Pembangkangan konstitusi oleh DPR menjadi isu penting dalam perkembangan hukum tata negara Indonesia.
Kenyataan nya mengacu pada tindakan organisasi legislatif yang tidak menghormati atau bahkan secara terbuka mengabaikan putusan Pengadilan Konstitusi (MK) sehingga final dan terbatas.
Dalam konteks hukum (Rechtsstaat) berdasarkan Konstitusi 1945, itu jelas merupakan ancaman serius bagi prinsip tertinggi Konstitusi.
Dalam kerangka hukum tata negara Indonesia, Mahkamah Konstitusi memegang peranan vital sebagai penjaga konstitusi (guardian of the constitution).
Setiap ketetapan Pengadilan Konstitusi, berdasarkan pasal 24C (1) dan (2) dan Pasal 10 Hukum MK (Hukum No 24 Tahun 2003 jo. UU No. 8 Tahun 2011), bersifat final dan mengikat (final and binding).
Artinya, semua lembaga negara, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), wajib melaksanakan putusan tersebut.
Namun dalam praktik, muncul sejumlah kasus yang menunjukkan potensi pembangkangan konstitusi DPR, yakni ketika DPR tetap memaksakan pembentukan atau perubahan undang-undang yang materi muatannya telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.
Baca juga:Â Setara dengan DPR: Apakah MPR Kehilangan Wibawa?
Salah satu contoh yang memicu sorotan publik adalah revisi UU Pilkada pada awal 2025.
DPR mengesahkan revisi yang di dalamnya tetap memuat norma tentang penetapan kepala daerah melalui mekanisme tertentu yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK dalam putusan No. 60/PUU-XXII/2024 dan No. 70/PUU-XXIV/2024.
Hal ini memunculkan kritik tajam dari akademisi hukum tata negara yang menilai DPR telah melakukan pembangkangan konstitusi.
Karena dengan mengabaikan putusan MK, DPR berarti tidak menghormati prinsip rule of law, serta merusak sistem checks and balances antar-lembaga negara.
Pembangkangan Konstitusi DPR Berbahaya Karena Mengancam Tiga Sendi Penting Negara Hukum Modern:
1. Supremasi Konstitusi
Konstitusi adalah hukum tertinggi.
Jika lembaga legislatif sendiri mengabaikan putusan lembaga penjaga konstitusi, maka hilanglah makna supremasi konstitusi.
2. Kepastian Hukum
Putusan MK yang final dan mengikat seharusnya memberikan kepastian bagi warga negara.
Jika dapat diabaikan oleh DPR, maka menimbulkan ketidakpastian hukum.
Baca juga:Â DPR Sahkan RUU TPKS Menjadi Undang-Undang
3. Prinsip Check and Balances
Mahkamah Konstitusi adalah mekanisme kontrol agar DPR tidak sewenang-wenang.
Jika kontrol ini diabaikan, DPR dapat berpotensi melampaui batas kewenangannya.
Menurut pakar hukum tata negara, pelaksanaan putusan MK bukan hanya soal kepatuhan prosedural, tetapi cerminan integritas lembaga legislatif dalam menegakkan konstitusi.
Pembangkangan konstitusi DPR ini memperlihatkan lemahnya budaya konstitusional (constitutional culture), yang semestinya menjadi pondasi dalam sistem demokrasi konstitusional.
Di banyak negara, penghinaan atau pengabaian terhadap putusan mahkamah konstitusi bisa berdampak pada pemakzulan pejabat yang bertanggung jawab.
Di Indonesia, mekanisme yang ketat untuk menjamin kesesuaian RPR dengan keputusan Mahkamah Konstitusi belum diatur secara kaku, sehingga perlu menjadi reformasi hukum yang lebih kuat.
Solusi utama mengatasi potensi pembangkangan konstitusi DPR bukan hanya melalui pengetatan regulasi, tetapi juga lewat pembangunan budaya konstitusional di kalangan pembentuk undang-undang.
DPR perlu menyadari bahwa kedaulatan rakyat dijalankan berdasarkan konstitusi, bukan di atas konstitusi.
Selain itu, publik juga memegang peranan penting dengan terus mengawasi proses legislasi dan mengajukan uji formil maupun uji materiil jika menemukan UU yang bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan partisipasi publik yang kuat, DPR akan terdorong untuk lebih menghormati putusan MK.
Isu pembangkangan konstitusi oleh DPR menjadi peringatan keras bagi penegakan prinsip negara hukum di Indonesia.
Baca juga:Â Bahasa Indonesia sebagai Senjata Politik: Analisis terhadap Pengaruhnya dalam Media Sosial
Jika tidak dibahas segera, praktik ini dapat mengikis legalitas sistem hukum konstitusional kita, serta pembukaan undang-undang sewenang-wenang dan non-konstitusional.
Untuk itu, penguatan penghormatan terhadap putusan MK harus menjadi prioritas, baik melalui mekanisme hukum yang lebih jelas maupun dengan memperkuat kesadaran konstitusional seluruh elemen bangsa.
Penulis: Muhammad Fahsyah Djakaria
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Pamulang
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News