Nikah Sah Tanpa Dicatat: Antara Fiqh Klasik dan KHI

Nikah Sah Tanpa Dicatat: Antara Fiqh Klasik dan KHI
Ilustrasi Pernikahan (Sumber: freepik.com)

Walaupun diakui dan sah dalam agama, namun di kemudian hari pernikahan tanpa adanya pencatatan akan menimbulkan masalah hukum.

Dalam Islam, pernikahan telah dinyatakan sah jika memenuhi rukun dan syarat yaitu calon suami dan istri, wali, dua orang saksi laki-laki dan ijab qabul.

Maka sebagian masyarakat muslim memahami bahwa sahnya suatu pernikahan hanya sebatas rukun dan syarat sehingga tidak sedikit yang mempraktekkan nikah siri.

Memang pada dasarnya hukum Islam tidak mengatur tentang wajibnya pencatatan pernikahan.

Bacaan Lainnya

Dalam tradisi hukum Islam klasik, keabsahan pernikahan tidak disyaratkan pada adanya dokumen resmi atau pencatatan oleh otoritas tertentu.

Mayoritas mazhab seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali tidak menyebutkan pencatatan sebagai bagian dari rukun atau syarat sahnya pernikahan.

Mereka hanya menekankan pentingnya kehadiran wali, ijab-qabul, dan dua orang saksi yang adil.

Namun dalam sistem hukum Indonesia, pernikahan dianggap sah apabila memenuhi dua unsur yaitu sah secara agama dan tercatat secara administratif oleh negara.

Kewajiban pencatatan nikah tertera dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) BAB II Pasal 5 yang berbunyi: “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.”

Hal ini berdasarkan pertimbangan kemaslahatan di berbagai Negara-negara yang penduduknya beragama muslim khususnya di Indonesia.

Tujuan diwajibkannya pencatatan nikah di Indonesia agar hak dan statusnya jelas dalam keluarga.

Jika suatu saat terjadi perselisihan dalam rumah tangga dan tidak bertanggung jawab antara suami istri maka bisa dilakukan upaya hukum dengan membawa akta yang bersangkutan.

Banyak pasangan memilih menikah secara agama saja tanpa mencatatkannya ke negara, dengan alasan ingin cepat, menghindari biaya, atau karena faktor sosial seperti perbedaan status dan usia.

Padahal, keputusan ini menyimpan banyak risiko, terutama bagi perempuan dan anak.

Di Indonesia, praktik pernikahan yang tidak melalui pencatatan resmi oleh negara atau tidak didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA) sering dikenal dengan sebutan “nikah bawah tangan” atau yang lebih dikenal secara syar’i sebagai nikah sirri.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat awam, tetapi juga melibatkan sejumlah tokoh publik, termasuk pejabat dan artis, yang kadang mempopulerkan istilah “istri simpanan” sebagai bentuk pembenaran sosial terhadap praktik tersebut.

Tidak bisa dimungkiri bahwa pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau tanpa pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki potensi besar menimbulkan berbagai persoalan.

Baik masalah yang timbul di dalam rumah tangga itu sendiri, maupun masalah yang meluas ke ranah hukum dan hubungan sosial di masyarakat.

Misalnya istri yang tidak terdaftar pernikahannya secara hukum akan sulit menuntut hak nafkah, hak waris dan anak yang lahir dari pernikahannya akan mendapat hambatan dalam mengurus akta kelahirannya.

Dalam kajian maqashid syari’ah, pencatatan nikah dikaitkan dengan hifz nasl (menjaga keturunan), menjaga kehormatan dan menolak kemudaratan.

Maka dalam hal ini, pencatatan nikah sama sekali tidak bertentangan dengan syari’at, justru dengan adanya aturan seperti ini hak suami, istri dan anak-anak terlindungi serta dapat mencegah praktik nikah yang tidak bertanggung jawab.

Dengan adanya pencatatan pernikahan, pasangan dalam rumah tangga tidak hanya melindungi hak dirinya, tapi juga melindungi sampai anak cucunya

Memang sebagian kalangan mengkhawatirkan bahwa aturan semacam ini merupakan westernisasi dalam beragama.

Namun, jika dilihat dari sudut pandang maslahah yang ditimbulkan, kewajiban pencatatan pernikahan justru memperkokoh nilai-nilai keadilan dan menimbulkan kesadaran penuh terhadap tanggung jawab.

Sehingga ulama kontemporer berpendapat bahwa aturan negara yang tidak bertentangan dengan syari’at, pantas untuk dijadikan kebijakan hukum Islam dan wajib untuk ditaati.

Jika dibandingkan, perbedaan antara fikih klasik dan KHI tidak bertentangan secara langsung.

Fikih klasik tidak melarang pencatatan, hanya saja belum menjadikannya keharusan karena dulu belum ada sistem negara modern.

Sementara itu, KHI menjadikannya wajib karena mempertimbangkan kemaslahatan dan perlindungan hukum.

Dalam ilmu ushul fiqh, ada istilah maslahah mursalah, yaitu kebijakan yang dibuat demi kepentingan umum yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis.

Pencatatan pernikahan bisa dikategorikan sebagai bentuk maslahah mursalah, karena bertujuan melindungi keluarga dan mempermudah urusan hukum.

Dalam pandangan ini, negara tidak sedang menambah syarat baru dalam agama, tetapi menjalankan fungsi perlindungan masyarakat agar hak-hak keluarga bisa dijamin secara sah dan jelas.

Pernikahan tanpa pencatatan seringkali membuat kedudukan hukum istri menjadi lemah, status anak menjadi tidak jelas di mata hukum, serta menyulitkan dalam pembagian hak waris maupun perlindungan hukum lainnya.

Hal ini bertentangan dengan salah satu tujuan utama pernikahan dalam Islam, yaitu untuk menciptakan kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, yang tentunya membutuhkan kepastian hukum dan perlindungan negara.

Dengan demikian, pencatatan pernikahan bukan hanya memenuhi aspek administratif negara, tetapi juga merupakan implementasi dari nilai-nilai syariah yang bertujuan untuk melindungi dan menjamin hak-hak individu dalam masyarakat.

 

Nikah Sah Tanpa Dicatat: Antara Fiqh Klasik dan KHI

Penulis: Irwan Syah
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Hukum Islam, Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses