Masyarakat di Indonesia banyak mengalami kesulitan terkait dengan hak milik harta mereka. Kasus-kasus yang terjadi adalah terkait dengan sertifikat dan perjanjian-perjanjian antara kedua belah pihak yang tidak jarang berujung pada tindak pidana.
Bahkan notaris ikut terlibat di dalam kasus tersebut. Para notaris juga menjadi pelaku kriminalisasi, kasus mafia tanah, akibat ketidaktelitian dalam menjalankan tugas sebagai notaris.
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah menerima berbagai macam laporan dari masyarakat sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran notaris (Andi Saputra, 2022). Lebih parah lagi adalah notaris yang sudah meninggal dunia dapat membuat akta.
Hal ini tentu sangat mengherankan di era saat ini. Apapun dihalalkan oleh semua orang untuk dapat memiliki apa yang sebenarnya bukan hak miliknya.
Lalu bagaimana dengan kejujuran masyarakat terhadap notaris ketika memohon untuk dibuatkan akta atau hanya sekadar konsultasi? De facto, ternyata sebagian masyarakat dalam kasus-kasus tertentu, datang dengan membopong kebohongan-kebohongan demi kepentingan diri (Edward Warma Raya SH, 2023).
Mereka tidak mengatakan kepada notaris apa adanya terkait dengan tujuan untuk membuat surat perjanjian atau akta. Artinya, klien juga bisa menyeret notaris ke persidangan apabila dokumen yang dimiliki tidak valid.
Para notaris memang tidak menyelesaikan 100% masalah masyarakat untuk mempertahankan hak milik mereka dalam persidangan. Tetapi, pertanyaannya, apakah hal tersebut menjadi kasus atau tidak? Notaris belum tentu tahu. Nah, dalam hal ini notaris perlu menyelidiki hal-hal yang memungkinkan terjadi ketika dokumen atau akta dibuat (Edward Warma Raya SH, 2023).
Mirisnya, ada berbagai upaya yang mungkin dilakukan masyarakat untuk mendapatkan haknya. Semakin mudah dicapai ketika mereka juga punya otoritas. Tetapi sulit bagi mereka yang memperjuangkan keadilan bagi semua orang. Mungkin kita masih sering mendengar bahwa hukum di Indonesia tajam ke bawah tumpul ke atas. Artinya, hukum masih tumpang tindih.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang merupakan negara hukum yang berorientasi kepada kesejahteraan umum sebagaimana tertulis dalam UUD 1945, dan karena itu pula maka hak kepemilikan, pemanfaatan, maupun penggunaan tanah memperoleh jaminan perlindungan hukum dari pemerintah (Prasetyo Aryo Dewandaru,dkk 2020).
Para notaris adalah pejabat negara, cap atau stempel yang dipakai adalah lambang Negara Republik Indonesia. Para notaris diberi surat kerja pengangkatan untuk menjalankan tugas negara. Hakikatnya, tugas notaris adalah membuat dokumen untuk orang-orang yang membutuhkan dokumen atau akta.
Supaya ketika ada masalah seseorang mempunyai bukti tertulis untuk mempertahankan atau mendapatkan haknya dalam persidangan. Sehingga sengketa tidak berkepanjangan dan menimbulkan masalah, maka perlu dua orang saksi (Edward Warma Raya SH, 2023).
Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita, notaris memiliki payung hukum yakni UU Nomor 30 Tahun 2014 Ayat 1: Kewenangan notaris untuk mengesahkan dokumen dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dijelaskan juga bahwa dokumen merupakan informasi yang terdokumentasi dalam bentuk tertulis ataupun elektronik dikuasai oleh badan atau pejabat pemerintahan yang mempunyai keterhubungan dalam pelayanan publik. Terlepas dari semua hukum yang ada, tidak semua berjalan dengan baik.
Dari situasi ini, bukan hanya notaris yang mempunyai peran penting dalam kasus-kasus tertentu sehingga berujung di pengadilan hukum. Maka, terlepas dari semua ini notaris dan masyarakat perlu saling bekerja sama dalam menjalankan perannya masing-masing. Sehingga kedua belah pihak mendapatkan kepastian hukum, baik antara masyarakat dan juga notaris.
Kita juga tentu mengetahui bahwa di Indonesia ada azas hukum yang berlaku. Makna asas “Equality Before the Law”, artinya segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1).
Asas ini menjadi penting untuk ditegakkan sekalipun dalam konteks tertentu ada hukum-hukum khusus yang berlaku di tempat tertentu. Salah satu hukum yang tidak berlaku dalam hal kepemilikan adalah Yogyakarta. Sejak kemerdekaan Yogyakarta mempunyai kewenangan penuh dalam mengatur kebijakan pertahanan di wilayahnya (Enjang Dwi Tuffahati).
Penulis:
Nora Dolisna Simanjuntak
Mahasiswa Program Sarjana Filsafat Keilahian, Universitas Sanata Dharma
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi