Perbedaan Pendapat dalam Pengambilan Keputusan Mahkamah Konstitusi Terkait Dissenting Opinion dan Concurring Opinion

Mahkamah Konstitusi

Yang menjadi dasar hukum putusan perkara konstitusi adalah UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis negara Republik Indonesia. Untuk putusan yang mengabulkan harus didasarkan pada sekurang kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa permohonan itu memenuhi alasan dan syarat-syarat konstitusional sebagaimana dimaksud dalam konstitusi negara Indonesia.

Oleh karena itu putusan harus memuat fakta-fakta yang terungkap dan terbukti secara sah di persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasarnya.

Mekanisme Pengambilan Keputusan Mahkamah Konstitusi

Cara pengambilan putusan dilakukan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim) melalui sidang pleno tertutup yang bersifat rahasia yang dipimpin oleh Ketua sidang dari majelis hakim.

Ketentuan mengenai ketua sidang pleno sebagaimana telah disebutkan di atas berlaku secara mutatis mutandis, yang berarti perubahan-perubahan yang diperlukan telah dilaksanakan dalam RPH ini.

Bacaan Lainnya

Di dalam rapat pengambilan putusan ini setiap hakim konstitusi menyampaikan pertimbangan atau pendapat yang berbentuk tulisan yang berkaitan tentang  permohonan yang sedang dirapatkan (legal opinion). Dalam RPH ada beberapa jenis pendapat yang disampaikan oleh hakim.

Ada yang satu pendapat ada pula yang berbeda pendapat, perbedaan ini terbagi menjadi dua macam. Dari perbedaan ini membuktikan salah satu bentuk pertanggungjawaban moral hakim konstitusi yang berbeda pendapat serta wujud transparansi agar masyarakat mengetahui seluruh pertimbangan hukum putusan MK (dissenting opinion).

Adanya dissenting opinion ini tidak mempengaruhi kekuatan hukum putusan MK. Perbedaan ini hanya berpengaruh dengan pengambilan keputusan, tapi tidak dengan kekuatan hukum.

Kekuatan hukum disini berkenaan tentang kekuatan hukum MK yang bersifat final dan tidak dapat diajukan kembali di lembaga lain. Tidak jauh berbeda dengan pengertian tentang dissenting opinion, tentang pendapat yang berbeda yang tidak begitu mempengaruhi putusan hanya berbeda pertimbangan hukum saja (concurring opinion).

Baca Juga: Menilik Peran Musyawarah dalam Menganalisis Keputusan Mahkamah Konstitusi: Pentingkah?

Mengenali Perbedaan Pendapat dalam pengambilan Keputusan Mahkamah Konstitusi

Dua macam pendapat yang berbeda dalam RPH ini. Dissenting opinion adalah salah satu pendapat yang diberikan oleh seorang hakim dalam sebuah keputusan pengadilan yang berbeda dari mayoritas keputusan yang diambil oleh hakim-hakim lain dalam kasus yang sedang dirapatkan.

Dalam sistem hukum yang mengadopsi prinsip pemungutan suara (seperti di banyak negara dengan sistem hukum berbasis common law), ketika pengadilan memberikan putusan, beberapa hakim mungkin memiliki pandangan yang berbeda mengenai isu yang sedang diputuskan. Tidak dapat dipungkiri perbedaan pendapat semacam ini akan selalu ada dalam pengambilan keputusan.

Dissenting opinion biasanya berisi alasan-alasan yang mendukung pandangan hakim yang tidak setuju dengan hasil keputusan mayoritas.

Meskipun pendapat ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, karena keputusan mayoritas lah yang menjadi hukum yang berlaku, dissenting opinion dapat memiliki pengaruh penting, sebagai referensi masa depan sebagai cermin atau rujukan apabila terjadi dalam kasus-kasus serupa.

Menunjukkan ketidaksepakatan dengan interpretasi hukum berfungsi untuk menunjukkan bahwa ada alternatif interpretasi hukum yang bisa lebih relevan atau adil. Menyampaikan kekhawatiran tertentu dissenting opinion memungkinkan hakim untuk mengungkapkan kekhawatiran mengenai bagaimana sebuah keputusan mayoritas mungkin mempengaruhi perkembangan hukum atau keadilan sosial.

Dissenting opinion dapat kita jumpai dalam putusan sengketa hasil pilpres 2024 yaitu Putusan MK No. 1/PHPU.PRES-XXII/2024. Dalam putusan ini, mahkamah menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Tetapi, dalam pengambilan putusan tersebut ada tiga hakim mk yang berbeda pendapat yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.

Singkatnya, mereka memiliki pendapat berbeda mengenai kasus PHPU tersebut dan beranggapan bahwa Pemilihan umum harus diulang di beberapa daerah. Sebab terdapat keikutsertaan dari aparatur negara dalam kampanye yang terdapat pada paslon nomor urut dua.

Dari perbedaan pendapat ini bisa kita lihat adanya dissenting opinion karena tiga hakim ini tidak sependapat mengenai amar putusan yang terdapat dalam putusan tersebut dan memiliki argumen yang berbeda dari mayoritas hakim.

Umumnya dissenting opinion adalah bagian dari dinamika hukum yang menunjukkan keragaman pandangan dalam sistem peradilan dan sering kali menjadi bahan diskusi atau kajian bagi pengembangan hukum kedepannya.

Concurring opinion atau pendapat sependapat adalah jenis kedua dari pertimbangan pengambilan keputusan pendapat yang diberikan oleh seorang hakim yang setuju dengan hasil keputusan mayoritas dalam suatu perkara, tetapi dengan alasan atau pertimbangan yang berbeda.

Meskipun hakim yang mengeluarkan concurring opinion setuju dengan putusan yang diambil oleh mayoritas, ia ingin memberikan penjelasan tambahan atau berbeda mengenai alasan hukum di balik keputusannya.

Concurring opinion biasanya digunakan untuk menjelaskan alasan yang tidak sepenuhnya sama dengan alasan mayoritas atau untuk menekankan poin-poin tertentu yang mungkin dianggap kurang dijelaskan oleh keputusan mayoritas.

Meskipun concurring opinion tidak mengubah keputusan mayoritas, tidak jauh berbeda dengan dissenting opinion. Concurring opinion seringkali memiliki pengaruh dalam pengembangan hukum di masa depan.

Concurring opinion bisa kita jumpai dalam kasus pidana Putusan Pengadilan Negeri Blajengkeren Nomor 41/Pid.Sus/2020/PN.Bkj. Dalam kasus ini yang menjadi bahan pertimbangan hakim adalah mengenai alasan terkait penggunaan narkotika tanpa hak dan wewenang.

Hakim Ahmad Ishak Kurniyawan, S.H., singkatnya menjelaskan kesetujuannya tentang hukuman yang diberikan baik dalam hal jumlah maupun jenisnya. Tetapi, hakim tersebut memiliki pendapat berbeda mengenai pasal yang diterapkan dalam kasus tersebut.

Terkait dalam pengujian undang-undang terhadap konstitusi, hakim yang mengeluarkan concurring opinion mungkin setuju dengan mayoritas bahwa undang-undang tersebut konstitusional, tetapi memberikan alasan berbeda mengenai bagaimana undang-undang itu harus diterapkan tanpa mempengaruhi kekuatan hukum dari putusan yang akan dikeluarkan sebagai bentuk memperkaya diskursus hukum.

Baca Juga: Dinamika Hukum di Indonesia: Bagaimana Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Mengubah Arah Keadilan?

Hasil dari Pertimbangan RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim)

Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Dengan demikian maka tidak ada suara abstain atau tidak mengeluarkan pendapat serta hakim dituntut harus memiliki suara atas perkara dalam rapat pengambilan putusan.

Dalam hal putusan tidak dapat dihasilkan melalui musyawarah untuk mufakat, maka musyawarah ditunda sampai sidang pleno berikutnya. Dalam permusyawaratan itu diusahakan secara sungguh-sungguh untuk mufakat. Namun apabila ternyata tetap tidak dicapai mufakat itu, maka putusan diambil dengan suara terbanyak.

Pengambilan putusan dengan suara terbanyak bisa jadi mengalami kegagalan karena jumlah suara sama. Apabila demikian, maka suara terakhir ketua sidang pleno hakim menentukan. Dalam pengambilan putusan dengan cara demikian tersebut, pendapat hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.

Putusan dapat diucapkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain. Hari pengucapan putusan itu diberitahukan kepada para pihak.

Putusan yang telah diambil dalam RPH itu dilakukan editing tata tulis dan redaksinya sebelum ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, dan panitera yang mendampingi hakim, kemudian ditetapkan jadwal pengucapan putusan setelah jadwal itu ditetapkan hari, tanggal dan jamnya, pihak-pihak dipanggil.

Putusan diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Sejak pengucapan itu, putusan MK sebagai putusan pengadilan tingkat pertama dan terakhir berkekuatan hukum tetap dan final. Artinya, terhadap putusan tersebut tidak ada upaya hukum lagi dan wajib dilaksanakan.

Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti juga putusan pengadilan lainnya, putusan MK harus memuat hal-hal sebagai berikut:

  1. Kepala putusan berbunyi: ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
  2. Identitas pihak;
  3. Ringkasan permohonan;
  4. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
  5. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
  6. Amar putusan, dan
  7. Hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.

Putusan yang telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan oleh karenanya telah berkekuatan hukum tetap tersebut, salinannya kemudian harus disampaikan kepada para pihak paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari waktu kerja sejak putusan diucapkan.

 

Penulis: Akbar Bimantara
Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara, UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan

 

Editor: I. Khairunnisa

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses