yang juga berasal dari Pulau Sumatera membantu proses adaptasi menjadi lebih mudah.
“Kami punya logat dan bahasa yang mirip, jadi komunikasinya lancar,” jelasnya.
Tak hanya itu, lidahnya pun sempat ‘protes’ dengan makanan di Cikarang.
“Kalau di Medan, makanan selalu kaya bumbu dan sambal pedas. Di sini rasanya hambar. Butuh waktu lama buat terbiasa,” ujar Namira.
Untungnya, ia tinggal di kontrakan bersama teman-teman asal Sumatera yang sering masak masakan khas kampung halaman. Hal itu sedikit banyak mengurangi rasa rindu terhadap rumah.
“Saya beruntung punya teman-teman kontrakan yang sebagian besar juga dari Sumatera,” katanya. Logat Medan yang kental membuat obrolan antar mereka serasa berada di rumah sendiri.
Baca Juga: Culture Shock Anak Kota yang Merantau
“Kalau kumpul bareng, logat Medan keluar semua. Tapi di luar, kami belajar menyesuaikan agar lebih serasi dengan lingkungan.”
Adaptasi tak berhenti di situ. Namira juga belajar tentang perbedaan budaya yang mencolok, terutama soal keamanan dan kenyamanan di tempat baru.
“Di sini aman banget. Nggak ada catcalling kalau jalan sendiri, beda jauh dengan Medan. Di sana, pulang malam sedikit saja bisa bikin was-was,” tambahnya.
Pelajaran Hidup
Kebiasaan baru seperti mengatur keuangan sendiri, menyelesaikan pekerjaan rumah, hingga berani bepergian seorang diri membuatnya lebih mandiri.
“Kalau bukan saya, lalu siapa?” ujarnya penuh keyakinan.
Ia mengaku merantau membuatnya lebih mandiri.
“Dulu apa-apa dimudahkan orang tua. Sekarang semua harus dikerjakan sendiri—masak, beres-beres, sampai ngatur uang jajan,” tuturnya.
Selain itu, Namira juga belajar untuk keluar dari zona nyaman.
“Tantangan itu pasti ada, tapi saya percaya harus keluar zona nyaman dan terus mencoba sampai terbiasa,” jelasnya.
Rasa rindu rumah pun ia atasi dengan berkomunikasi secara rutin melalui video call dan chat.
“Rindu itu datang tiba-tiba, terutama saat hati lagi mellow,” katanya sambil tertawa lepas.
Baca Juga: Kuliah Gak Merantau? Gak Keren!
Rumah Kedua
Menjalani hidup di perantauan bukan hanya soal menyesuaikan diri, tapi juga soal tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Namira merasa ada banyak perubahan dalam dirinya sejak merantau.
“Saya lebih mandiri, lebih berani, dan belajar untuk nggak jadi people pleaser lagi. Saya juga jadi lebih terbuka dalam mengekspresikan diri,” ungkapnya tegas.
Lingkungan yang nyaman, pertemanan yang suportif, serta proses adaptasi yang tak selalu mulus membuat Namira belajar banyak hal.
“Saya sadar, perjalanan ini adalah bekal untuk masa depan. Kalau suatu saat saya harus kuliah atau kerja lebih jauh lagi, saya sudah punya pengalaman dan mental yang lebih siap,” katanya penuh optimisme.
Bagi Namira, Cikarang kini lebih dari sekadar kota rantau. Tempat ini mengajarkannya arti kemandirian, keberanian, dan penghargaan terhadap perbedaan.
“Merantau itu bukan cuma soal jauh dari rumah, tapi bagaimana kita menemukan versi terbaik dari diri kita di kota orang,” tuturnya.
Di balik logat Medan yang keras dan suara nyaring khasnya, ada semangat dan keyakinan kuat dari seorang anak rantau. Dengan langkah kecil namun pasti, Namira membuktikan bahwa culture shock bukanlah hambatan, melainkan sebuah perjalanan menuju kedewasaan.
Penulis: Kirana Azalia Paramitha Devi
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas President
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News