Perkembangan teknologi digital saat ini membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan. Hal ini tentu membantu pendidik dalam menunjang kebutuhan proses belajar-mengajar di kelas.
Teknologi memberikan kemudahan kepada guru dalam menjelaskan materi yang ingin disampaikan agar lebih jelas dan dapat dipahami oleh siswa secara efektif dan efisien. Metode yang digunakan dalam pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan belajar siswa dan fasilitas yang ada di sekolah.
Hal ini tentu akan berkaitan dengan model pembelajaran seperti apa yang perlu digunakan agar proses belajar-mengajar dapat dilakukan secara efektif.
Model pembelajaran merupakan sebuah rancangan yang di desain untuk memudahkan proses belajar-mengajar menggunakan langkah-langkah yang sistematis, terdiri dari bahan ajar yang dibutuhkan guru dalam menjelaskan materi agar dapat dipahami dengan baik oleh siswa (Jamal, 2020).
Model pembelajaran menjadi panduan ataupun sebagai pola yang digunakan oleh pendidik dalam menjelaskan pembelajaran yang akan diberikan kepada siswa di kelas. Sehingga proses-belajar mengajar di kelas dapat berlangsung secara efektif dan efisien, maka diperlukan model pembelajaran yang tentunya harus disesuaikan dengan tipe belajar siswa (student learning type) di kelas.
Ada beberapa jenis model pembelajaran yang dapat diimplementasikan, seperti inquiry, discovery, problem based learning, project based learning dan kooperatif learning.
Seiring berkembangnya teknologi, sekolah-sekolah mulai mencoba model pembelajaran menggunakan pendekatan yang lebih fleksibel, salah satunya adalah blended learning. Model ini menggabungkan pembelajaran langsung di kelas dengan pembelajaran secara online.
Blended learning memberikan keleluasaan bagi siswa untuk belajar sesuai dengan gaya dan kecepatan mereka, sambil tetap memungkinkan guru untuk menyampaikan materi secara kreatif dan interaktif. Meskipun terlihat praktis, keberhasilan metode ini sangat bergantung pada sarana dan fasilitas yang tersedia di sekolah.
Fasilitas yang mendukung seperti akses internet yang lancar, perangkat elektronik, serta ruang belajar yang memadai, memiliki peran besar dalam mendukung pelaksanaan blended learning. Tanpa fasilitas yang memadai, proses belajar gabungan ini akan sulit berjalan optimal.
Di Sekolah Keberbakatan Olahraga di Sumatera Barat, tantangan dalam penerapan blended learning menjadi lebih kompleks karena siswa juga harus menyeimbangkan antara kegiatan akademik dan aktivitas olahraga. Sehingga penting untuk mengetahui sejauh mana peran kualitas fasilitas pembelajaran terhadap keberhasilan implementasi blended learning di sekolah.
Sekolah Keberbakatan Olahraga di Sumatera Barat merupakan salah satu sekolah atlet yang ada di Kota Padang. Sekolah ini menarik untuk kami lakukan observasi karena ingin mengetahui bagaimana penerapan model pembelajaran yang digunakan dengan tipe belajar siswa yang rata-rata adalah siswa kinestetik.
Kami melakukan observasi pada tanggal 19 dan 24 April 2025 dengan mengamati bagaimana fasilitas sarana dan prasarana yang ada disana. Dari hasil wawancara yang kami lakukan bersama Ibu Onna salah satu guru pengampu mata pelajaran sosiologi, menjelaskan bahwa:
“...model pembelajaran yang digunakan di sekolah keberangkatan olahraga. Model Blended Learning yang diterapkan oleh sekolah ini yaitu model pembelajaran yang digabungkan dengan media digital maupun kegiatan pembelajaran mandiri yang dilakukan oleh siswa baik itu di kelas maupun di luar kelas. Model pembelajaran ini digunakan karena menyesuaikan dengan tipe kinestetik dari siswa yang ada di Sekolah Keberbakatan Olahraga di Sumatera Barat, model yang kita gunakan bisa problem based learning, kooperatif, discovery, serta project based learning, sesuai dengan topik dan materi yang akan disampaikan oleh guru di kelas…”
Pengamatan yang kami lakukan di sekolah keberbakatan olahraga di Sumatera Barat ini, melihat bagaimana model yang digunakan dalam proses pembelajaran. Sebagian besar siswa memiliki gaya belajar kinestetik, dengan ini guru dapat menyesuaikan model pembelajaran yang cocok untuk mereka dalam mengatur kegiatan belajar di dalam kelas maupun di terapkan di lapangan.
Kegiatan yang dirancang memperhitungkan kebutuhan siswa dengan latar belakang siswa-siswi kinestetik, beberapa rancangan yang diterapkan oleh pihak sekolah berfokus pada pengembangan keterampilan siswa, tidak hanya seputar aspek olahraga namun juga kreatifitas dalam pengembangan materi yang telah dipelajari.
Namun pada dasarnya pengimplementasian masih belum komprehensif dikarenakan kurangnya fasilitas pendukung terutama fasilitas yang berada di dalam kelas, seperti infokus dan penyediaan layanan WiFi. Sehingga membuat proses pembelajaran terkadang tidak terlaksana secara efektif.
Pendekatan yang dilakukan menggunakan aplikasi internet untuk pembelajaran online, guru di sekolah ini cukup kreatif dalam cara mereka mengajar siswa di kelas. Para guru tidak hanya menggunakan metode ceramah dalam proses pembelajaran di kelas tetapi juga menggunakan berbagai pendekatan lain seperti pembelajaran berbasis masalah atau Problem Based Learning (PBL).
Dalam Proses pembelajaran siswa diajak untuk mencari problem solving kasus-kasus atau project-based learning yang sedang populer saat ini. Dalam banyak kasus, model kolaboratif juga digunakan untuk memicu diskusi positif di antara siswa.
Namun, jika perlu beralih ke mode online, interaksi ini sering dibatasi oleh faktor teknis sebelumnya. Sebagaimana yang disampaikan Ibu Onna mengakui bahwa sistem pembelajaran campuran (blended learning) diimplementasikan, tetapi efektivitasnya suboptimal karena tidak didukung oleh infrastruktur yang tepat.
Persoalan utama yang terlihat jelas adalah ketimpangan antara konsep ideal blended learning dengan realitas di lapangan.
Di satu sisi, model ini seharusnya memberikan fleksibilitas waktu belajar yang sangat dibutuhkan atlet dengan jadwal latihan padat. Tapi disisi lain, minimnya fasilitas pendukung justru membuat proses belajar jadi lebih rumit.
Contoh nyatanya adalah ketika siswa harus memilih antara mengikuti sesi online yang tidak efektif atau melewatkannya sama sekali karena sedang ada pertandingan. Hal ini menimbulkan kesenjangan pemahaman materi antara yang bisa mengikuti dengan baik dan yang tertinggal.
Menariknya, meski menghadapi berbagai keterbatasan, semangat belajar para atlet muda ini tetap tinggi. Mereka menunjukkan adaptasi yang cukup baik dengan memanfaatkan sesi tatap muka secara intensif untuk mengejar ketertinggalan materi.
Beberapa bahkan membentuk kelompok belajar mandiri untuk saling membantu mengatasi kesulitan akses teknologi. Ini membuktikan bahwa motivasi belajar sebenarnya nyata, tapi perlu difasilitasi dengan sarana yang lebih memadai.
Dari segi pengajaran, para pendidik telah berusaha keras menyesuaikan materi dengan karakter khusus siswa atlet. Merancang konten yang lebih visual dan interaktif, serta mengurangi metode ceramah satu arah yang kurang efektif untuk tipe kinestetik.
Sayangnya, upaya baik ini sering mentok ketika berhadapan dengan kendala teknis. Misalnya, video pembelajaran yang sudah dipersiapkan tidak bisa diakses lancar karena jaringan buruk, atau tugas online yang sulit dikumpulkan tepat waktu karena masalah perangkat.
Masalah klasik pendidikan di banyak daerah memang menjadi hal yang tidak lagi tabu bagi sebagian wilayah, padahal hal demikian berpengaruh pada jalannya proses pembelajaran serta kenyamanan siswa dalam menempuh ilmu. Blended learning sejatinya bisa menjadi solusi sempurna untuk sekolah atlet seperti ini, asalkan didukung dengan jaringan internet stabil, ketersediaan perangkat memadai bagi semua siswa, dan ruang belajar yang nyaman untuk sesi tatap muka. Tanpa itu semua, yang terjadi justru pembelajaran setengah matang dimana siswa tidak mendapatkan manfaat optimal baik dari sisi online maupun offline.
Solusi yang mungkin bisa diterapkan pertama, sekolah perlu bekerja sama dengan provider internet untuk meningkatkan kualitas koneksi. Kedua, pelatihan guru untuk membuat materi daring yang lebih ringan namun efektif, sehingga minimnya fasilitas tidak menjadi penghalang dalam proses pembelajaran.
Yang tak kalah penting adalah penyesuaian jadwal yang lebih realistis. Mengingat para siswa ini juga atlet profesional muda, jadwal pembelajaran perlu dirancang dengan mempertimbangkan waktu pertandingan dan pemulihan fisik.
Dari hasil observasi, dapat kita pahami bahwa kesuksesan blended learning tidak hanya tentang menggabungkan teknologi dengan tatap muka biasa. Lebih dari itu, perlu keselarasan antara kebutuhan khusus siswa, ketersediaan sarana, dan kesiapan semua pihak terkait.
Ketika salah satu faktor ini tidak terpenuhi, hasilnya tidak akan optimal. Sekolah Keberbakatan Olahraga Sumatera Barat sebenarnya punya potensi besar menjadi percontohan blended learning untuk sekolah atlet, asalkan bisa mengatasi kendala infrastruktur yang ada saat ini.
Kunci keberhasilannya terletak pada komitmen bersama antara sekolah, pemerintah daerah, orang tua, dan tentu saja siswa sendiri. Dengan dukungan penuh dari semua pihak, model pembelajaran campuran ini benar-benar bisa menjadi jawaban untuk mendidik generasi atlet yang tidak hanya unggul di lapangan tapi juga cerdas secara akademis.
Tantangannya memang tidak kecil, tapi bukan berarti tidak bisa diatasi.Karena yang dibutuhkan sekarang adalah langkah konkret untuk memperbaiki kualitas fasilitas sehingga blended learning bisa berjalan sebagaimana mestinya lebih efektif, fleksibel, dan menyenangkan bagi semua.
Penulis:
- Muhammad Alfian
- Cindy Putri Clarissa
- Raihani Sava Alzena
- Melia Susanti
- Stefani Karin Syafitri
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Padang
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News