Penulis: Bartolomeus Heryan, SE.
Mahasiswa Jurusan Magister Ilmu Ekonomi, Universitas Tanjungpura Pontianak
Sambas, Kalimantan Barat – Bagi banyak warga desa di Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, melintasi batas negara bukanlah perkara luar biasa.
Setiap pagi, langkah kaki atau suara motor terdengar di jalan-jalan menuju Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk. Tujuannya satu: mencari nafkah di Sarawak, Malaysia.
Berdasarkan penelitian terbaru dari Mahasiswa Angkatan 33 Magister Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, tujuan utama masyarakat perbatasan melintasi PLBN Aruk adalah untuk bekerja, bukan untuk berwisata atau menetap.
Motif ekonomi mendominasi, terutama karena tingginya disparitas upah antara wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia.
“Kalau kerja di Malaysia, bisa dapat upah harian dua sampai tiga kali lipat dibanding kerja di kampung sendiri,” ujar Antonius, mantan pekerja lintas batas, dalam wawancara penelitian.
Pekerjaan Fisik Mendominasi
Jenis pekerjaan yang digeluti masyarakat perbatasan umumnya berada di sektor padat karya. Penelitian mencatat bahwa hampir seluruh responden bekerja sebagai buruh perkebunan, terutama di kebun kelapa sawit dan karet serta di sektor konstruksi seperti tukang bangunan.
“Kami kerja di ladang, panen sawit atau tebang pohon. Kadang ikut proyek bangunan kalau ada,” kata Susanto, seorang warga yang rutin melintasi PLBN Aruk.
Pekerjaan di sektor jasa atau perdagangan tidak dipilih oleh responden. Artinya, pasar tenaga kerja lintas batas masih didominasi oleh pekerjaan kasar yang membutuhkan tenaga fisik, bukan keterampilan formal.
Pekerjaan ini bersifat harian, tidak tetap, dan tidak disertai kontrak atau perlindungan hukum.
Baca juga: Analisis Kesesuaian Hak-Hak KPPS yang Disabilitas dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja
Status Pekerjaan: Buruh Lepas, Bukan Pegawai Tetap
Mayoritas pekerja melaporkan bahwa mereka berstatus pekerja harian lepas, tanpa ikatan kerja formal. Hal ini membuat pendapatan tidak menentu dan jauh dari jaminan sosial.
Mereka tidak tercatat sebagai pekerja resmi dan tidak memiliki izin kerja yang sah, melainkan hanya menggunakan pas lintas batas.
“Kami masuk pakai border pass saja. Tidak ada surat kerja. Jadi kalau ada masalah, ya diam saja,” ujar salah satu responden.
Pekerja ini umumnya menyeberang ke Sarawak dari pagi hingga sore, dan kembali ke Indonesia pada hari yang sama atau menginap beberapa hari jika diperlukan.
Mengapa Tetap Bertahan?
Meski tanpa perlindungan kerja, masyarakat tetap memilih pekerjaan ini karena kurangnya alternatif di daerah asal.
Lapangan kerja di Sambas sangat terbatas, terutama untuk lulusan sekolah dasar atau menengah pertama. Dengan kondisi itu, pekerjaan di Malaysia meskipun informal tetap menjadi pilihan utama.
Penelitian menyimpulkan bahwa bagi masyarakat perbatasan, bekerja di Malaysia adalah strategi bertahan hidup, bukan pilihan karier jangka panjang.
Baca juga: Program Desa Migran Produktif (Desmigratif): Upaya Penanganan Pekerja Migran Non-Prosedural
Harapan sederhana mereka adalah membawa pulang penghasilan cukup untuk keluarga, meskipun harus menempuh risiko hukum dan sosial.
Penulis: Bartolomeus Heryan, SE.
Mahasiswa Jurusan Magister Ilmu Ekonomi Universitas, Universitas Tanjungpura Pontianak
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News