Serangga merupakan kelompok hewan dominan di bumi. Jumlah serangga melebihi dari jumlah hewan darat lainnya, selain itu, serangga dapat ditemukan di berbagai habitat (Boror and Delong, 2005).
Pemanfaatan serangga menjadi salah satu hal yang menguntungkan bagi manusia, seperti Biocontrol, obat-obatan, kesehatan hingga pemecahan kasus kematian pada hewan dan manusia. Penggunaan serangga dalam entomologi forensik pada umumnya digunakan dalam menentukan penyelidikan kematian, terutama dalam memperkirakan waktu kematian (Gomes and Clàudio, 2006).
Saat ini penerapan metode entomologi dalam dunia forensik utamanya digunakan sebagai penentuan lama waktu kematian (Anis, 2009).
Serangga pemakan bangkai atau disebut juga nekrofag, melakukan aktivitas pada mayat maupun bangkai seperti makan, bertelur atau terjadi siklus hidup pada tubuh membusuk. Serangga yang umumnya akan muncul setelah kematian adalah lalat, oleh sebab itu lalat sangat berpotensi dalam memberikan informasi akurat tentang waktu kematian atau Post Mortem Interval (PMI) (Amend et al., 2006).
Lalat pertama hadir pada tubuh membusuk adalah lalat betina dewasa. Lalat betina pertama kali menghinggapi tubuh tersebut setelah kematian. Lalat betina dewasa akan meletakkan telur pada luka terbuka dan lubang pada tubuh seperti, mulut, telinga, hidung dan lainnya.
Jenis-jenis lalat nekrofag yang sering dijumpai berasal dari Famili Calliphoridae, Sarcophagidae, Staphylinidae, Histeridae, Silphidae, Cleridae, Muscidae, Fanniidae, Piophilidae, Sepsidae, Phoridae, Spharoceridae, Heleomyzidae, Stratiomyidae. Jenis-jenis lalat tersebut hadir pada interval waktu tertentu.
Siklus Hidup Lalat dan Tahap Dekomposisi
Menurut Gennard (2012), tahap dekomposisi tubuh mempengaruhi interpretasi dari post-mortem interval (PMI) yang mengundang kehadiran artropoda termasuk serangga untuk hadir dan melakukan kolonisasi pada tubuh tersebut.
Pada tahap dekomposisi tubuh, terdapat tiga proses dekomposisi yang dapat dikenali yaitu autolysis, putrefikasi, dan skeletonisasi (diagenesis).
Pada proses autolysis, proses kerusakan alami sel-sel tubuh dicerna oleh enzim lipase, protease dan karbohidrat. Proses ini paling cepat terjadi pada organ otak dan hati. Pada proses pembusukan, terjadi pemecahan jaringan otot dan lemak yang dilakukan oleh bakteri anaerob seperti Clostridium dan Bacteroides.
1. Tahap segar (Fresh Stage)
Tahap segar merupakan tahap awal setelah kematian yang ditandai dengan adanya pembengkakkan pada tubuh (bloating). Tahap segar terjadi selama 1-2 hari. Kehadiran lalat pertama adalah lalat betina dari Famili Calliphoridae. Lalat betina akan makan dan melakukan oviposisi pada luka terbuka.
2. Tahap Pembengkakkan (Bloated Stage)
Tubuh mengalami dekomposisi yang dikarenakan aktivitas bakteri atau disebut putrefikasi, tahap ini terjadi selama 1-2 hari. Selain itu, tubuh akan mengeluarkan gas hasil aktivitas bakteri yang dapat mengundang spesies lalat lain. Telur lalat akan menetas menjadi larva Instar 1 dan mulai melakukan predasi pada tubuh yang membusuk. Jenis lalat yang hadir pada tahap ini umumnya adalah Famili Calliphoridae dan Famili Sarcophagidae.
3. Tahap Dekomposisi (Decay Stage)
Pada tahap ini, kulit akan terlepas dan mulai terkelupas dari tubuh. Pada tahap selanjutnya dari pembusukan, terjadi fermentasi amoniak pada tubuh yang mengundang jenis spesies lain sperti Famili, Muscidae, Calliphoridae, Sarcophagidae dan Staphilinidae. Proses siklus hidup lalat pada tahap ini biasanya sudah memasuki tahap Instar 2 dan Instar 3.
4. Tahap Pasca Dekomposisi (Post-Decay Stage)
Setelah tahap dekomposisi selesai, beberapa bagian tubuh seperti kulit, rambut dan tulang tersisa. Jaringan tubuh mengering dan larva akan masuk ke dalam tanah untuk persiapan tahap selanjutnya, yaitu fase pupa. Tahap pupa pada lalat terjadi selama 10 hari hingga lebih, tergantung dari spesies.
5. Tahap Skeletonisasi
Tahap ini merupakan tahap akhir dekomposisi dengan ditandai hanya tersisa rambut dan dan tulang. Lalat tidak melakukan asosiasi pada fase ini. Pada tahap ini, siklus hidup lalat mulai dari pupa hingga dewasa.
Penulis: Fitri Rahmadani
Mahasiswa Jurusan Ilmu Forensik Universitas Airlangga
DAFTAR PUSTAKA
Amendt, J., Carlo, P, C., Emmanuel, G., Christian, R., Héléne, N, L, and, Martin, J, R, H. 2006. Best Practice in Forensic Entomology – Standards and guidelines. Int J. Legal Med. 12 (1): 90 – 104.
Anis, N. 2009. Penerapan Entomologi Dalam Bidang Kedokteran Forensik. Jurnal Vektor Penyakit. 3 (2): 55 – 65.
Borror, D. J., Charles, A. T., and Norman, F. Johnson. 2005. Study of Insects: 7th Edition. USA: Thompson Brooks/Cole.
Byrd, J. H., and, Butler, J. F. 1998. Effects of temperature on Sarcophaga haemorrhoidalis (Diptera: Sarcophagidae) development. Journal of Medical Entomology. 35 (1): 694–698.
Gennard, D. 2012. Forensic Entomology: An Introduction, Second Edition. United State: Willey Blackwell.
Gomes, L., and, Clàudio, J, V, Z. 2006. Forensic Entomology and Main Challenges in Brazil. Neotropical Entomology. 35 (1): 1.
Rivers, D, B., and Gregory, A, D. 2014. The Science of Forensic Entomology. United State: Willey Blackwell.