Konstitusi bukan sekadar dokumen hukum, melainkan fondasi utama yang mengatur seluruh sistem ketatanegaraan. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, konstitusi berfungsi sebagai kompas arah jalannya kekuasaan.
Namun, dalam praktiknya, sering muncul penyimpangan, baik melalui undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 maupun konflik antar lembaga negara.
Untuk itulah dibentuk Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai penjaga konstitusi (guardian of the constitution). Mahkamah Konstitusi berdiri berdasarkan amandemen ketiga UUD 1945, dan diatur secara tegas dalam Pasal 24C ayat (1) yang menyebutkan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar…”
Wewenang MK dalam Menjaga Konstitusi
Dalam konstitusi dan UU Nomor 24 Tahun 2003 (tentang Mahkamah Konstitusi) yang telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2020, Mahkamah Konstitusi memiliki lima kewenangan:
- Menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 (judicial review);
- Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara;
- Memutus pembubaran partai politik;
- Memutus perselisihan hasil pemilu;
- Memberi putusan atas pendapat DPR terkait dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden/ Wakil Presiden.
Wewenang paling dikenal publik adalah uji materi undang-undang dan perselisihan hasil pemilu, karena berdampak langsung terhadap perlindungan hak konstitusional warga negara dan stabilitas politik nasional. Contoh Studi Kasus: Uji Materi Omnibus Law Cipta Kerja.
Salah satu kasus penting adalah putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 terkait Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law).
Mahkamah menyatakan bahwa pembentukan UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 secara formil, karena tidak memenuhi asas keterbukaan publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (melanggar Pasal 22A UUD 1945 dan UU No. 12 Tahun 2011).
Dalam putusan ini, Mahkamah tidak membatalkan undang-undang secara langsung, tetapi menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bersifat inkonstitusional bersyarat, dan memberi waktu dua tahun bagi pemerintah dan DPR untuk memperbaikinya.
Jika tidak diperbaiki, maka undang-undang tersebut menjadi batal permanen. Kasus ini memperlihatkan peran MK sebagai pengontrol agar proses legislasi berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi, sekaligus memberikan solusi yang bersifat konstitusional dan tidak menimbulkan kekosongan hukum.
Pendapat Para Ahli
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, Ketua MK pertama, Mahkamah Konstitusi adalah “lembaga negara yang paling penting dalam sistem checks and balances di era demokrasi konstitusional.”
Ia menjelaskan bahwa kekuasaan bisa saja menyimpang jika tidak ada pengawas yang independen, dan di sinilah MK berfungsi sebagai pengontrol agar kekuasaan tidak keluar jalur.
Saldi Isra, hakim konstitusi sekaligus akademisi hukum tata negara, menekankan bahwa MK tidak hanya menjaga teks konstitusi, tetapi juga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Artinya, MK tidak hanya memutus perkara secara teknis hukum, tetapi juga mempertimbangkan filosofi keadilan dan perlindungan hak konstitusional warga negara.
Baca Juga: Menilik Peran Musyawarah dalam Menganalisis Keputusan Mahkamah Konstitusi: Pentingkah?
MK dalam Sengketa Pemilu: Kasus Pilpres 2019
Mahkamah Konstitusi juga memainkan peran penting dalam menjaga legitimasi politik melalui penyelesaian sengketa hasil Pemilu, salah satunya dalam perkara PHPU Pilpres 2019 (Perkara No. 01/PHPU-PRES/XVII/2019).
Dalam kasus ini, Mahkamah menerima gugatan dari pasangan Prabowo-Sandiaga atas hasil pemilu yang menetapkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai pemenang.
Mahkamah membuka sidang secara terbuka dan transparan, memeriksa saksi dan alat bukti dari kedua belah pihak, dan akhirnya memutuskan menolak seluruh gugatan karena tidak terbukti adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Meskipun putusannya menimbulkan perbedaan pendapat di masyarakat, proses penyelesaian melalui jalur hukum ini mampu meredam konflik dan menjaga stabilitas politik. MK menunjukkan bahwa konstitusi adalah panglima tertinggi, bukan emosi politik.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Di tengah harapan besar terhadap Mahkamah Konstitusi, lembaga ini tidak luput dari tantangan. Kasus etik yang menjerat hakim MK seperti dalam perkara Anwar Usman pada 2023 menunjukkan bahwa integritas lembaga bisa dipertaruhkan jika etika tidak dijaga.
Hal ini memperkuat pentingnya pengawasan internal dan eksternal terhadap hakim konstitusi agar tetap independen dan bebas dari konflik kepentingan
Namun demikian, harapan masyarakat tetap tinggi bahwa MK mampu menjadi benteng terakhir konstitusi. Menjaga netralitas, integritas, dan profesionalisme adalah modal utama agar Mahkamah Konstitusi tetap dipercaya sebagai penjaga demokrasi dan konstitusi.
Baca Juga: Potensi Pembangkangan Konstitusi Oleh DPR
Penutup
Mahkamah Konstitusi memainkan peran vital dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Melalui kewenangannya, MK tidak hanya menafsirkan hukum, tetapi juga menjaga agar konstitusi tetap menjadi roh utama dalam setiap kebijakan negara.
Melalui fungsi pengujian undang-undang, penyelesaian sengketa pemilu, hingga menjaga keseimbangan antar lembaga, MK memastikan bahwa prinsip demokrasi, keadilan, dan perlindungan hak-hak konstitusional tetap terjaga.
Ketika Mahkamah Konstitusi bekerja sesuai amanatnya, konstitusi tidak hanya menjadi teks, tetapi menjadi hidup dalam praktik bernegara. Maka dari itu, menjaga independensi Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari menjaga martabat dan masa depan demokrasi Indonesia.
Penulis: Muhammad Sofyan Hafiz
Mahasiswa Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News