Rencana pemekaran wilayah di Jawa Barat kembali menuai perhatian.
Sejumlah legislator di DPRD Jawa Barat mengungkap adanya usulan pembentukan lima provinsi baru, seperti Bogor Raya, Sukabumi Utara, Priangan Timur, hingga Cirebon Raya.
Dalihnya cukup sederhana: wilayah Jawa Barat terlalu luas dan terlalu padat untuk dikelola oleh satu provinsi saja.
Namun perlu ditelusuri lagi, apakah keinginan tersebut sudah sejalan dengan prinsip dan prosedur dalam Hukum Tata Negara? Jangan sampai pemekaran hanya menjadi alat politik sesaat yang bukan jawaban konstitusional atas ketimpangan pembangunan daerah.
Secara normatif, pemekaran wilayah diatur dalam Pasal 18 UUD 1945, yang menegaskan bahwa daerah memiliki hak otonomi.
Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terutama Pasal 33–37 yang mengatur syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan untuk membentuk daerah baru.
Baca juga: Menulis Ulang Sejarah, Mengabaikan Konstitusi: Ancaman terhadap Hak Publik
Sayangnya, beberapa rencana pemekaran di Jawa Barat belum ditopang oleh kajian hukum yang utuh.
Beberapa proposal hanya bermodal dukungan DPRD dan elite lokal, tanpa melalui evaluasi menyeluruh dari pemerintah pusat.
Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, juga menekankan bahwa usulan pemekaran memerlukan kajian matang serta koordinasi dengan beberapa kementerian.
Sejak tahun 2014, pemerintah telah memberlakukan penundaan pemekaran wilayah.
Salah satu alasannya adalah kegagalan sebagian besar Daerah Otonomi Baru (DOB) untuk mandiri secara fiskal.
Pengertian fiskal sendiri adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran negara yang bersumber dari pajak.
Berdasarkan data dari Kemendagri, banyak DOB yang justru menjadi beban anggaran dan tidak mampu meningkatkan pelayanan publik secara signifikan.
Ironisnya, hingga kini tidak ada kepastian hukum apakah kebijakan penundaan itu akan dicabut atau diperpanjang.
Kekosongan kebijakan inilah yang menimbulkan kebingungan di tingkat daerah: apakah aspirasi bisa dilanjutkan, atau harus ditunda hingga adanya perubahan regulasi?
Baca juga: Perbandingan Hukum Tata Negara dalam Konteks LGBT dan Hak Asasi Manusia di Indonesia dan Thailand
Dari kacamata Hukum Tata Negara, pemekaran tidak bisa dianggap sebagai urusan teknis semata.
Ia merupakan bagian dari penataan sistem ketatanegaraan, yang mencakup relasi kekuasaan pusat-daerah, efektivitas pemerintahan, hingga prinsip keadilan fiskal.
Tanpa evaluasi menyeluruh, pemekaran bisa menimbulkan tumpang tindih kewenangan, memperluas birokrasi yang tidak efisien, dan bahkan melemahkan otoritas pusat.
Ini jelas bertentangan dengan semangat negara kesatuan sebagaimana diatur dalam UUD 1945, bukan sistem federal yang memberi keleluasaan penuh kepada daerah.
Pemekaran wilayah tidak harus sepenuhnya ditolak.
Dalam beberapa kasus, pemekaran memang mampu mendorong pemerataan pembangunan dan memperpendek rantai pelayanan publik.
Namun, penilaian terhadap aspirasi pemekaran harus berbasis hukum, bukan hanya politik atau tekanan massa.
Hukum Tata Negara mengajarkan bahwa setiap tindakan negara harus mengacu pada prinsip legalitas, efektivitas, dan akuntabilitas. Maka sebelum bicara pemekaran, patut dipertanyakan terlebih dahulu:
1. Apakah sudah ada kajian akademik dan yuridis yang mendalam?
2. Apakah syarat administratif dan fiskal telah dipenuhi?
3. Dan yang paling penting, apakah pemekaran itu benar-benar untuk rakyat, atau hanya untuk elite semata?
Menimbang ulang rencana pemekaran di Jawa Barat bukan berarti mematikan aspirasi masyarakat.
Baca juga: Mengapa Mereka Melompat? Tafsir Sosiologi Hukum Atas Maraknya Bunuh Diri Di Jembatan Teluk Kendari
Namun, sebagai negara hukum, kita wajib memastikan bahwa setiap langkah pembangunan, termasuk pemekaran harus patuh pada kerangka hukum yang konstitusional.
Jangan sampai pemekaran hanya menjadi solusi instan yang melahirkan masalah baru.
Sudah saatnya pemerintah, baik pusat maupun daerah, mengedepankan hukum sebagai pondasi pembangunan, bukan sebagai formalitas belaka.
Penulis: Syifa Qolbiyah Azzahra
Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dosen Pengampu: Syihaabul Hudaa, M.pd.
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News