Penguatan Kerangka Hukum sebagai Upaya Pencegahan Perilaku Seks Bebas pada Remaja

Hukum Pencegahan Perilaku Seks Bebas pada Remaja
(Sumber: Ilustrasi dari Penulis)

Remaja sebagai generasi  penerus bangsa menghadapi tantangan kompleks di era globalisasi dan digitalisasi. Salah satu permasalahan yang cukup meresahkan adalah peningkatan kasus perilaku seks bebas di kalangan remaja Indonesia.

Data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan tren kenaikan aktivitas seksual pranikah pada remaja usia 15-24 tahun dalam dekade terakhir. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada kesehatan reproduksi remaja, tetapi juga berimplikasi pada masa depan mereka secara sosial, ekonomi, dan psikologis.

Berbagai pendekatan telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini, mulai dari pendidikan seksual di sekolah, program keagamaan, hingga kampanye kesehatan reproduksi. Namun, aspek hukum sebagai instrumen pencegahan seringkali kurang mendapat perhatian yang memadai. Padahal, kerangka hukum yang kuat dapat menjadi landasan sekaligus payung bagi upaya preventif maupun rehabilitatif terhadap perilaku seks bebas remaja.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji eksistensi peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pencegahan perilaku seks bebas di kalangan remaja, mengidentifikasi celah hukum yang ada, serta merumuskan strategi penguatan kerangka hukum yang efektif namun tetap memperhatikan kepentingan terbaik bagi remaja.

Bacaan Lainnya

 

Tinjauan Kerangka Hukum yang Berlaku

1. Undang-Undang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi landasan utama dalam upaya melindungi anak dari berbagai tindakan yang dapat merugikan perkembangan fisik, mental, spiritual, dan sosial mereka. Pasal 15 secara eksplisit menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual.

Meski demikian, implementasi undang-undang ini masih menghadapi tantangan, terutama dalam hal pencegahan. Fokus perlindungan lebih ditekankan pada aspek penindakan setelah terjadinya kejahatan seksual, sementara instrumen hukum untuk mencegah perilaku seks bebas yang dilakukan oleh remaja sendiri (bukan sebagai korban) relatif terbatas.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP mengatur beberapa pasal terkait perbuatan asusila, seperti Pasal 281-283 tentang pelanggaran kesusilaan, Pasal 284 tentang perzinaan, dan Pasal 285-288 tentang persetubuhan dengan ancaman kekerasan. Namun, ketentuan KUHP yang bersifat umum ini memiliki keterbatasan dalam mengakomodasi konteks perilaku seks bebas di kalangan remaja.

Karakteristik perzinaan sebagai delik aduan dalam Pasal 284 KUHP juga menjadi kendala dalam konteks pencegahan, karena hanya dapat diproses jika ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan, yaitu suami atau istri dari pelaku perzinaan. Hal ini tentu tidak relevan untuk kasus remaja yang belum menikah.

3. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memiliki ketentuan mengenai larangan penyebaran konten yang melanggar kesusilaan (Pasal 27 ayat 1). Ketentuan ini relevan dengan fenomena seks bebas di kalangan remaja yang seringkali difasilitasi oleh penyebaran konten pornografi melalui media elektronik.

Meskipun demikian, efektivitas UU ITE dalam mencegah perilaku seks bebas remaja masih terbatas pada aspek penyebaran konten, belum menyentuh akar permasalahan yang lebih komprehensif.

4. Undang-Undang Pornografi

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi secara tegas melarang produksi, penyebarluasan, dan penggunaan konten pornografi, yang dapat menjadi pemicu perilaku seks bebas di kalangan remaja. Namun, implementasi undang-undang ini menghadapi tantangan berat di era digital dengan begitu mudahnya akses terhadap konten pornografi melalui internet.

Baca juga: Isu Kasus Tindak Pidana Pelaku Pornografi Online yang Melanggar Kesusilaan

 

Celah dan Tantangan dalam Kerangka Hukum yang Ada

1. Ketidakjelasan Definisi dan Ruang Lingkup

Istilah “seks bebas” tidak memiliki definisi yang jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini menyebabkan ambiguitas dalam penerapan hukum terkait perilaku seksual remaja yang bersifat konsensual tetapi berisiko.

2. Keterbatasan Pendekatan Preventif

Kerangka hukum yang ada cenderung berfokus pada aspek penindakan (punitive) daripada pencegahan (preventive). Pendekatan hukum pidana konvensional seringkali tidak mempertimbangkan kekhususan remaja sebagai kelompok yang masih dalam masa perkembangan.

3. Koordinasi Antar Lembaga yang Lemah

Implementasi peraturan perundang-undangan yang ada terhambat oleh lemahnya koordinasi antar lembaga terkait, seperti kepolisian, KPAI, dinas pendidikan, dan dinas kesehatan. Hal ini menyebabkan pendekatan yang terfragmentasi dalam menangani isu seks bebas remaja.

4. Minimnya Perspektif Restorative Justice

Kerangka hukum yang berlaku belum sepenuhnya mengadopsi pendekatan restorative justice yang memperhatikan kepentingan terbaik bagi remaja. Pendekatan ini penting untuk memastikan bahwa penegakan hukum tidak justru merugikan masa depan remaja yang terlibat.

 

Strategi Penguatan Kerangka Hukum

1. Reformasi Peraturan Perundang-undangan

a. Harmonisasi Regulasi

Diperlukan harmonisasi berbagai peraturan yang berkaitan dengan perlindungan remaja dari perilaku seks bebas, baik pada tingkat undang-undang maupun peraturan daerah. Harmonisasi ini mencakup kejelasan definisi, sanksi, dan prosedur penanganan kasus yang melibatkan remaja.

b. Penyusunan Peraturan Khusus

Perlu dipertimbangkan penyusunan peraturan khusus tentang pencegahan dan penanganan perilaku seks bebas di kalangan remaja yang mengintegrasikan aspek perlindungan, pendidikan, dan rehabilitasi.

2. Penguatan Sistem Peradilan Ramah Anak

a. Pengembangan Protokol Khusus

Lembaga penegak hukum perlu mengembangkan protokol khusus dalam menangani kasus yang melibatkan remaja, dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan menghindari stigmatisasi.

b. Pelatihan bagi Aparat Penegak Hukum

Program pelatihan perlu diadakan bagi aparat penegak hukum tentang pendekatan yang tepat dalam menangani kasus perilaku seks bebas remaja, dengan memperhatikan aspek psikologis dan perkembangan remaja.

3. Integrasi Pendekatan Hukum dengan Pendidikan

a. Pendidikan Hukum di Sekolah

Kurikulum pendidikan di sekolah perlu diintegrasikan dengan materi tentang aspek hukum dari perilaku seks bebas, sehingga remaja memahami konsekuensi hukum dari tindakan mereka.

b. Program Literasi Hukum

Program literasi hukum perlu digalakkan untuk meningkatkan kesadaran remaja dan orangtua tentang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perilaku seksual dan perlindungan remaja.

4. Penguatan Peran Institusi Lokal

a. Peraturan Daerah Protektif

Pemerintah daerah perlu didorong untuk menyusun peraturan daerah yang secara spesifik mengatur pencegahan perilaku seks bebas remaja dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan nilai-nilai setempat.

b. Pelibatan Lembaga Adat dan Agama

Lembaga adat dan agama perlu dilibatkan dalam implementasi kerangka hukum, mengingat pengaruh nilai-nilai adat dan agama yang kuat dalam membentuk norma sosial di masyarakat Indonesia.

 

Implementasi Hukum yang Berperspektif Restorative Justice

1. Diversi untuk Kasus Remaja

Pendekatan diversi perlu diperluas tidak hanya untuk kasus pidana umum, tetapi juga untuk kasus yang berkaitan dengan perilaku seks bebas di kalangan remaja. Hal ini memungkinkan penyelesaian kasus di luar jalur peradilan formal, dengan tetap memberikan efek jera dan pembelajaran.

2. Program Rehabilitasi Berbasis Komunitas

Sebagai alternatif dari sanksi formal, program rehabilitasi berbasis komunitas dapat menjadi solusi yang lebih efektif dalam mengubah perilaku remaja yang terlibat dalam seks bebas. Program ini melibatkan konseling, pendidikan kesehatan reproduksi, dan pembangunan keterampilan hidup.

3. Konseling Keluarga Terintegrasi

Kerangka hukum perlu memberikan ruang bagi pelaksanaan konseling keluarga terintegrasi sebagai bagian dari proses penanganan kasus perilaku seks bebas remaja. Pendekatan ini mengakui peran sentral keluarga dalam membentuk dan mengubah perilaku remaja.

Baca juga: Pentingnya Konseling Resiko Kesehatan Reproduksi pada Remaja

 

Studi Kasus: Best Practices dari Negara Lain

1. Model Pendekatan Hukum di Belanda

Belanda dikenal dengan pendekatan pragmatisnya dalam menangani isu seksualitas remaja. Kerangka hukum di negara ini menekankan pada pendidikan seks komprehensif dan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, yang berhasil menurunkan angka kehamilan remaja dan IMS secara signifikan.

2. Program “Family Life Education” di Swedia

Swedia mengintegrasikan pendidikan keluarga dalam sistem peradilan anak, di mana remaja yang terlibat dalam perilaku seks berisiko diwajibkan mengikuti program “Family Life Education” bersama orangtua mereka. Program ini menggabungkan pendekatan hukum dengan edukasi dan penguatan keluarga.

 

Simpulan dan Rekomendasi

Penguatan kerangka hukum merupakan komponen penting dalam strategi komprehensif pencegahan perilaku seks bebas di kalangan remaja Indonesia. Namun, efektivitasnya bergantung pada beberapa faktor kunci:

1. Integrasi dengan Pendekatan Non-Hukum:

Kerangka hukum perlu diintegrasikan dengan pendidikan seksual komprehensif, layanan kesehatan ramah remaja, dan program penguatan keluarga.

2. Perspektif Perlindungan:

Reformasi hukum harus didasarkan pada perspektif perlindungan remaja, bukan semata-mata penghukuman.

3. Implementasi Berkeadilan:

Penegakan hukum perlu memperhatikan prinsip keadilan restoratif yang menekankan pada rehabilitasi dan reintegrasi remaja ke dalam masyarakat.

4. Partisipasi Aktif Stakeholders:

Keberhasilan implementasi kerangka hukum bergantung pada partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sekolah, keluarga, dan komunitas.

Sebagai rekomendasi konkret, perlu dibentuk gugus tugas multi-sektor yang melibatkan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, KPAI, dan lembaga masyarakat sipil untuk merumuskan strategi penguatan kerangka hukum yang komprehensif dalam mencegah perilaku seks bebas di kalangan remaja Indonesia.

Dengan pendekatan yang holistik dan berorientasi pada kepentingan terbaik remaja, kerangka hukum dapat menjadi instrumen efektif dalam melindungi generasi muda Indonesia dari dampak negatif perilaku seks bebas, sekaligus mempersiapkan mereka menjadi generasi yang sehat dan bertanggung jawab.

 

Penulis: Viyona Marsanda Purba
Mahasiswa Ilmu Hukum, Universitas Pamulang

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses