Perang Dagang As-China: Mampukah ASEAN Plus Three Melindungi Rantai Pasok dan Ekspor Indonesia

Gelombang ketidakpastian dari perang dagang AS-China terus menerpa perekonomian global, dan Indonesia tidak terhindar dari dampak tersebut.

Tarif yang saling dibalas, pembatasan teknologi, dan kebijakan “friendshoring” telah mengacaukan rantai pasok yang menjadi urat nadi perdagangan internasional.

Indonesia memiliki eksposur signifikan terhadap dua raksasa ini, baik sebagai pasar ekspor utama maupun sumber impor bahan baku dan barang modal vital.

Sektor-sektor kunci seperti elektronik, tekstil, furniture, serta komoditas minyak sawit, batu bara, dan nikel sangat rentan terhadap gangguan rantai pasok dan fluktuasi permintaan.

Bacaan Lainnya

Data Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan AS dan China bersama-sama menyerap sekitar 24% dari total ekspor non-migas Indonesia, membuat gangguan pada salah satu atau kedua pasar ini berpotensi memukul keras.

Lebih jauh, integrasi Indonesia dalam rantai pasok regional yang kompleks, di mana komponen sering melintasi batas negara berkali-kali sebelum menjadi produk akhir, semakin memperbesar kerentanannya terhadap kebijakan proteksionisme dan tarif.

Baca juga: Kekuatan dan Batasan Diplomasi Digital dalam Hubungan Internasional

Dalam pusaran gejolak inilah, kerangka kerja sama ASEAN Plus Three (APT) – yang menghimpun sepuluh negara ASEAN plus China, Jepang, dan Korea Selatan – menawarkan potensi sebagai perisai kolektif. Skala pasar APT yang sangat luas, dengan populasi melebihi 2 miliar jiwa dan PDB yang signifikan, membuka peluang penting bagi Indonesia untuk melakukan diversifikasi pasar.

Memperdalam penetrasi ekspor ke Jepang, Korea Selatan, dan pasar ASEAN lainnya dapat menjadi penyangga vital, mengurangi ketergantungan berlebihan pada AS dan China yang sedang berseteru.

Lebih konkret lagi, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang diprakarsai negara-negara APT telah berlaku, menawarkan aturan asal yang lebih sederhana dan kumulatif serta komitmen penurunan tarif jangka panjang.

RCEP berpotensi menjadi alat ampuh untuk memperkuat ketahanan rantai pasok intra-regional, memungkinkan pelaku usaha Indonesia lebih mudah mencari sumber bahan baku atau komponen dari sesama anggota dan mengekspor produk dengan hambatan lebih rendah.

Selain itu, APT juga memiliki jaring pengaman keuangan melalui Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM), sebuah mekanisme swap mata uang senilai $240 miliar.

Meski belum pernah digunakan secara besar-besaran, CMIM memberikan psychological backstop; dalam skenario ekstrim di mana perang dagang memicu krisis likuiditas atau tekanan nilai tukar, mekanisme ini berpotensi menjadi sumber dana darurat untuk menjaga stabilitas moneter Indonesia.

Forum dialog tinggi APT juga menyediakan platform berharga untuk membahas tantangan bersama, mempercepat kerja sama dalam fasilitasi perdagangan, standardisasi, dan pengembangan infrastruktur konektivitas fisik maupun digital guna memperlancar dan menguatkan rantai pasok regional.

Baca juga: Perang Dagang AS-China: Ancaman atau Peluang bagi Ekonomi Indonesia?

Namun, potensi APT ini bukanlah jaminan keselamatan otomatis bagi Indonesia. Tantangan nyata menghadang, seperti dominasi ekonomi China yang sangat besar dalam kelompok, yang berpotensi menciptakan ketergantungan baru atau pengaruh tidak seimbang dalam pengambilan keputusan.

Belum lagi heterogenitas tingkat pembangunan ekonomi, kepentingan nasional, dan kebijakan domestik di antara tiga belas negara anggota, yang dapat menyulitkan penyusunan respons kebijakan yang cepat dan kohesif.

Disamping itu, seperti banyak inisiatif regional, tantangan sering terletak pada implementasi di tingkat nasional dan pemanfaatan penuh fasilitas yang ada, misalnya dalam hal optimalisasi RCEP oleh pelaku usaha, khususnya UMKM Indonesia, yang masih memerlukan pendampingan intensif.

Pemerintah Indonesia perlu secara intensif melakukan sosialisasi dan memberikan asistensi teknis kepada pelaku usaha, terutama UMKM, untuk memahami dan memanfaatkan sepenuhnya aturan asal serta preferensi tarif dalam RCEP.

Fasilitasi ekspor dan penyederhanaan prosedur di dalam negeri menjadi krusial. Indonesia juga harus secara strategis menjajaki kerja sama dengan Jepang dan Korea Selatan melalui forum APT untuk mendorong pengembangan industri pendukung dan transfer teknologi, sehingga dapat naik kelas dalam rantai nilai regional, tidak hanya bertumpu pada ekspor bahan mentah.

Investasi besar-besaran dan berkelanjutan dalam infrastruktur pelabuhan, logistik, dan konektivitas digital merupakan prasyarat mutlak untuk meningkatkan efisiensi rantai pasok dan daya saing ekspor Indonesia dalam kerangka APT.

Sinergi dengan inisiatif konektivitas regional seperti Master Plan on ASEAN Connectivity (MPAC) perlu diperkuat. Yang tak kalah penting, Indonesia harus menjadi “driving force” yang aktif dalam forum APT, mengusulkan agenda konkret untuk mitigasi dampak perang dagang, seperti pemantauan rantai pasok bersama, pengembangan standar produk strategis, atau skema pendanaan khusus guna meningkatkan ketahanan usaha kecil.

Baca juga: Merencanakan “Pembalasan”: Respon Penolakan China terhadap Kebijakan Trump’s Tariff

ASEAN Plus Three bukanlah obat mujarab, namun ia menawarkan kerangka kerja sama yang unik dan berpotensi kuat untuk membantu Indonesia menghadapi badai perang dagang AS-China.

Dengan pasar yang luas, perjanjian perdagangan (RCEP), jaring pengaman keuangan (CMIM), dan forum dialog, APT menyediakan alat-alat strategis untuk diversifikasi pasar, memperkuat rantai pasok regional, dan membangun ketahanan finansial.

Kemampuan APT melindungi Indonesia sangat tergantung pada sejauh mana Indonesia secara proaktif dan cerdas memanfaatkan peluang di dalamnya.

Indonesia dituntut untuk menjadi aktor utama, bukan penonton pasif, dalam mengarahkan kerja sama APT untuk kepentingan nasionalnya – memitigasi risiko, membuka pasar baru, dan pada akhirnya, mengamankan masa depan ekspor dan rantai pasoknya di tengah ketidakpastian global.

Waktunya Indonesia untuk bertindak strategis dalam lingkup regional adalah sekarang.

 

Penulis: Yance D. Sruwally

Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Cenderawasih

Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses